webnovel

24. Garasi Merah Marun

Sambil terus memegangi secarik kertas berisikan alamat dimana Michael tinggal, tulisannya terlihat berantakan dan beberapa tertimpa noda oli. Meski begitu aku masih bisa membacanya.

Saat ini aku berjalan dengan waspada. Beberapa kali aku menoleh kanan dan kiri, melambat dan mempercepat langkahku. Terjebak dengan khayalan dan segala ketakutan tentang kemungkinan buruk yang bisa terjadi. Tentu saja aku punya alasan untuk itu, banyak kelompok-kelompok pemuda yang duduk di sisian jalan, memandangku dengan tatapan menakutkan.

Sampai akhirnya aku menemukan sebuah jalan yang bercabang. Aku berdiri mematung di sana, ah... sialnya! Alamat yang ditulis pemuda di bengkel tadi tidak jelas, begitu sangat singkat lalu bagian terburuknya aku melupakan instruksi dari pemuda berambut merah itu. Harus pilih jalan yang mana, kanan atau kiri? Astaga! tak mungkin aku kembali lagi! Aku sudah sangat jauh dari halte bis. Mau tak mau aku harus bertanya pada beberapa pemuda yang duduk santai di sisian jalan. Aku harus memberanikan diri.

Sebelum aku mendekat, aku memegangi semprotan merica di dalam kantong jaketku sebagai antisipasi, selagi tangan kiriku memegangi paper bag berisi cake keju biru toska yang aku buat khusus untuk Michael. Michael telah banyak mengajariku tentang perlindungan diri dari para kriminal. Termasuk bagaimana mempertahankan tasku saat mereka menjabret.

"Permisi..." Ukh! Mereka segera menoleh padaku secara bersamaan, wajah mereka menakutkan. Salah satunya bahkan memiliki bekas luka di pipinya, sebuah tanda bahwa dia pernah mengalami perkelahian mengerikan dimasa lampau. Mereka jua punya tatapan sangar yang hampir serupa, khas preman di kota yang keras ini.

"Ya?" Pemuda yang memakai sebuah rompi denim, bertanya penasaran. Sedangkan yang lain memperhatikanku. Mereka seakan sedang menduga-duga siapa aku ini, dan darimana asalku. Itu sangat tidak nyaman!

"Maaf menganggu, aku ingin bertanya alamat seseorang. Apa kalian tahu dimana Michael tinggal?" suaraku terdengar hampir terbata.

Mendengar nama Michael, beberapa dari mereka saling melirik lalu tersenyum. "Ah Michael..." salah satu dari mereka terdengar bergumam tidak jelas.

"Michael brown?" wajah penuh pertanyaan dilayangkan salah satu pemuda dengan jaket parasut berwana cerah padaku.

Mati aku, aku bahkan tak tahu nama belakang Michael!!! setelah sekian lama aku mengenalnya, aku belum mengetahui apa pun tentangnya?! "Aku rasa.."

Pemuda itu tertawa melihatku kebingungan. "Pemuda berambut pirang gondrong, dengan tinggi 186 cm, bermata hijau kan?"

"Ah! Benar, dia orang yang aku cari!" Luar biasa! Michael benar-benar terkenal dimana pun. Aku bersyukur atas hal itu!

"Astaga, kau wanitanya Michael ya? Bagaimana mungkin kau tahu dia tapi tak tahu tempat untuk menemuinya?!" dia masih terkekeh sembari melirik pada teman-temannya yang juga tertawa.

Lagi-lagi sebutan tak menyenangkan itu terdengar. Apakah Michael sangat terkenal suka sekali gonta-ganti wanita?! Aku harap tidak! sebuah sandangan 'wanitanya' terkesan sangat vulgar di telingaku!

"Maaf, aku hanya ingin mengantarkan sesuatu." Aku sudah merasa tak nyaman sekarang, takut-takut mereka mulai ingin menjahiliku setelah tahu aku mencari orang yang mereka kenal.

"Kau pilih jalan yang Kanan, lalu jalan terus. Berhentilah di depan sebuah bangunan berlantai dua yang di bawahnya mirip seperti garasi mobil bercat merah marun. Michael tinggal disana."

Ah... Tak kusangka, mereka sangat baik hati! "Terimakasih banyak!" Aku tersenyum lebar pada mereka lalu melambai sekilas. Mereka membalasnya segera lalu berseru untuk berhati-hati dan salah seorang dari mereka tertawa seraya mengucapkan "selamat bersenang-senang!" Entah apa maksudnya.

