webnovel

Mirip Dengusan Babi Hutan

Dipta balik ke dalam kamarnya dengan kepala menunduk, perutnya lapar kali. Masa iya puasa sampe besok? Belum pernah dia merasa selapar ini, dan semua karena kakeknya nitipin dia di rumah fakir yang ada anak setannya.

Pas mau masuk kamar dia melirik kamar Hening, ingin rasanya nerjang pintu dan cekik si Hening sampe almarhum. Gadis itu sungguh membuatnya mahir mengumpat dengan sumpah serapah yang bisa di bilang KEJAM!

Dipta menghela napas ngenes lalu masuk ke dalam kamarnya yang lebih cocok di jadikan kamar boneka daripada kamar manusia dengan ukuran yang sekecil kotak korek api, menurutnya. Demi Tuhan, ingin rasanya Dipta bersujud di kaki kakeknya dan berjanji untuk nggak nakal lagi.

Tapi mana mungkin dia lakukan itu, gengsi lah! Di ampunin nggak, di ketawain iya.

Dipta duduk di sudut kamar, pas suasana lagi sedih-sedihnya, Dipta dengar suara dengkuran halus yang makin lama suaranya makin besar. Dipta mendekatkan telinganya ke teriplek tipis yang di sentuh aja goyang, apalagi di senderin, roboh mau.

Suara itu berasal dari kamar Hening, gadis itu tidur dengan gaya yang kalo di liat orang, bisa buat Hening malu empat belas turunan. Pakek baju tidur yang celananya selutut, terus kaki terbuka lebar dengan baju tersingkap menampakkan perut ratanya yang kuning langsat mulus, terus jari kanannya milinin pusat.

Lagi tidur pun sempat di ciumnya, candu dia sama asem-asem pusatnya, udah gitu mulut nganga dengan dengkuran khasnya. Dengkur tandanya Hening cape banget, ntah nurun siapa. Emak bapaknya nggak dengkur.

Udah gitu, kebiasaan Hening nggak tidur di kasur leceknya itu, dia milih tidur di semen, sebab kasurnya bertungau, tidurnya nggak akan nyenyak, sebab gatal-gatal, yang ada menggaruk sepanjang malam macam anak monyet.

Banyu udah mau beli kasur yang baru, cuma kata istrinya tunggu Hening ulang tahun ke delapan belas, sebab sampe umur tujuh belas ini, gadis cantik itu masih sering ngompol. Kalo ada yang nanyak kenapa rambut Hening bisa halus, hitam berkilau jawabannya bukan di rawat dengan shampoo khusus, melainkan air kencingnya sendiri.

Jadi Susi berharap di ulang tahun ke delapan belas, Hening nggak ngompol lagi, biar bisa ganti kasur. Kan sayang kalo ganti Heningnya masih sering ngompol, rugi bandar. Kasur bagus pun bisa lonyot kalo di ompolin terus.

Hening cantik tapi banyak kali celanya, demi apapun nggak banget.

"Anjirrr … tidur ngorok!" Desis Dipta. Ingin sekali dia teriakkin gadis itu sambil ngetawain, tapi mengingat hari udah larut, nggak jadi. Lagian ngetawain orang butuh tenaga, dan dia nggak punya tenaga sekarang.

Perutnya melilit karena rasa lapar yang teramat sangat, lebih baik tidur dan buat perhitungan besok.

**

"YA ALLAHHHHHH …, DO'A HAMBA MASIH SAMA, JODOHKANLAH HAMBA DENGAN DIMAS BIMO SETYAWAN, ANAKNYA JURAGAN BIMO! HAMBA JANJI AKAN JADI ISTRI YANG SOLEHAH, MENGANTARKAN SUAMI MASUK SURGA FIRDAUSMU, YA ALLLAH! KALO BUKAN DIMAS JODOH HAMBA, TOLONG TETAP DIMAS YA ALLAH! SEBAB RASA INI UDAH ADA SEJAK HAMBA MASIH BAYI, ARTINYA MEMANG HAMBALAH TULANG RUSUKNYA … DAN ….!"

BRAKKK

"WOY … DO'A DALAM HATI! SUARA LO … GANGGGUUUUUUUUUUUUUU!!!" Teriak Dipta dari dalam kamarnya sambil menendang teriplek pembatas. Hening yang kaget langsung bersujud, dia pikir gempa sebab lampu kamarnya yang warna oren bergoyang kencang.

Dipta menjambak rambutnya dengan kuat gitu dengar suara Hening yang kuatnya ngalahin suara orang yang bangun warga sholat subuh, padahal udah pake toa. Dia baru aja bisa tidur beberapa menit yang lalu gara-gara perutnya ngisep.

Rasa lapar sungguh menyiksa, udah minum seceretpun nggak ke tolong. Dan baru aja terlelap udah dengar suara anak setan itu berdo'a minta jodoh!

