webnovel

Sang Penjaga

(Ryandra Lim)

Lelah. Itu yang aku rasakan, seharian mengikuti pelajaran, satu lagi mengikuti ilmu bela diri. Melatih kekuatanku. Saat ini mengikuti seni rupa. Aku sangat suka melukis. Kali ini, pikiranku curahkan pada sosok wanita bergaun merah yang selalu membayangiku dimana pun aku berada. Aku tidak tahu siapa wanita itu, tetapi wanita itu seperti mengenal aku.

Langit sudah gelap saat aku memarkirkan mobil di basment. Karya lukisan yang aku buat aku bawa pulang ke apartemen, dengan ditutupi kain yang sudah diikat. Aku melangkah masuk ke dalam lift, menekan tombol lantai 30, karena tempat tinggalku berada di lantai 30. Apartemen tempat tinggalku memang tidak ramai, kebanyakan orang kantoran yang baru pulang malam atau sore jika cepat. Saat masuk lift pun hanya aku seorang yang berada di dalam lift sendiri.

Baru lantai 10, tiba-tiba lampu di dalam lift berkedip-kedip sendiri. Entah rusakkah dan belum diperbaiki. Pintu lift terbuka sendiri. Aku menatap koridor lantai 10 yang sepi sekali, pencahayaannya yang remang-remang, menambah kesan horor.

Merasa tidak ada orang yang menaiki lift, aku kembali menekan tombol lift untuk menutupnya, tetapi saat aku menekannya tidak bisa tertutup. Ada apa ini? Kenapa tidak bisa tertutup? Aku terus menekan tombol dengan perasaan was-was. Saat aku berhenti menekan tombol lift. Aku melihat sosok wanita bergaun merah di ujung lorong. Aku tidak tahu kenapa perasaanku tidak enak melihat wanita itu lagi. Saat dia berjalan ke arahku, lampu di ujung mati, terus begitu saat wanita itu berjalan kian cepat. Aku terus menakan tombol lift dengan rasa panik.

Jarak wanita itu dengan aku yang berada di lift hanya menyisakan lima meter. Di sekeliling koridor gelap. Aku terus menekan tombol lift. Semoga saja pintu lift mau tertutup. Pintu lift akhirnya mau tertutup, tepat saat aku melihat mata hijau wanita itu yang seakan marah, melihat mangsanya kabur. Aku terkejut dengan dobrakan di pintu lift, dobrakan itu membentuk sebuah tangan yang tercetak jelas di pintu lift.

Aku mengatur napasku yang tersendat-sendat, untungnya asmaku tidak kambuh. Kalau tidak, repot sudah, karena aku meninggalkan alat inhaler ku di mobil. Aku masih terus mengatur napasku.

"KENAPA KAMU LARI?!"

Aku terkejut bukan main. Suara teriakan wanita di belakangku. Aku refleks berbalik ke belakang, lukisan yang aku bawa terjatuh ke lantai. Aku bisa melihat jelas sosok wanita bergaun merah tepat di depanku. Mata hijaunya yang seperti hewan menatapku tajam, kuku-kuku panjang dan tajamnya menyentuh, dan mengelus setiap inci wajahku.

Tangannya dingin sekali, sampai membuatku gemetar karena mungkin ini yang namanya rasa takut. Takut pada wanita memang hal yang aneh, tetapi wanita itu berbeda sekali. Seakan ada pancaran aura kejam dan horor yang menusuk ke dalam jantungku.

Wanita itu seperti tidak hidup atau memang bukan manusia. Tapi, wajahnya itu mengingatkan aku pada seseorang yang sulit sekali aku ingat.

Wanita itu mengendus-endus wajahku. Aku merasa tidak nyaman, karena hembusan dari wanita itu adalah hawa dingin yang mencekam. Jika ada orang yang melihatnya, mereka mengira ada seseorang yang bercumbu di dalam lift, padahal kenyatannya wanita itu bukan sosok manusia.

"Kenapa kamu lari? Aku sudah menantikanmu begitu lama, berkali-kali aku mendatangimu lewat mimpi."

Suara wanita itu sangat lembut sekali, aku mendengarnya di dekat telingaku. Aku berusaha tetap fokus, tidak terbuai suara lembutnya.

"Kenapa diam saja? Ikutlah aku?"

Wanita itu terus merayuku, tetapi aku terus menggelengkan kepala. Aku tidak akan mau terbujuk rayuannya. Aku merasakan di dalam diriku seperti sebuah alarm peringatan, aku tidak boleh mengikuti wanita itu.

"KENAPA TIDAK MAU?" ucap wanita itu marah. Suara lembutnya berganti dengan intonasi tinggi dan ada suara lainnya yang saling bercampur, dan desisan seperti hewan melata.

Aku menutup kedua telinga dan mataku tertutup rapat-rapat. Selama seperkian detik, aku tidak mendengarkan suara wanita itu lagi. Merasa sudah aman, aku membuka mataku perlahan-lahan. Aku terkejut, aku sudah tidak berada di dalam lift lagi.

Entah aku berada dimana. Pilar-pilar menjulang tinggi, ada sekitar lima pilar mengelilingi sebuah sangkar besar. Aku terkejut melihat wanita bergaun merah itu berada di depanku, tetapi mata merahnya seperti tidak tertuju padaku, melainkan sesuatu di belakangku. Aku menoleh ke belakang, sebuah pintu sangkar dan aku tidak tahu ada apa di dalam sangkar itu, karena gelap.

