webnovel

Akhirnya Monika Dan Ridho Sah Jadi Pasutri

Ridho yang masih belum sembuh total dan masih terbaring di atas ranjang rumah sakit bingung bukan kepalang, tapi dia melihat sendiri bagaimana ekspresi Yuda yang sedang sekarat dan mengharapkan keputusannya saat itu juga.

"Ridho apa kamu siap?" bisik Monika.

Ridho hanya menatap ke arah perempuan yang dia kagumi itu namun batinnya sempat bergejolak hebat bolak balik mempertimbangkan keputusan baik yang harus diambil.

"Rani, maafkan suamimu ini. Aku sangat munafik jika harus menolak perjodohan ini! Kesuksesan yang akan aku raih tiada bukan adalah untukmu juga," batin Ridho.

Monika dan Ridho tak sadar saling menatap serta saling bertanya dengan tatapan masing-masing.

"Aku siap,"

Jawaban Ridho yang membuat semua orang yang ada di ruangan tersebut berjamaah mengucapkan kalimat hamdallah.

"Alhamdulillah,"

Terlebih Yuda meski sudah lemah, dia berusaha merekahkan bibirnya untuk tersenyum.

Perawat pun mendorong ranjang tidur Yuda supaya berdempetan dengan ranjang Rido, Yuda dan Ridho pun berjabat tangan melakukan ijab kabul.

Yuda dan Ridho mengikuti arahan yang disampaikan oleh ustad Yusuf perwakilan dari KUA wilayah rumah Yuda.

"Bagaimana para saksi sah?" tanya ustad Yusuf

"Sah, "

"Sah, "

"Sah,"

Ke dua kakak Monika Rendi dan Roni. Juga Mang Ujang kompak menjawab "Sah"

Monika mencium punggung tangan Ridho untuk yang pertama kalinya, dan sebaliknya Ridho pun balik mencium dahi Monika untuk yang pertama kalinya juga.

"Selamat ya, sekarang kalian sah sebagai suami istri!" ujar ustad Yusuf.

Disusul oleh ke dua kakak Monika dan Mang Ujang juga dokter yang merawat Ridho dan Yuda.

Namun suka duka selalu berganti dan beriringan, tak lama setelah itu tiba-tiba Yuda tidak bersuara sama sekali. Bahkan ke dua tangannya sudah dia lipatkan sendiri di atas dada dia.

"Dok, ada apa dengan Ayah kami? Matanya terpejam dan nafasnya berhenti?" tanya Rendi.

Dokter lalu memeriksa dada, serta nadi dari tanganya Yuda. Lalu sang dokter menutup langsung wajah Yuda dengan kain selimut dengan mengucapkan.

"Innalillahi Wa inna ilaihi rojiun!" ujar Dokte.

Sontak ke tiga anaknya termasuk Ridho menantunya yang baru beberapa detik yang lalu sah menjadi suami anak bungsunya meneteskan air mata.

"Ayah kenapa harus secepat ini pergi?" lirih Monika.

Segera tim pengurus jenazah Yuda mendorong ranjang tidurnya menuju ruang jenazah.

"Mon, ini semua gara-gara kamu! Ayah meninggal mengorbankan darahnya demi pria yang baru saja kamu kenal," sarkas Rendi.

Roni pun turut berpendapat yang sama, dengan menjentikkan jari telunjuknya tepat ke hidung Monika lalu beralih ke Ridho.

"Kalian pembunuh! Kalian sudah membunuh Ayah! Kalian tidak berhak mendapatkan perusahaan yang Ayah niatkan berikan untuk kalian!"

Roni menimpali pendapat Rendi, Ridho peka dengan perasaan Monika dia raih tangannya lalu dia pegang erat. Gayung bersambut Monika pun menyilangkan ke lima jari dia ke dalam lima jari Ridho.

"Aku nggak tahu dengan rencana Ayah, jika aku tahu mungkin aku pun sudah mencegahnya!" sanggah Monika.

"Aku pun sudah coba cek ke lab untuk donorkan darah aku namun kata petugas lab darah aku tidak cocok," jelas Monika.

Monika berusaha untuk Membela diri karena selain dia bahagia mewujudkan bersatunya dia dengan Ridho namun dia pun harus dihadapkan dengan meninggalnya sang Ayah yang penyebabnya dituduhkan pada dia oleh ke dua kakaknya.

