webnovel

KENYATAAN TERUNGKAP

Setelah Mora lelap, Casanova sengaja keluar kamar untuk mencari udara segar. Ia melolos sebatang rokok serta lekas menyulutnya.

TIK!

Api menyala, secepat membakar ujung rokok tersebut. Casanova membuka pintu dan berjalan keluar, tapi sepertinya Ibu Merry sudah menunggu di depan kamar.

"Lho, Ibu Merry, Anda belum tidur?"

"Duduklah," Ibu Merry melirik satu kursi yang ada di sebelahnya.

Pemuda itu lalu duduk, dengan wajah masih memandang heran. "Apa yang Anda lakukan di sini malam-malam?" tanyanya polos saja.

Janda tua itu mengambil sebatang rokok yang berada di bibir Casanova, kemudian ia mengisapnya. "Fuuuh, aku hanya sedang jalan-jalan mencari udara segar. Lebih tepatnya, aku tidak bisa tidur," Perempuan itu berkata seraya melayangkan asap rokok ke udara.

"Ada yang sedang menggangu pikiranmu?" Casanova melolos sebatang rokok lagi, memabakar ujungnya, "Kalau tidak keberatan, Anda bisa membaginya kepadaku."

Ibu Merry tertawa sebentar, "Aku tidak yakin kamu mau mendengarnya, Casanova. Karena ini adalah masalah pribadiku."

"Katakan saja, aku pasti mendengarnya." Casanova mengangguk.

"Fuuh, baiklah, aku akan bercerita. Dan semua ini bermula dari 19 tahun yang lalu..."

***

Sembilan-belas tahun yang lalu, Ibu Merry hidup bahagia bersama sang suami. Mereka punya ekonomi yang mapan, serta keluarganya cukup disegani orang-orang mengingat suaminya adalah seorang perwira militer.

Namun kebahagiaan mereka kurang lengkap sebab kenyataannya, setelah 5 tahun menikah belum juga memiliki momongan. Mereka pun akhirnya kerap beradu mulut, rumah tangga tak lagi hangat, hanya ada pertengkaran yang menghiasi rumah mereka sehari-hari.

Hingga, suatu kali sang suami pulang ke rumah dengan membawa surat keterangan dari dokter. Kertas itu dibanting kasar di depan wajah Ibu Merry.

"Dengar! Kata dokter aku normal. Dan kalau sampai sekarang kita belum punya momongan, maka kesalahan ada padamu!" pekik sang suami dengan kasar.

Ibu Merry berusaha tenang. Ia melolos sebatang rokok dan segera mengisapnya. "Lalu apa?"

"Kita cerai!"

"Apa katamu?"

"Kita cerai saja! Apa kau ini tuli? Aku ulangi sekali lagi, kita cerai saja!" Sang suami lalu pergi meninggalkan Ibu Merry. Sementara perempuan itu gemetar memegangi rokoknya, menangis, tersedu-sedu.

Dua hari setelah kejadian itu, sang suami pulang ke rumah. Ibu Merry menyambutnya dengan hangat, tapi kini suaminya kadung dingin seperti boneka salju.

"Mau kemana kamu?" tanya Ibu Merry yang melihat suaminya mengemasi barang-barang. Ia memasukkan baju, dalaman, dan semua barang pribadinya ke dalam koper besar.

"Aku ada tugas penting. Dan mulai sekarang kau tak usah mengkhawatirkanku, sebab mungkin setelah ini aku tidak akan pulang ke rumah ini lagi." Sang suami menatap tajam, perkataan itu tidaklah main-main.

Ibu Merry mendekat, dan langsung memeluk pria dingin itu. "Aku tahu, aku memang mandul. Tapi setidaknya bertahanlah denganku. Bukankah di depan Tuhan kau sudah berjanji akan hidup bersamaku sehidup-semati?" tangisan dari wajah Ibu Merry muncul, air matanya keluar deras.

Tapi sepertinya rengekkan itu tak berarti apa-apa. Sebab sang suami melepas pelukannya, kemudian pergi hanya dengan satu kata, "Selamat tinggal, Merry!"

Hari berikutnya semuanya terasa gelap! Ibu Merry hanya mengurung diri di dalam kamarnya, dan akan keluar dari sana hanya untuk makan dan buang air. Tidak ada aktivitas lain yang dia kerjakan, hingga satu bulan lamanya berlalu, hingga pada suatu pagi ketika bangun tidur ia mendapati sang suami yang sudah berdiri di samping ranjangnya.

"Merry, aku... aku..." Sang suami tertunduk lesu, memegangi koper besar yang sebulan lalu ia bawa pergi.