.

.

.

Persis seperti yang para pemuda itu katakan, aku berbelok ke kanan dan berjalan menuju bangunan lantai dua dengan garasi merah marun di bawahnya. Namun, saat jarakku dengan bangunan itu sudah mencapai 3 meter. Aku melihat sebuah perkelahian tepat di depan garasi. Aku mengenali salah satunya, dia Michael! Seseorang yang lain mencengkram kerah baju Michael lalu memukul pipinya. Michael dibiarkan terjatuh di atas aspal.

Aku berlari secepat yang aku bisa menuju Michael, meraihnya dan menutupinya dari seseorang yang akan melayangkan kembali tinjunya. Tatapannya benar-benar buas, seakan Michael adalah seseorang yang harus ia habisi.

Ada apa?! Apa yang terjadi?!

"Maria?!" Michael benar-benar terkejut melihatku ada di hadapannya, memunggunginya dan menatap nyalang pada si pemukul itu.

"Dia kah?!" Bentaknya masih dengan wajah bengis pada Michael.

Aku berkedip saking terkejutnya dengan suara berat pemuda berkulit hitam di hadapanku. Pemuda itu menatapku lagi setelah menyadari Michael tak menjawab pertanyaannya.

"Dengar ya nona, pemuda yang ada di belakangmu itu adalah pemuda pengecut yang mungkin akan menghancurkan hidupmu!" Desisnya tepat di depan wajahku. Penuh ancaman, kemarahan dan sebuah rasa kecewa samar.

Siapa dia dan apa maksudnya kalimatnya itu?

***

"Maaf sangat berantakan aku jarang menerima tamu," Michael sibuk menyingkirkan barang-barang dari sofa sesaat setelah aku memasuki rumahnya melalui sebuah pintu garasi yang terbuka setengah, "duduklah Maria." Ia mempersilahkan sambil menunjuk sebuah sofa berbahan kulit imitasi berwarna hitam dengan telapak tangannya.

Aku hanya mengangguk lalu duduk dengan kikuk, meletakkan paper bagku di atas meja yang penuh dengan kaleng minuman. Michael menyusulku duduk di sisiku, ia tersenyum malu padaku.

Entah apa yang coba ingin ia sembunyikan dariku, aku tak tahu. Selama Michael tak menceritakannya aku tak akan bertanya.

Tanganku menyentuh lebam di sisi bibir kanannya, lalu menyeka darah di sudut bibirnya dengan ibu jari. "Aku akan mengompresnya, dimana dapurnya?"

Michael meraih tanganku sebelum aku berhasil bangkit dari duduk. "Boleh aku memelukmu?" Ia bertanya tanpa melihat padaku. Menunduk.

Aku menarik tanganku darinya. Michael terkejut dan langsung melihatku. Ia terlihat begitu bingung dan kecewa, mungkin pikirnya aku tak ingin mengabulkannya. saat itu setelah mata kami akhirnya bertemu, aku mendekapnya dengan erat. Tanpa permisi.

Jelas aku bisa merasakan tubuh Michael yang mundur karena terkejut, tapi dekapanku begitu erat. Tak akan membiarkannya terlepas dan menjauh, pelukan yang Michael inginkan sedang aku kabulkan.

"Aku tak tahu apa yang sedang terjadi, tapi sekarang akan baik-baik saja." Aku meraih belakang kepala Michael, mengusap rambut pirangnya dengan pelan. Merasakan helai demi helai rambut Michael yang tak begitu lembut di sela-sela jariku.

Michael perlahan menguatkan pelukannya padaku, menenggelamkan wajahnya di sisi leherku. Bisa kurasakan bulu kudukku meremang karenanya, tapi sebisa mungkin aku menahannya. Rasanya menggelitik, tapi aku tak ingin ini segara berakhir.

Pasti banyak hal yang terjadi sejak kemarin. Dan kejadian-kejadian itu mungkin agak susah untuk diceritakan padaku, itulah sebabnya Michael terlihat begitu stres saat ini.

Aku tak akan menuntutnya untuk bercerita, jika ia sudah siap dan berpikir bahwa aku adalah orang yang tepat. Michael pasti menceritakannya padaku.

Aku yakin akan hal itu.

***

Chapitre suivant