"Aku nggak mau tahu, kamu tidak boleh ikut proses pemakaman Ayah! Kamu pun tidak boleh menginjakkan kaki ke perusahaan, tapi kami bijak silahkan tinggali rumah sesuka hati kalian!" sarkas Rendi.

Bulir-bulir bening terus deras mengalir membasahi wajah cantik Monika, tak disangka kehidupannya akan berakhir setragis itu.

Rendi dan Roni keluar dari ruangan perawatan Ridho, mereka hendak mengurus jenazah Yuda Ayah mereka.

"Bu, sabar ya!" seru Ridho.

Karena baru beberapa menit mereka jadi suami istri, panggilan Ridho pun masih tetap formil.

"Kok panggilnya Ibu sih? Kita kan sudah jadi suami istri," sanggah Monika.

Ridho hanya tersenyum, dia tidak tahu apa yang harus dia lakukan untuk istri barunya itu.

"Saya harus panggil apa? Saya juga bingung," Ridho balik bertanya.

Seketika Monika lupa dengan suasana duka yang terjadi pada dirinya, dengan tanpa melepaskan pegangan tangannya dari jemari Ridho.

"Aku dan kamu sama-sama panggil sayang! Ayo kita sama-sama coba!" ajak Monika.

Monika kembali duduk di kursi menghadap wajah Ridho.

"Sa-sayang," ujar Monika dan Ridho kompak terbata-bata.

Monika dan Ridho pun sama-sama tersipu malu, kursi yang diduduki Monika pun digeser sehingga wajah mereka semakin dekat dan sepasang bibir mereka pun saling bertautan.

Ke dua tangan mereka juga saling membelai ke wajah masing-masing, namun mereka lupa jika pintu lupa dikunci sehingga hampir tim Office Boy memergoki aktivitas Ridho dan Monika.

"Maaf Bu, saya mau ambil sampah!" ujar sang OB.

Monika mempersilakan dengan segera jaga jarak posisi duduk dengan Ridho.

"Maaf Mas, lain kali kalau mau masuk ke ruangan ketuk pintu dulu ya!"

Monika sedikit kesal pada sang OB namun dia pun memahami dengan siapa dia.

"Iya Bu, saya minta maaf! Kalau begitu saya permisi ya Bu!" sahut sang OB.

Setelah OB keluar kembali dari ruangan tersebut, segera Monika mengunci pintu kamarnya dan kembali menghampiri Ridho suaminya.

"Sayang, aku mau melihat sampai di mana proses kepengurusan jenazah Ayah. Aku secepatnya kembali ke sini!"

Ridho tidak mengucapkan jawaban, dia malah mengelus wajah mulus dan lembut mantan Bosnya itu lalu menarik kembali tengkuk dia dan aktifitas tadi kembali terjadi.

"Ya Allah, hamba akui imanku begitu tipis. Tapi perempuan ini halal untuk aku sentuh, apa salahku?" gumam Ridho.

Ke dua pasang mata tetap membulat saling berpandangan meski dengan terus sepasang bibir mereka saling bertautan bahkan semakin panas.

"Aku mohon, aku ijin untuk melihat dulu kondisi jenazah Ayah!"

Monika memaksa melepaskan cengkeraman tangan Ridho mengunci tengkuknya, namun Ridho pun sadar jika istrinya memang tengah berduka.

"Pergilah!" seru Ridho sambil mengelap saliva dia yang membasahi bibir juga wajah Monika dengan lembut.

Namun hanya selang beberapa menit, Monika kembali dengan kondisi wajahnya yang sembab akibat menangis.

"Sayang, kamu kenapa?" tanya Ridho.

Monika langsung memeluk tubuh Ridho dengan terus terisak menangis, lalu perlahan dia bangun dengan menjelaskan apa yang sudah terjadi padanya.

"Kak Rendi dan Kak Roni melarang aku untuk mengantar jenazah Ayah ke rumah!"

Ridho terdiam dan menelan salivanya, dia pun merasa kelimpungan dengan masalah yang benar-benar di luar ekspektasi dia.

"Aku ke Jakarta itu untuk cari kerja dab membahagiakan Rani, tapi kondisinya kok malah seburuk ini. Kalau begini bagaimana caranya supaya aku bisa membuat kak Fadhil berhenti menghinaku? " keluh batin Ridho.

***

Hai reader, menurut kalian bagaimana sikap Monika dan Ridho perihal masalah yang menimpa mereka?

Pastinya kalian penasaran dong! Ayo dong klik batu kuasanya bantu Novel aku supaya nangkring nih.

Chapitre suivant