webnovel

Jose dan istrinya

Aku masih saja duduk terkapar di depan pintu. Tidak ada nyawa lain selain diriku seorang. Ruangan luas, tetapi rasanya sempit bagiku. Aku bahkan ingin kembali ke tempat yang jauh dari sini. Pergi dengan seorang diri dari arah yang tidak terduga.

Tanganku mulai turun, dengan pandangan ke ruang tamu yang disusun rapi oleh sofa nyaman dan empuk.

Lututku lunglai, tak ingin beranjak. Akhirnya aku memaksa diri untuk lebih tegak, melihat kebahagiaan yang datang sekejap mata malah menodai diriku sendiri. Aku menjadi wanita bodoh yang menerima semua ini.

"Gue harus keluar, gue mau balik ke rumah papa. Dia yang udah ngerencanain ini, jadi gue mau tahu semuanya."

Aku berbalik dekat pintu, tidak peduli dengan koper yang masih di tengah ruangan. Keluar, lalu tanganku secepatnya mengunci pintu.

Kakiku malah menjauhi halaman menuju gerbang, keluar dari jalur jalanan luas. Aku meraba saku celana yang masih tersimpan dompet milikku. Hanya beberapa lembar saja di dalamnya, Jose tidak memberiku uang.

Hanya recehan lima puluhan ribu dan beberapa dua puluhan ribu. Aku harus berjalan keluar menuju jalan raya besar.

"Oh, iya! Mending gue cari ojek online aja," putusku meraih ponsel.

Jemari lentikku menekan layar sentuh yang bercahaya terang. Layar yang sudah mengarahkan diriku pada sebuah aplikasi yang akan memanggil tukang ojek online. Beberapa sentuhan pada layar, akhirnya selesai. Beruntung, Jose sudah mengisi paket internet.

Aku hanya perlu menunggu setelah membagikan lokasi kepada tujuan ojek online. Di bawah keteduhan pohon yang menjulang tinggi, aku menunggu dan siap dijemput.

"Duh, lama amat sih!"

Tadinya aku sempat menangis karena tidak terima nasib. Aku bahkan tidak peduli dengan air mata yang begitu basah di pipi.

Akhirnya yang ditunggu pun tiba, si tukang ojek menghampiriku dan berhenti. Pria itu menyerahkan helm untuk kupakai.

"Ke mana, Neng?"

"Ikut aja, ntar gue kasih tahu," pintaku.

***

Dari perjalananku menuju rumah ayah, lalu di balik kota yang berbatas dengan jarak yang cukup jauh. Di Pantai Indah Kapuk, bangunan elite berlantai tiga, bernuansa modern dengan tampilan taman kecil tampak mempesona.

Bangunan elite berkesan mewah dan minimalis. Dipenuhi dengan rumput yang hijau, dengan kolam berenang yang memanjang. Warna biru bening tampak menyilaukan. Apalagi di sekeliling bangunan telah dilindungi oleh pagar tembok tinggi dan elegan.

Setiap sisi dinding dan tiang lampu taman terdapat CCTV yang terpasang kuat. Seluruh pemandangan rumah ini layaknya orang yang memiliki loyalitas tinggi.

Di dalam sana, ruangan yang bersih; rapi; ramping dengan aksen furniture modern di setiap sudut. Jose sedang menikmati kacang kulit di depan televisi, sedangkan seorang wanita sebayanya berjalan menghampiri dirinya.

"Jose, kok mama sama papa semalem ke mana sih? Barengan sama kamu?"

Jose menoleh spontan, hanya sesaat lalu kembali memperhatikan layar televisi lagi. "Nggak ke mana-mana kok."

"Gue mau cari tahu ah! Gue mau ke rumah mama dulu," putus wanita itu.

"Bela!!" Jose memekik dengan keras sambil menoleh cepat. Tampaknya Jose mengeluarkan tatapan sengitnya untuk perempuan yang sedang berusaha keras untuk pergi.

Jose beranjak, membusungkan dadanya sambil menatap serius ke arah wanita itu. Kakinya mendorong dan tertuju pada wanita di depannya.

"Lo itu istri gue yang hanya perlu duduk santai di rumah, bukan pergi cari tahu sesuatu. Cukup di rumah dan pergi berbelanja!" ketus Jose menyipitkan mata.

"Jose, biar aku istri lo, tapi gue kan cuma mau tahu."

"Nggak perlu nanya-nanya. Mereka pergi nggak barengan sama gue. Gue ada urusan di Pelabuhan, gue nggak tau mereka ke mana."

Jose langsung memutar badannya, sedangkan Bela mengernyitkan dahi begitu bergelombang. Rautnya visus, tajam. Penasaran dengan perubahan emosi suaminya tampak jelas.