Hening yang masih kaget langsung membuka mukena dan beerlari keluar kamar sambil teriak gempa. Ibu bapaknya yang berdiri depan pintu kamarnya dan Dipta, menatapnya bingung.

"Gempa! Barusan gempa!" serunya dengan wajah sangat panik. Bahkan bibirnya pucat dan sedikit bergetar.

Susi menatap nanar putrinya, "ya … mulai hari ini, khusus rumah ini akan terjadi bencana setiap harinya. Bukan cuma gempa, tapi juga putting beliung, banjir bandang bahkan tsunami." Setelah mengatakan itu, Susi menuju dapur untuk buat sarapan.

Banyu terkekeh kecil mendengar ucapan istrinya yang masih membingungkan putrinya.

"Maksud ibu apa?" tanyanya pada abah, "kok abah nggak panik ada gempa? Lampu kamar Hening berguncang hebat lo …, dinding juga terhantam kuat. Gempapun kok tiba-tiba datanganya, Hening belum siap do'a." Gadis itu menunduk lesu sambil milin ujung baju tidur yang agak basah karena air wudhu.

Banyu menahan tawa, tidak ingin membuat masalah pagi-pagi, dia nggak bilang apa penyebab lampu kamar putrinya goyang. Bagus Hening nggak sadar kalo dinding di terjang hebat sama cucu majikannya. Sepertinya dia harus mengganti triplek itu dengan papan yang kokoh. Begitupun dengan pembatas kamarnya.

Jantung Hening yang berpacu hebat perlahan kembali normal, apalagi liat muka abah yang teduh dan berseri karena air wudhu yang setiap hari membasuh wajah tampannya. Pasti Dimas kelak kaya abahnya gini, makin ganteng dan adem.

Kan jadi nggak sabar pengen di halalin.

Hening aja kok!

"Gempanya udah lewat, sekarang pergi mandi. Sebentar lagi hari terang, kamu bisa telat berangkat sekolah." Setelah itu Banyu mengecup kening putrinya lalu menyuruh gadis itu bergegas mandi.

Di sungai pasti udah rame jam segini.

Begitu Hening pergi ke sungai, Banyu menyusul istrinya yang tengah buat sarapan. Dia mengelus pundak istrinya dengan sayang.

"Anggap aja kita punya dua anak," bisiknya pelan supaya adennya nggak dengar.

Susi ngangguk, "kayanya ibu harus nyetok rasa sabar sama cari jantung sapi," gumamnya sambil menumis bawang. Pagi ini dia buat nasi goreng, dengan nasi hangat yang baru saja matang.

Sebagai ibu dan istri, Susi terbiasa bangun jam empat pagi untuk menyiapkan sarapan. Suami dan anaknya harus pergi dalam keadaan kenyang.

"Untuk apa jantung sapi?" tanya Banyu heran.

"Kalo ibu kena serangan jantung, ada jantung cadangan buat gant," ucapnya tanpa semangat.

Bahu Banyu bergetar hebat karena terbahak tanpa suara. Nggak sanggup tahan, pria tampan itu keluar lalu tertawa di bawa pokok mangga. Demi Tuhan, dari dulu sampe sekarang istrinya paling bisa buat dia terbahak sampe sebegininya.

Susi menatap kepergian suaminya dengan tatapan kosong, bagi suaminya ini lucu tapi baginya sungguh miris. Ngadepin Hening satu aja rasanya mau melambaikan tangan, di tambah lagi Dipta! Boleh nyerah nggak sih?

Susi nggak kuat menghadapi dua anak manusia ini. Mending ngangon lembu sekandang, daripada ngangon dua anak ini.

*

"Makan malam semalam enak ya bu," ucap Hening yang udah berpakaian sekolah dan sekarang tengah menikmati sarapan. Di depannya Dipta duduk dengan piring di atas pangkuannya.

Jangan harap ada meja makan, duduk bersila di lantai. Mana piringnya terbuat dari kaleng, terasa kali panasnya pas di pangku.

Susi berdehem malas, "makan malam yang kamu makan sama kaya yang sudah-sudah."

Hening terkikik geli, tau kalo ibunya masih kesal dengannya, "tapi yang semalam lebih enak, Hening kenyangnya poll!" Dipta tau kalo Hening menyindirnya.

"Apa di sekitar sini ada babi hutan?" tanyanya serius pada abah. Khisus pagi ini Banyu nggak berangkat awal ke ladang, niatnya mau ngajak Dipta.

Bukan cuma Banyu yang menatapnya serius, Susi dan Hening pun juga.

"Tidak, kenapa aden tanya begitu?"

"Semalam saya dengar dengkuran besar dan kasar, mirip suara dengusan babi hutan."

Deg!

Jantung Hening seolah berhenti berdetak.

Chapitre suivant