webnovel

Lapar

"Ya, mungkin kau benar juga. Hanya saja, apakah kau lupa jika kita tak hanya ada berdua di tempat ini. Di bawah ada 7 manusia lain yang merupakan pegawaiku. Dan ada puluhan orang yang silih berganti datang ke kedaiku. Aku hanya takut kau lupa dan berkeliaran di bawah dengan pakaian seperti ini. Apakah kau ingin aku membungkusmu lagi seperti tadi?" penjelasan Djaka membuat Zaskia terdiam. Ia memang tak suka dengan penjelasan dan alasan itu, tapi setelah ia pikir-pikir alasan yang Djaka sampaikan ada benarnya juga. Dan Zaskia mengerti jika ini juga untuk kebaikannya sendiri.

"Lalu apakah aku memang harus memakai pakaian tertutup sekalipun aku di dalam kamar?"

"Alangkah baiknya memang seperti itu. Aku sudah menyiapkan pakaian untukmu dalam lemari itu. Mungkin kau bisa melepas hijabmu di dalam kamar tapi jika kau keluar kau harus mengenakannya jika kau tak mau aku membungkus kepalamu lagi."

Zaskia hanya menarik sudut bibirnya dengan malas, namun perlahan ia bergerak menuju lemari pakaian yang Djaka tunjuk. Ia membukanya dan cukup tertegun karena rupanya Djaka sudah menyiapkan segala sesuatu berkaitan dengan penampilannya. Dan semua pakaian ini adalah baru karena masih terdapat label merk dan juga harga yang tertempel di sana.

"Kapan kau menyiapkan semua ini?" tanya Zaskia yang merasa aneh dan curiga.

"Semalam, setelah kita menikah." Jawab Djaka dengan singkat.

"Tapi bagaimana kau mempersiapkan semua ini sendiri?"

"Aku tak pernah melakukan apapun sendiri, Aldo yang selalu membantuku. Bahkan untuk hal kecil."

Zaskia mengingat hal itu karena bahkan Dompet Djaka pun Aldo yang membawa dan mengaturnya. Dan kini Zaskia merasa penasaran dan heran melihat tingkah dan lagak Djaka yang seperti boss besar saja padahal dia hanya seorang boss Bakso.

"Apakah kau selalu bergantung pada asistenmu itu? Dan apakah kau sebegitu percaya kepadanya?"

"Aku sudah mengenalnya sejak kecil, dan dia adalah saksi perjuanganku dalam merintis bisnisku ini."

"Oh.. memangnya berapa sih omset jualan bakso?" sebenarnya pertanyaan ini mengandung rasa penasaran yang ia bungkus dengan sebuah pertanyaan yang seolah menyindir Djaka.

"Gak banyak sih, sekitar 7 sampai 8 juta sehari satu kedainya."

"Oh pantas saja, namanya juga bakso." Sindir Zaskia yang menganggap omset segitu adalah sesuatu yang kecil mengingat dirinya belum lagi di potong biaya produksi dan membayar pewagai mungkin keuntungan bersihnya hanya tinggal seperempatnya saja. Dan menurut Zaskia itu sangat kecil. "Tapi memangnya kau punya berapa cabang kedai bakso?" imbuh Zaskia yang kini mulai merasa penasaran.

"Eum.. eum… aku lupa." Jawab Djaka yang hanya membuat Zaskia semakin merasa kesal dengan jawaban yang tak pasti seperti itu.

"Bagaimana kau bisa lupa? Kau kan yang memiliki usaha ini. Kau adalah bossnya jadi seharusnya kau tau dong."

"Adalah beberapa." Sebenarnya Djaka memang lupa ada berapa pastinya cabang kedai bakso yang ia miliki karena kedai itu tersebar beberapa cabang di satu kota, sedangkan ia memiliki beberapa gerai cabang di beberapa kota yang bahkan tak hanya di pulai jawa tapi juga di Sumatra, Kalimantan dan juga bali. Bahkan tak hanya di Indonesia, Ia juga membuka beberapa gerai di luar negeri. Selain itu pabrik bakso frozennya juga sudah mengimport produknya ke beberapa negara.

