"Alvin buronan Ma, dia menjadi tersangka kasus penipuan dan juga pencucian uang." Jawab pria itu dengan datar sesuai dengan isi surat penangkapan yang masih ada di tangan kanannya.
"Mana mungkin? Gak, itu semua pasti gak bener. Pasti ada kesalahan nama disini, gak mungkin putraku melakukan sesuatu hal yang merugikan orang lain seperti itu. Pa, aku mengenal putraku, tak mungkin dia melakukan hal seperti itu kan Pa? kau juga tau sendiri kan bagaimana Alvin?" ucap Anne dengan histeris masih menyangkal apa yang terjadi dengan putranya yang kini dinyatakan sebagai buronan.
"Ma, tenanglah! Aku tau Alvin adalah anak yang baik dan tak mungkin melakukan hal ini. Tapi kita sendiri tak tau apa yang sebenarnya terjadi karena Alvin sendiri tak ada disini kan?" Dimitri sendiri berusaha untuk menenangkan istrinya walau ia sendiri sebenarnya juga masih tak bisa untuk menerima kabar mengejutkan ini. Ia sendiri tak percaya jika putranya bisa melakukan semua ini.
"Maaf, Tuan dan Nyonya Dimitri, tapi kami datang kemari hanya untuk menjalankan perintah sesuai dengan prosedur dan juga sesuai dengan surat penangkapan yang berlaku." Kedua polisi itu agaknya merasa tidak nyaman dengan adegan yang terjadi karena kedua orang tua pelaku justru tampak histeris dan masih belum bisa menerima apa yang terjadi.
"Ya, kami tau dan mengerti pak polisi, tapi masalahnya Alvin, Putra kami menghilang dan belum pulang sejak 3 hari yang lalu. Dan jujur saja kami sendiri juga belum tau dimana dia untuk saat ini." Jawab Dimitri dengan lirih.
Kedua anggota kepolisian itu mencoba untuk mengerti. Keduanya saling melirik satu sama lain dan berdiskusi sejenak.
"Baiklah Tuan Dimitri, kami bisa memahami jika anda memang tak tau apapun dalam hal ini. Namun sesuai dengan perintah bisakah kami untuk menggeledah rumah ini untuk mencari keberadaan saudara Alvin atau mungkin menemukan bukti lain terkait keberaannya?"
Dimitri tampak berpikir sesaat namun selanjutnya ia mengangguk yakin. "Tentu saja, silahkan anda geledah rumah ini, tapi kami berkata jujur jika memang Alvin tak ada disini dan kami juga tak tau dimana keberadaannya untuk saat ini."
Setelah endapatkan ijin dari pemilik rumah kedua anggota polisi itupun mulai melakukan tugasnya untk memeriksa dan juga menggeledah rumah kediaman Dimitri guna mencari keberaan Alvin atau mungkin mencari tau petunjuk lainnya.
Namun sayang setelah hampir satu jam mencari Alvin polisi itu pun memang tak mendapatkan apapun. Mereka yang juga memeriksa isi pesan dalam ponsel Dimitri dan Anne juga tak menemukan petunjuk apapun karena kedua orang tua tersebut justru masih kebingungan mencari dimana putranya pergi.
"Bailah tuan Dimitri, kami memang tak menemukan Alvin dan juga petunjuk apapaun disini. Tapi mohon kerja samanya jika memang ada petunjuk mengenai keberadaan putra anda tersebut mohon untuk segera menghubungi kami. Ini juga demi kebaikan putra anda karena jika semakin lama ia mangkir dari panggilan polisi hukuman untuk saudara Alvin mungkin bisa semakin berat nantinya." Terang salah satu dari dua pria anggota polisi tersebut.
Dimitri mengangguk mengerti walaupun sebenarnya ia sendiri merasa pasrah. "Baik Pak polisi, kami janji kami juga akan kooperatif dalam hal ini dan kami akan memberitahukan perkembangannya jika kami mendapatkan petunjuk mengenai putra kami." Jawabnya.
"Baiklah kalau begitu kami permisi dulu!"