Ibu Merry tak mau menyiakan kesempatan ini. Ia memeluk suaminya dengan erat, rasa rindu selama satu bulan yang hampir membuatnya gila akhirnya terluap begitu saja. Ibu Merry mencium bibir suaminya, dengan ciuman yang sangat lama. Hingga keduanya terperangkap dalam sebuah rasa birahi yang tidak tertahankan. Lalu Ibu Merry melepas bajunya, mengajak sang suami untuk bercinta.

"Aku merindukanmu," ucap perempuan itu.

Sang suami membalasnya dengan mencumbunya pagi itu.

Selesai bercumbu, mereka berbicara di atas ranjang dengan tubuh hanya berbalutkan selimut.

"Apa yang membuatmu memutuskan untuk pulang?" Ibu Merry membuka percakapan.

"Tugasku sudah selesai," pendek suaminya.

"Dan kemarin kamu bilang tidak akan pulang lagi ke rumah ini?"

Suaminya melirik, lalu bangkit untuk duduk dan bersandar ujung ranjang, "Banyak hal yang terjadi, Merry."

"Seperti...?"

"Ah, bagaimana aku menjelaskannya padamu?"

"Jelaskan saja. Aku pasti akan mendengarnya," Ibu Merry ikut duduk, meletakkan kepalanya di bahu sang suami. Hingga, sang suami mulai bercerita mengenai kejadian yang sebenarnya.

"Sesungguhnya aku mempunyai wanita lain di luar kota." Singkat. Padat. Dan mengejutkan!

Ibu Merry memundurkan wajahnya untuk menatap sang suami. "Apa katamu?"

"Merry, sudah kubilang ... ahh, astaga, aku memang bersalah, tapi semua ini demi Tuhan kulakukan demi kebaikan hubungan rumah tangga!" Laki-laki itu tak mengerti bagaimana perasaan istrinya. Dia sendiri yang selingkuh, dan dia mengatakan semua ini demi kebaikan rumah tangganya?

"Tidak usah kau bawa-bawa nama Tuhan!" pekik Ibu Merry, suaranya mulai meninggi.

"Tapi memang itulah yang terjadi," Sang suami membela diri.

"Cih! Perselingkuhan macam apa yang kamu lakukan dengan dalil untuk kebaikan rumah tangga kita? Kau terlalu munafik! Aku tidak akan pernah menerima apa pun alasanmu!"

"Semua ini demi anak," Sang suami menjawab pelan, Ibu Merry terdiam seketika.

"Apa katamu?"

"Ya, Merry, tadinya kupikir aku lah yang mandul. Sehingga setahun yang lalu, ketika aku sedang bertugas di luar kota dan mabuk berat, tidak sengaja kukeluarkan cairanku ke dalam rahim seorang pelacur. Beberapa bulan berikutnya pelacur itu datang memintaku bertanggungjawab. Dia bilang dirinya hamil."

"Tunggu, wait! Dan kamu langsung percaya dengan ucapan si pelacur bahwa yang sedang dia kandung adalah anakmu?"

"Merry, aku sudah melakukan tes DNA."

"Maksudmu?"

Sang suami menghela napas, "Sebulan yang lalu, saat aku memutuskan untuk pergi dari rumah ini, sebenarnya aku pergi ke rumahnya. Bayi itu sudah lahir, berjenis kelamin perempuan. Lalu kami sama-sama menemui dokter dan melakukan tes DNA. Hasilnya positif, kenyatannya memang bayi itu adalah anak kandungku."

DUAR!

Seperti ada petir menyengat kepalanya, Ibu Merry tersentak hebat serta mengucurkan air mata. Ia sadar, dirinya memang tidak bisa memberikan momongan. Tapi perselingkuhan suaminya adalah hal paling pedih untuk dia terima.

Terlalu berat. Semua ini tidak adil. Tapi apa daya, semesta memang kadang-kadang berjalan tidak sesuai dengan apa yang dia inginkan. Hingga kemudian Ibu Merry menyatakan sikapnya.

"Baik, sekarang apa kau masih mencintaiku?" tanya perempuan itu.

Sang suami mengangguk, "Ya."

"Apa kau juga masih ingin menjalin hubungan rumah tangga denganku?"

Dan lagi, suaminya mengangguk tanpa ragu. "Ya."

"Baik, sekarang aku sadar, aku tidak mungkin menyuruhmu untuk membunuh bayi tak berdosa itu. Apa lagi dia adalah anak kandungmu. Maka, jika kamu memang masih ingin bersamaku, maka bunuhlah pelacur itu! Bawa bayi perempuannya kemari, dan kita akan memulai kembali hubungan rumah tangga ini bersama bayimu tersebut!"

Sang suami melirik sekilas, lalu dengan bibir bergetar ia pun menjawab...

Chapitre suivant