Merasa tak mendapatkan penjelasan yang memuaskan Zaskia memilih untuk mengakhiri obrolan yang membahas tentang bisnis Djaka. Karena selain merasa malas Zaskia juga menganggapnya tak penting.

"Joko aku laper." Zaskia memegangi perutnya yang sedari tadi memang sudah keroncongan karena lelah bersih-bersih.

"Ada banyak menu bakso di bawah. Kau bisa memilih dan meminta pada Ayu atau yang lainnya."

"Bakso?"

"Tentu saja, kan memang di bawah kedai bakso."

"Tapi aku gak mau makan Bakso, aku gak suka bakso dan aku benci bakso." Ucap Zaskia dengan tegas yang seolah sudah berikrar pada dirinya sendiri untuk membenci bakso karena menikah dengan pengusaha bakso sekalipun sebenarnya bakso adalah salah satu menu makanan favoritnya. Tapi itu dulu, tepatnya sebelum menikah dengan Djaka. Dan kini ia sangat membnci makanan itu bahkan mencium aromanya saja ia sudah menjadi mual, hal itu tentu saja tak lepas dari rasa bencinya kepada Djaka, suami yang tak ia harapkan.

"Lalu memangnya kau mau makan apa?"

"Apapun yang lain, selain bakso, aku tak sudi memakannya."

"Hmm, boleh saja. Kau bisa makan apapun yang kau inginkan. Kau bisa memasaknya sendiri apapun sesuai yang kau inginkan, tapi nanti, setelah kedai ini tutup."

"Hah? Apakah kau bercanda? Aku lapernya sekarang Joko, dan kau memintaku untuk menunggu sampai kedai tutup? Kau gila. Kau mau membunuhku dan membuatku mati kelaparan?"

"itu sih terserah kamu."

"Huhh.." Zaskia berdecak kesal karena suaminya benar-benar tak peka dan hanya justru menyiksa dirinya. Fix ini memang benar-benar neraka bagi Zaskia. Dan lama-lama ia memang bisa-bisa mati berdiri jika seperti ini.

Namun bukan Zaskia namanya jika ia tak memiliki seribu akal, kini ia meraih ponselnya dan mulai memilih menu makanan yang ia suka. Zaskia sengaja memesan makanan via online dan kini ia bisa duduk dengan sangat santai dan menunggu pesanannya datang.

"Apakah kau setiap hari makan bakso?" tanya Zaskia yang tiba-tiba saja merasa penasaran."

"Tentu saja tidak, ada yang memasak untukku. Tapi hari ini aku pikir istriku yang akan memasak untukku."

"Aku memasak? Jangan mimpi…!"

Jangankan untuk memasak, membuat telur dadar saja Zaskia tak bisa. Sejak dulu ia memang selalu di manja karena dirinya adalah seorang anak tunggal yang menjadi kesayangan kedua orang tuanya. Ia bahkan tak pernah masuk kedalam dapur. Semua sudah tersaji untuknya di atas meja makan dan semua adalah makanan yang di sukai oleh Zaskia. Dan kini tiba-tiba saja Djaka seolah menuntutnya untuk memasak? Tentu saja hal itu adalah sesuatu yang mustahil bagi Zaskia dan ia tentu saja tak sudi melakukan itu untuk Djaka.

Mendengar jawaban singkat nan ketus dari Zaskia Djaka hanya bisa mendesah kecil dan menggelengkan kepalanya karena ia sendiri juga merasa jika Zaskia bukanlah istri yang baik untuknya. Sama sekali tak pernah terbersit di dalam pikiran Djaka akan emiliki seorang istri seperti Zaskia yang manja dan sulit di atur. Namun sebagai seorang suami tentu saja Djaka tak boleh menyerah begitu saja, dan ia bertekad akan membuat Zaskia berubah menjadi pribadi yang lebih baik, setidaknya mendekati kriteria yang ia inginkan selama ini.

Tiba-tiba saja telepon berdering dan buru-buru Djaka mengangkatnya. Ia sengaja keluar kamar agar bisa bicara denga lebih nyaman. Dan selagi Djaka pergi Zaskia merasa senang karena ia sangat muak dan malas berduaan dengan Djaka di dalam kamar seperti ini.

Chapitre suivant