Alicia berlari sangat kencang, lalu menerobos kerumunan mahluk-mahluk yang hampir mendekatinya. "Mahluk-mahluk apa itu?" Gadis itu bergidik ngeri. Ia sangat ketakutan saat matanya melihat para mahluk halus sudah berada di belakangnya itu. Mahluk-mahluk itu pun mengejar Alicia. Gadis itu semakin di buat pucat dengan tampang mereka yang sangat menyeramkan, ia juga ingat apa yang dikatakan Malaikat maut sebelum ia mengalami.
"Jadi ini yang dimaksud Malaikat maut tadi?" pikirnya. Ia terus berlari secepat mungkin menghindari kejaran para mahluk-mahluk astral yang menakutkan. Baru kali ini ia melihat mereka secara nyata dan jelas. Sebelumnya, Alicia tidak bisa melihat mereka dan merasa nyaman hidupnya.
Gadis itu bergegas masuk ke dalam Goa yang sudah di netralisir bau dan aroma tubuh Alicia yang mudah sekali menarik perhatian semua mahluk astral oleh Malaikat maut. Mahluk-mahluk itu tidak ada yang mengetahui Alicia masuk ke dalam goa itu, dan gadis itu menyaksikan para mahluk halus berdiri di depan goa tanpa tau keberadaannya.
"Sudah gue bilang, bukan? Jangan pernah keluar atau jauh-jauh dari gue?"
Alicia menoleh, ia tak menjawab. Gadis itu mengatur napasnya yang terengah-engah. "Sebenarnya, apa yang terjadi sama aku?" Alicia berdiri dan menghampiri Malaikat maut.
"Seperti yang udah gue bilang sebelumnya, elu manusia yang hidup kembali setelah kematian. Dan tubuh elu terbakar, walaupun tubuh elu kembali normal, tetap saja bau busuk elu sebagai bangkai akan tercium dan itu sangat di sukai mahluk-mahluk yang mengejar lu itu tetapi sangat di benci para malaikat!" ujar Malaikat Maut memjelaskan secara detail. "Lebih baik, lu jangan pernah jauh-jauh dari gue!" Lanjutnya. Mata Malaikat itu terpejam, namun ia mengetahui apa yang Alicia rasakan dan ia takutkan saat ini.
Alicia berjalan pelan, lalu duduk besebrangan dengan Malaikat maut itu. Dia meringkuk, memeluk lututnya. "Aku hanya ingin mengambil air di sungai yang tidak jauh dari sini untuk membersihkan lukamu, tapi ternyata mereka semua sudah berkumpul di belakangku sambil menatap mengerikan terhadapku," kata Alicia menjelaskan. Ia melihat sebentar ke arah Malaikat maut itu.
"Sayapku tidak apa-apa, aku bisa menyembuhkannya dengan sihirku!" imbuh Malaikat maut.
"Oiya ... namaku, Alicia. Nama kamu siapa? Bukankah setiap malaikat punya nama?"
"Alicia Nathaneil Dean, usia masih 16 tahun dan beberapa bulan lagi berusia tujuh belas tahun. Kamu seorang gadis introvent yang suka menggambar dan tidak punya banyak teman di sekolah. Tapi kamu mempunyai nilai akademis sempurna hingga menjadi kebanggaan para guru di sekolah. Ayah bernama Dean Cornell White dan Ibu bernama Saphira Glamour Finden."
Alicia terbeliak mendengar semua ucapan Malaikat maut yang mengetahui semua tentang dirinya. "B-bagaimana kau mengetahui semua itu?"
"Aku ini Malaikat maut, jadi kau tidak perlu menyebutkan namamu, aku sudah tau semua tentang dirimu itu!"
Gadis itu menghela napas, "Oke, baiklah, jadi kau tidak mau menyebutkan namamu, sedangkan kamu mengetahui semua tentangku?" sergah Alicia sedang protes. Malaikat maut itu tersenyum tipis.
"Buat apa kamu mengetahui namaku?"
"Hei, tak kenal maka tak sayang. Masa aku harus terus menerus memanggilmu Tuan malaikat maut?" gerutu Alicia mulai kesal.
"Tak kenal maka tak sayang? Apakah kamu menyukaiku secara terang-terangan?"
"Bukaaaan!" bantah Alicia secepat mungkin. "A-aku h-hanya ingin t-tau nama kamu aja, gak lebih!" sahut Alicia tersipu malu, ia memalingkan wajahnya saat Malaikat maut itu membuka matanya. "Itu kalau boleh, Kalau gak boleh, juga gak apa-apa!"
