webnovel

Persidangan

Yasir tiba di pasukan ketika malam hari. Pasukan muslimin terlihat kacau balau. Raut wajah mereka terlihat sedih dan lemas. Terlihat tidak ada cahaya di wajah mereka. Beberapa orang yang menyadari kedatangan Yasir, mereka heran dan bertanya-tanya antara satu dan yang lainnya. Kenapa ia kembali lagi ke pasukan. Beberapa orang melaporkan kedatangannya kepada panglima perang. "Ada apa kau kembali lagi?"

Yasir menunduk tanda kepatuhan dan berkata, "Tolong beri kesempatan untuk saya berbicara." Panglima perang dengan sangat bijaksana memberi waktu untuknya. "Dengan sangat menyesal saya mengatakan bahwa di dalam pasukan muslimin ada sekumpulan orang munafik." Dahi sang panglima perang berkerut, "Mana buktimu?"

"Saya masih mengingat wajah mereka. Tolong kumpulkan semua prajurit grub Spegnaz. Saya akan menyeret satu per satu oknum ke hadapan anda." Dalam satu perintah, semua prajurit grub Spegnaz dikumpulkan di lapangan yang luas, jauh dari pasukan lainnya. Yasir berdiri dibelakang panglima. Sang panglima perang berbicara terlebih dahulu. "Saya dengar bahwa ada diantara kalian yang munafik dan melanggar perintah Allah dan Rasul. Majulah sebelum saya memberi hukuman yang lebih berat."

Satu detik, dua detik, sampai detik ketiga, tidak ada satupun yang bergerak maju. "Mengakulah sebelum terlambat", ucap sang panglima. Ratusan pasukan itu tidak ada satupun yang berani menatap mata panglima. "Baiklah kalau begitu. Yasir, ambil alihlah." Ia memerintahkan Yasir untuk bertindak. Sedari tadi mata Yasir sudah mengamati satu per satu wajah mereka. Dengan sangat teliti ia menemukan targetnya. Dengan emosi yang menggebu-gebu Yasir melangkahkan kakinya maju dan menyeret satu per satu prajurit maju kedepan panglima. Beberapa dari mereka, bajunya sobek oleh tarikan Yasir. Terkumpulah belasan orang. Panglima membubarkan sisanya. Sedangkan belasan orang itu terus mengelak tuduhan Yasir. "Baiklah Yasir, sekarang apa yang bisa kau buktikan dari mereka?"

Tanpa ragu Yasir berbicara dengan sangat lantang dan tegas. Ia menunjuk satu per satu dari mereka. Ia menunjuk orang pertama. "Dia memiliki luka sobekan di betis kiri bagian belakang karena duel dengan saya pada malam itu." Sang panglima mengecek kakinya dan tepat apa yang dikatakan Yasir. Yasir berganti pada orang kedua. "Dia memiliki luka di tengkuk belakangnya akibat duel di malam itu." Panglima mengeceknya lagi, dan benar. Yasir terus berlanjut ke orang ketiga. "Bahu kanannya membiru karena saya sempat hampir mematahkannya." Sang panglima membuka bajunya dan mengecek, benar apa yang dikatakan Yasir. Terus begitu, sampai orang yang terakhir. Yasir adalah orang yang sangat jeli dan teliti. Dia bisa mengingat pasukan mana yang berambut ikal dan tinggi. Pasukan mana yang berkulit coklat dan pendek. Walaupun begitu, mereka tetap saja tidak mengakui. Mereka berkata bahwa luka-luka itu mereka dapatkan dari peperangan. Sang panglima tidak kehilangan akal untuk menjebak mereka. "Kalau memang pada malam itu dan jam itu kalian berada didalam pasukan, bisakah kalian katakan padaku apa isi pidatoku saat itu? Semua prajurit tahu bahwa seusai perang pada malam itu, aku mengumpulkan mereka semua dan aku berbicara didepan. Apa yang aku bicarakan?"

Mereka semua bertatapan satu sama yang lain. Memang pada malam itu mereka datang terlambat seusai menghabisi Yasir dan menelantarkannya. Mereka diam-diam menyelinap dan bergabung kembali ke pasukan. Tanpa mereka sadari bahwa saat itu pasukan usai dikumpulkan dan baru saja kembali ke pos masing-masing. Api unggunpun baru saja dihidupkan. Mereka melewatkan momen itu. "Baiklah kalau begitu. Aku anggap kalian semua lupa. Tetapi mari kita tes. Aku akan memanggil acak salah satu pasukan yang ada disana dan kusuruh dia menyampaikan pada kalian. Apakah dia juga melupakannya atau tidak." Panglima menunjuk ke tenda-tenda pasukan yang jauh dibelakang sana. Sang panglima berjalan kearah tenda-tenda dan memanggil acak. Orang yang pertama kali bertatapan dengan panglima, disuruhnya ikut dengannya. Kebetulan pada saat itu adalah orang tua yang berumur 64 tahun. Secara umum, dia bukanlah tipikal orang dengan ingatan yang baik.