"Jose, ada yang lo sembunyiin dari gue. Kenapa tiba-tiba lo marah gue dateng ke rumah mama sama papa?" Bela mengerucut.

Jose masih merasa muak, napasnya mendengus pelan dan panjang. Baru saja dia berbalik, lalu dia harus kembali pada tatapan Bela lagi. Istrinya terlalu menyusahkan dirinya untuk memaksa saling bertatapan. Jose akhirnya menuruti keinginan istrinya untuk berhadapan.

"Gue capek! Gue harus datang ke kantor sebentar lagi." Ucapan Jose cukup jelas untuk si istri. Tubuhnya berkirai tanpa raut ramah menyentuh hati seorang perempuan.

Bela ditinggalkan seorang diri dengan suara televisi di dalam sana. Matanya memicing ke segala langit-langit ruangan, kedua tangannya bersedekap seakan tidak puas dari ucapan suaminya.

"Apa sih? Gitu aja kok nggak suka. Emang gue jadi patung rumahan apa?"

"Huh!" Bela menyingkir dari sudut dinding lalu menutup layar televisi menyisakan keheningan.

Sementara Jose memasuki arah dapur sambil menuangkan air putih dingin ke dalam gelas bening. Meminumnya secara perlahan hingga tak bersisa.

Gluk! Gluk! Gluk!

Jose menaruh gelas bening, lalu memutar tubuhnya. Tanpa berpikir panjang, tangannya meraih ponsel yang ada di balik saku celana panjang. Tangannya sedikit menggeser nama-nama lalu dia memanggil seseorang.

Kakinya mendekati ambang pintu lalu keluar dari arah dapur. Suasana halaman dipenuhi dengan tetumbuhan serta rumput hijau yang meluas. Jose menyudutkan dirinya sambil menahan ponsel di telinganya.

Seseorang mengangkat telepon, Jose pun menyerobot.

("Apa kamu udah nganterin Ocha?")

Jose memulai percakapannya.

["Kami sudah melakukannya, Bos. Sepertinya dia menuruti apa yang kami minta."]

("Baguslah! Kerjakan sisanya, jangan ada yang tahu soal kejadian ini.")

Jose langsung mematikan ponsel dan mengakhiri percakapan tanpa harus takut kepada seseorang yang sudah mengawasinya dari balik pintu dapur.

Bela ada di balik dinding, hampir saja dia ketahuan ketika hendak menguping pembicaraan suaminya.

Namun Jose tidak mengetahui keberadaan Bela yang sedang memantau dirinya. Dengan cekatan, dia berbalik arah, melewati halaman menuju pintu lain. Dia berjalan dari arah kanan, bahkan menuju bangunan paling ujung.

Bela tidak menyadari kalau suaminya sudah tidak ada di sana.

"Gue curiga banget!" gumam Bela mengerutkan kening.

***

Aku telah sampai, di depan rumah yang tidak seberapa mewah. Bahkan berbeda jauh dari rumah yang aku tinggali sekarang. Tampaknya rumah dinding permanen dengan gerbang kecil besi begitu sepi.

Tanpa ragu aku memasuki halaman pertama rumah orang tuaku. Penuh dengan tanaman bunga.

Kakiku langsung memasuki arah dapur, dimana ibuku ada di sana.

"Mama," panggilku manja, dengan mata dan kelopak hampir bergetar. Bibirku sangat melengkung sambil menggenggam dua telapak tangan meremas-remas.

Ibuku menoleh ke arahku, lalu dengan cekatan aku menghampiri ibuku merampas tubuhnya. "Mama tega banget! Kenapa mama nggak kasih tau Ocha, Ma?"

Rintihanku mulai meraung. Kemudian aku mengendur dan memberi jarak kepada beliau.

"Ocha, maafin mama. Mama juga nggak bisa berbuat apa-apa." Balasan ibuku seolah-olah menyayat kalbu, dia seakan persis sama dengan ayah.

"Ocha!" seru ayahku memanggil.

Aku terlonjak dan memutar badan, di sana beliau memperlihatkan raut seriusnya. "Kenapa kamu dateng ke sini?! Cepat pulang sana!!" usir ayahku.

"Papa, aku dateng ke sini buat nanya ma papa. Apa papa udah ngejual Ocha ke orang kaya?? Hah?!" jeritku mengeluh dengan nada memilukan.

"Kamu dijual karena kami butuh kesenangan!!"

DEG!!

Apa yang baru saja aku dengar tadi?

Bagaimana dengan cerita selanjutnya?

Klik terus yuk!

Dukung ceritaku ya, Kawan!

Jangan baca apa lagi taruh ke rak!

Anda suka berarti menambahkan ke rak. Saya tunggu review dari semuanya ya.

Tak kenal maka tak sayang, kayak cerita di atas.

Jangan lupa kirim batu kuasa setiap hari. Ini wajib!

Chapitre suivant