Setelah polisi itu pergi Anne menjadi lemas seketika, wanita itu benar-benar tak percaya jika putranya melakukan suatu hal yang buruk bahkan hingga sampai ada polisi yang mencari dan hendak menangkapnya. Kini status putranya bahkan menjadi buronan karena menghilang sudah lebih dari 3 kali 24 jam dan tanpa kabar.
"Alvin dimana kamu sayang?" gumam Anne yang masih belum rela jika semua ini terjadi.
***
Matahari sudah mulai naik, sorot cahaya itu masuk kedalam kamar Djaka yang ada di lantai dua ruko kedai baksonya. Perlahan pria itu mengerjapkan matanya merasa tak nyaman dengan cahaya tersebut. Ia mengucek matanya dan menyadari jika ada sesuatu di atas keningnya yang terasa lembab.
"Joko, kamu udah bangun?" tanya Zaskia yang menyadari jika Djaka bergerak dan mulai bangun dari tidurnya. Tampaknya kondisi pria itu sudah jauh lebih baik dari sebelumnya.
Djaka yang merasa risih dengan benda lembab di keningnya pun berusaha mengambilnya. Namun seketika ia tercengang mendapai benda tersebut ada di atas keningnya, ia membuangnya seketika.
"Apa-apaan ini?" teriaknya yang tak suka jika benda menjijikkan itu ada di atas keningnya.
"hei, aku menggunakan benda itu untuk mengompres keningmu. Kau tadi demam tinggi. Harusnya kau berterimakasih kepadaku bukan malah marah dan memakiku seperti ini." Zaskia tak terima dengan reaksi Djaka yang justru tampak tak suka dengan usaha yang telah ia lakukan demi untuk menurunkan demam Djaka.
"Hei, apakah kau sudah gila? Mana ada orang yang mengompres seseorang yang demam dengan menggunakan celana dalam? Itu menjijikkan. Aku tak tau kau belajar ilmu dari mana sampai-sampai bisa-bisanya kau memiliki akal yang di luar nalar seperti itu?" Djaka tapak marah karena ia tak habis pikir bagaimana mungkin istrinya bisa menggunakan celana dalam untuk mengompres keningnya.
"Tapi Joko, celana dalam itu bersih kok, aku mengambilnya dari dalam lemari. Dan bukankah lagi pula itu adalah celana dalammu sendiri? Jadi ya, gak masalahlah ya… seharusnya."
"Kau gila. Aku tak mengerti bagaimana mungkin dulu Alvin menyukai perempuan yang tak punya otakl sepertimu." Tukas Djaka dengan kesal.
Namun melihat ekspresi kesal Djaka, Zaskia justru mencoba untuk menahan tawanya. Walaupun sebenarnya niatnya untuk membantu, tapi agaknya secara tak langsung apa yang telah ia lakukan ini adalah sebagai upaya balas dendamnya kepada Djaka yang kemarin sudah menyiramnya dengan air saat membangunkannya dan membuatnya menjadi kesal seharian.
"Terserah, tapi kenyataannya celana dalammu itu ampuh untuk menurunkan demammu." Jawab Zaskia dengan acuh.
"Cih…" kini Djaka hanya bisa mendesis tak habis pikir dengan pola pikir aneh Zaskia yang diuar dari prediksinya.
Djaka kini bergerak berusaha untuk bangun walaupun tubuhnya masih sedikit lemas karena masih merasa pusing, hanya saja ia masih bisa berjalan.
"Hei kau mau kemana?"
"Kencing. Mau ikut? Mau bantuin aku memeganginya?"
"Memegangi apa?" tanya Zaskia yang dengan polos tak mengerti.
"Ah sudahlah."
Djaka berjalan sendiri sementara Zaskia hanya mengangkat bahunya berusaha untuk tak peduli karena tampaknya Djaka sudah lebih baik. Lagi pula dia kan seorang pria dan Zaskia yakin jika fisik Djaka pastilah tak seringkih apa yang ia bayangkan sebelumnya.
Didalam kamar mandi Djaka yang sudah selesai buang air kecil menghadap ke wastafel untuk mencuci tangan dan menggosok ggigi dan juga mencuci muka. Ia melihat pantulan wajahnya pada cermin dan mengingat celana dalam miliknya yang dijadikan askia sebagai kompres. Djaka benar-benar tak percaya hal itu, namun detik berikutnya ia justru tersenyum sendiri.