Dengan polos orang tua itu berjalan dibelakang panglima. Setelah mendapat penjelasan tentang apa yang terjadi, orang tua itu mulai berbicara. Nada suaranya sangat tenang dan lugas. "Pada malam itu, anda berkata bahwa penyerangan yang kita lakukan pada hari itu terlalu tergesa-gesa dan tidak kompak. Pasukan kita harusnya melakukan penyerangan yang terorganisir. Anda bilang bahwa kami tidak mengikuti arahan anda. Setelah anda menutup pidato anda, salah satu diantata kami mohon ijin untuk berbicara. Dia berkata bahwa pertahanan musuh sulit ditembus. Kami belum terbiasa dengan strategi yang anda perintahkan. Maka dari itu beberapa pasukan terpecah belah dan kembali pada strategi awal. Kemudian anda mengusulkan strategi lainnya dan berdiskusi lebih lanjut dengan pemimpin masing-masing grub." Panglima perang mengisyaratkannya untuk berhenti lalu berterimakasih. Beliau mempersilahkannya untuk kembali ke tenda.

Sang panglima mengamati satu per satu ekspresi cemas mereka. "Siapa pemimpin kalian?" Mereka semakin menunduk, tidak berani untuk menjawab. Panglima menanyakannya sampai tiga kali. Lalu keempat kalinya, salah satu dari mereka menjawab. Memang inilah sifat orang munafik, tidak ada yang setia kawan.

"Panggil dia kesini", perintah tegas dari panglima. Seusai si tersangka datang, seperti biasanya, dia mengelak dari semua tuduhan. Sang panglima tidak menerima alasan apapun yang telah dia katakan. "Yasir, menurutmu apa hukuman yang pantas untuk para munafik ini?"

"Penggal leher mereka semua", ucap tegas Yasir. Dengan kepala dingin, sang panglima mengingatkan, "Dulu ini juga pernah terjadi di dalam pasukan Rasulullah. Para munafik menyebarkan berita bohong tentang perzinahan Aisyah, istri tercinta Rasulullah. Beliau tidak punya cukup bukti untuk membela istrinya. Wahyupun belum turun. Hingga akhirnya Umar (RA) menyarankan untuk membunuh pimpinan munafik itu. Rasul menolak saran itu berkali-kali. Beliau mengingatkan pada para sahabatnya, 'jangan sampai orang-orang (Yahudi dan Nasrani) berkata bahwa Muhammad membunuh sahabatnya sendiri.' Muslim adalah bersaudara. Jangan sampai kita membunuh saudara kita sendiri walaupun dia munafik." Yasir menunduk lalu beristigfar. Ia menyesali apa yang telah dikatakannya.

Seorang panglima bukan hanya menjadi pemimpin di dalam pasukannya, tetapi juga mendidik mereka. "Bawa semua sekutu kalian pulang ke kota. Jangan pernah mengikuti peperangan lagi untuk yang selanjutnya. Kalian semua masuk ke daftar hitam saya." Mereka mengangguk lesu lalu membereskan barang-barang mereka. Pasukan yang berada di tenda terus memandang hina kearah mereka. Isu telah tersebar bahwa merekalah dalang dari semua ini. Malam itu juga Yasir diterima kembali bergabung kedalam pasukan. Ia kembali kedalam tenda kelompoknya dan bergabung dengan kawan-kawan seperjuangannya. Mereka semua sangat antusias untuk mendengar apa yang selama ini terjadi padanya. Mereka semua beristighfar berkali-kali mendengar kemalangan yang dihadapi Yasir. "Panglima perang meminta kita semua untuk berkumpul. Beliau akan mengatur strategi baru untuk penyerangan besok pagi." Kata Medi yang baru saja memasuki tenda. Mata Medi berhenti pada sosok Yasir ditengah-tengah mereka. Ia mematung sesaat lalu berlari memeluk Yasir sekencang-kencangnya. Ia menangis terisak-isak didalam pelukan Yasir. Ia dapat memahami gejolak batin yang anak muda ini rasakan. Perasaan takut, khawatir, sedih, semua bercampur menjadi satu. Selama ini hanya Yasir sosok orang dewasa yang dekat dengannya. Tanpa Yasir, ia seperti kehilangan satu tiang penyangga.

Chapitre suivant