Sekali lagi dan ini untuk ketiga kalinya Malaikat maut itu tersenyum. Sayangnya, Alicia tidak melihat senyuman manis yang dimiliki Malaikat maut itu.
"Azriel, itu namaku. Dan kau bisa memanggilku dengan sebutan Riel!" tukas Malaikat maut itu. Ia terus bermeditasi, melakukan penyembuhan fisiknya dengan kekuatan sihir yang ia miliki. Tubuhnya mulai diselimuti cahaya biru.
"S-senang berkenalan denganmu, Riel!" kata Alicia, malu-malu menyebut nama Malaikat maut itu. Matanya tak lepas dari Riel yang sedang fokus mengobati dirinya sendiri.
"Jangan pernah memandang gue seserius itu, bisa-bisa elu akan cepat jatuh cinta pada gue!" imbuhnya, ia mengetahui apapun yang dilakukan itu.
"Iih, siapa juga ngeliatin kamu. Ge-er banget!" sahut Alicia sangat ketus. "Ya sudah, aku tidur duluan!" lanjutnya menahan malu. Wajahnya benar-benar sangat merah. Ia tidur membelakangi Riel dengan jantung yang berdetak sangat kencang. Dua kali ia dibuat salah tingkah oleh Malaikat maut. Ia benar-benar tidak tau rasa apa yang membuatnya jadi salah tingkah dengan debaran jantung yang kian tak menentu.
Alicia meremas baju bagian dadanya. Lalu menekan tepat di belahan kedua p*yud*aranya. "Sial, kenapa jantungku bisa bergedub kencang seperti ini? Dan rasanya mau meledak!" pikirnya. Ia tetap berusaha menenangkan jantungnya agar berhenti berdegup. Hal ini terjadi bukan sekali, tadi di hutan saat Iblis menggodanya pun jantungnya tak mau tenang sebentar saja. Namun ada perbedaan antara degup jantungnya ini, saat ini dua kali lebih cepat saat Iblis menggodanya walau tangannya di remas-remas.
Lalu di luar,
Iblis itu mengikuti Orthus, anjing peliharaan Iblis itu mengendus-endus jejak Riel dan Alicia di permukaan tanah. Namun, jejak itu menghilang di dekat goa itu. Orthus tidak bisa mencium jejak Riel dan Alicia. "Ada apa Orthus? Kau tidak bisa menemukan jejak mereka?"
Guk.
Guk.
Guk.
Orthus menggonggong tiga kali. Suaranya sampai terdengar ke telinga Malaikat maut. "Anjing? Jangan-jangan Iblis itu memanggil peliharaannya? Ini Gawat, aku harus menggunakan perisai agar yang lebih kuat lagi agar mereka tidak menemukan tempat ini!"
Malaikat maut menggunakan sihirnya lebih besar lagi sehingga tubuhnya dibasahi air keringat yang cukup banyak menetes dari pori-porinya.
Perisai sangat besar melindungi goa itu dari penciuman Orthus. Malaikat maut menetralisir bau tubuh Alicia dan dirinya agar Orthus tidak bisa membedakan bau tubuh mereka berdua.
Malaikat maut menarik napas dan kemudian menghentikan gerakan tangannya. Berakhirnya dengan itu, telah berakhir juga ia membangun perisai yang kuat dan sulit di terobos Iblis itu dan juga Orthus.
"Bagaimana Orthus, kau sudah menemukan tanda-tanda kehadiran dari aroma tubuh mereka?" tanya Iblis itu memperhatikan kinerja anjing meliharaannya yang sangat besar dan menyeramkan itu. Orthus kemudian melangkah maju, ia mencium bau Alicia menuju sungai. Tempat yang gadis itu datangi untuk mengambil air.
Guk.
Guk.
Guk.
Orthus meminta Iblis itu untuk mengikutinya. Namun iblis itu tidak langsung mengikuti Orthus, ia sempat menoleh ke arah goa. Tetapi, di pandangan matanya goa itu terlihat sangat gelap dan kosong. Ia tidak bisa mencium bau tubuh baik Alicia maupun Malaikat maut. "Tunggu aku, Orthus!" teriak Iblis itu, mengikuti kemana Orthus melangkah. Dan Malaikat maut bernapas lega.
"Sukurlah, mereka sudah pergi!" pikirnya. Namun ia belum bisa menyembuhkan lukanya. Tenaganya benar-benar habis untuk membuat perisai pelindung.
Lalu tubuh itu terjatuh,
Buk.
Alicia menyadari suara itu, dan ia menoleh. "Riel!" pekiknya sangat kaget. Ia bangun dan bergegas menolongnya. Malaikat maut benar-benar kehabisan tenaga.
****
Bersambung.