Aku berada di tengah-tengah, antara wanita bergaun merah dan sangkar yang berada di belakangku. Aku merasakan ada sosok yang berjalan dan berhenti di belakangku, hanya memisahkan aku dan pintu sangkar. Aku tidak berani melihat ke belakang, sosok apa yang berada di belakangku, tetapi mataku melihat mata hijau wanita itu.

Wajah wanita itu terangkat ke atas, tatapan matanya sangat tajam, namun penuh ketegasan.

"Aku tidak menyangka, kamu penjaga anak ini."

Aku tidak mengerti apa yang dikatakan wanita itu. Aku dijaga sesuatu. Siapa yang menjagaku?

Wanita itu mundur perlahan, menjaga jarak denganku, yang hanya menyisakan dua meter. Wanita itu terus menatap sesuatu di belakangku.

"Kenapa kamu menampakan wujud manusia? Kenapa tidak dengan wujudmu yang sebenarnya?" ucap wanita itu tersenyum, namun dengan intonasi yang tegas.

"Pergi!"

Aku mendengar seperti suara yang berat dan mengancam yang tertuju pada wanita itu.

"Aku menghormatimu sebagai Yang Agung. Tapi, aku tetap akan kembali ke anak ini. Dia sudah dipilih untukku."

Wanita itu membungkukkan kepala dan badannya, dengan satu tangan di dada dan tangan lainnya menyibak gaun merahnya yang mengembang. Seperti memberi hormat. Wanita itu menatapku dan menatap sesuatu di belakangku. Tergurat bibirnya yang membentuk senyuman miring. Seakan memancing sosok di belakangku.

"PERGI!"

Suara di belakangku seperti suara seseorang yang sedang marah. Hembusan angin yang sangat kencang sekali, sekilas aku melihat wanita itu mundur perlahan dan menghilang di balik kegelapan. Hembusan angin yang sangat kencang membuatku harus menutup mata.

Merasakan angin aneh mereda. Aku melihat sekelilingku bukan lagi tempat aneg. Aku berada di dalam lift kembali, dengan aku yang terduduk di lantai. Tempat dengan pilar-pilar dan sebuah sangkar. Entah kenapa tempat itu seperti nyata sekali. Aku mengusap keringat yang mengucur di wajahku. Semuanya telah kembali normal.

Suara pintu lift terbuka. Aku melihat dua orang wanita, yang satu wanita paruh baya dan satunya lagi wanita seumuran mamaku, mereka menatapku heran bercampur cemas.

"Nak Riri tidak apa-apa?" tanya wanita paruh baya itu khawatir dan membantuku berdiri kembali.

Aku kembali berdiri dengan menenteng lukisanku, aku menjawab setenang mungkin, meski masih merasakan ketakutan. "Aku baik-baik saja, Nenek Nasya."

"Lalu kenapa sampai duduk-duduk begitu di lantai?"

"Hanya lelah, tugas lumayan banyak," ujarku berbohong pada wanita paruh baya itu yang menatapku cemas.

"Jaga kesehatan Nak Riri. Apa lagi Nak Riri tidak tinggal sama mama dan papa."

Aku mendengar dengan sabar nasehat-nasehat wanita paruh baya itu, meski terkesan bosan. Aku tidak boleh bersikap tidak hormat pada yang tua. Sedangkan wanita yang umurnya sepantaran mamaku. "Ini Tante sudah masak masakan kesukaan kamu, ikan bakar."

Aku menerima kotak berisi makanan yang di berikan Tante Hilda. Dia begitu baik sekali padaku, kebaikannya yang begitu tulus. Padahal umurnya sudah mau menginjak 40, tetapi sampai saat ini Tante Hilda belum menikah. Aku dekat dengan Tante Hilda seperti aku menganggapnya ibu sendiri.

Tante Hilda pernah menikah, tetapi karena tidak akan bisa memiliki anak, dia cerai dengan suaminya dan tidak menikah sampai sekarang. Dia sudah mengasuhku sejak aku kelas lima SD. Mama dan papa yang sangat sibuk bekerja, Tante Hilda dan Nenek Nasya merawatku dengan kasih sayang. Bahkan saat aku pindah ke apartemen, mereka juga ikut pindah ke apartemen, karena mereka hanya berdua di rumah kontrakan, terlebih Tante Hilda sudah bekerja di bank swasta dengan gaji tetap, tidak masalah ikut pindah di apartemenku yang mahal ini.

"Oh ya, kamu katanya mau pindah ke Penthause?"

"Ia Tante. Aku sudah hampir mengemas barang-barangku, tinggal nanti minta orang angkut ke Penthause. Tante Hilda sama Nenek Nasya mau kemana?" tanyaku melihat mereka berpakaian rapih.

"Kami mau pergi, ada kerabat yang akan menikah. Jadi kami harus kesana."

Setelah berbincang-bincang sebentar dengan mereka. Aku masuk ke dalam apartemenku. Di setiap sudut sudah ada beberapa kardus yang telah terisi barang-barangku yang akan dibawa ke tempat tinggal baruku, tentunya aku akan mengajak Tante Hilda dan Nenek Nasya tinggal di sana. Jika mereka menolak, akan aku paksa dan tinggal di unit yang berbeda, tetapi masih di tempat tinggal baruku.

Hari ini melelahkan sekali, belum lagi kejadian yang sangat aneh sekali yang aku alami hari ini. Aku menyimpan lukisanku yang masih terbungkus kain, menyimpannya di kotak kaca dan menguncinya. Setalah itu, aku membersihkan diri dan istirahat, menantikan hari esok yang mungkin akan ada kejutan tak terduga lagi.

Chapitre suivant