Berlian terjatuh, tubuh gadis itu luruh ke lantai. Mata Berlian terasa berkunang-kunang dengan kepala yang sangat berat, melihat darah segar miliknya sendiri membuatnya mual bukan main. Namun untuk menyangga tubuhnya sendiri ia merasa tidak sanggup. Sedangkan Risa, perempuan paruh baya itu menatap anaknya dengan bibir yang bergetar, kakinya turut lemas. Karena ulahnya, kini darah segar anaknya bercucuran di lantai.
“Berlian, kamu baik-baik saja?” tanya Risa dengan bodohnya.
Ceklek!
Suara pintu terbuka membuat Risa menolehkan kepalanya. Bian dan dua orang lainnya bergegas masuk.
“Bukan aku pelakunya,” ucap Risa menggelengkan kepalanya. Bian tidak menanggapi, pria itu segera menolong atasannya.
“Bu Berlian, Bu Berlian masih sadar?” tanya Bian menepuk-nepuk pipi Berlian.
Melihat Berlian yang hampir kehilangan kesadarannya, Risa bergegas pergi tanpa sepatah kata. Seorang pria asing yang menatap Risa pergi pun ingin mengejar, tapi Bian mencegahnya.
“Itu ibunya Bu Berlian, jangan hiraukan dia,” kata Bian.
“Saya membawa kotak P3K, biar saya obati,” ucap pria asing menggulung lengan kemejanya. Pria itu menggendong tubuh Berlian ke sofa.
“Maaf, Pak Bian. Saat Pak Bian menelpon saya untuk kemari, saya membawa rekan Psikiater saya, namanya Dokter Bara,” ucap Dokter Ayu, Psikolog yang menangani Berlian.
“Ah iya, tidak apa-apa, Dok,” jawab Bian. Bian mengusap keringat di dahinya. Hari ini kejutan untuknya, pasalnya tanpa pemberitahuan Risa datang ke sini.
Bian sudah bisa menebak kalau Risa datang pasti akan ada hal yang tidak baik-baik saja.
“Pak Bian, penyakit OCD yang diderita Bu Berlian sudah parah. Saya sengaja mengajak Psikiater untuk menangani Bu Berlian. Karena memang seharusnya ini sudah ranah Psikiater. Saya pastikan kalau Bu Berlian lambat laun akan sembuh,” jelas Dokter Ayu.
“Terimakasih, Dokter. Kalau begitu saya permisi dulu, ya. Saya tunggu di depan,” ucap Bian.
“Silahkan,” jawab Dokter Ayu.
Bian keluar dari ruangan setelah melirik sekilas dokter tampan yang sudah mengobati luka Berlian. Tadi Bian menelpon Dokter Ayu saking paniknya, untungnya Dokter datang dengan cepat meski harus lewat pintu darurat perusahaan. Karena kalau dari depan sudah pasti mengundang banyak tanya dari karyawan.
“Lukanya tidak terlalu dalam, untung saja bukan urat nadinya yang tergores,” ucap Dokter Bara.
“Dia pasien yang saya rekomendasikan pada Dokter. Bu Berlian sudah setuju, jadwalnya memang sebenarnya besok. Namun hari ini ada kejadian yang tidak terduga, maaf sudah merepotkan Dokter Bara,” ucap Dokter Ayu.
“Tidak apa-apa, Dok. Data dirinya yang kemarin Dokter kirimkan pada saya?”
“Iya,” jawab Ayu.
Bara, Psikiater yang berusia dua puluh delapan tahun. Pria itu bertugas di rumah sakit Swasta Jakarta. Bara termasuk dokter muda yang menjadi primadona rumah sakit. Wajahnya yang tampan, rambut rapi dan penampilannya yang menawan acapkali membuat rekan dokternya berbondong menjodohkannya dengan anak mereka. Bara masih lajang, membuat rekan dokternya tampak antusias menjodoh-jodohkan Bara.
Semalam Bara sudah tidak bisa tidur karena mendapat data diri dari Dokter Ayu tentang Berlian. Berlian cukup terkenal, karena setiap majalah bisnis pasti memuat foto wanita itu. Bara mempunyai satu keponakan kecil yang sangat mengidolakan Berlian, dan kali ini ia bertemu dengan gadis yang selalu menghiasi sampul majalah bisnis.
Berlian tampak cantik saat di majalah, tetapi aslinya Berlian jauh lebih cantik.
“Keadaannya sudah membaik. Mungkin sebentar lagi bangun,” ucap Dokter Ayu yang membuat Bara mengalihkan pandangannya. Bara menganggukkan kepalanya pada Dokter Ayu.
Bara menatap sekelilingnya yang tampak mewah. Ternyata benar kalau kehidupan CEO sangat berbeda dengan kebanyakan orang biasa. Pandangan Bara kembali fokus pada Berlian. Tubuh ramping dan rambut pendek dikuncir kuda. Bara menyamakan Berlian dengan pigura foto yang ada di meja. Foto itu menunjukkan foto jadul. Akan tetapi rambut Berlian tetap pendek.
“Rambutnya tidak pernah panjang?” tanya Bara dengan pelan.
“Berlian mengalami gangguan OCD sejak tiga tahun lalu, foto itu diambil lima tahun lalu bersama kakaknya. Dari dulu rambut Berlian tidak pernah panjang,” jelas Dokter Ayu. Bara mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Eghh ….” Suara erangan tertahan keluar dari bibir Berlian. Dengan pelan gadis itu mengucek matanya. Pusing yang diderita Berlian masih sedikit ada, tapi alarm bawah sadarnya memaksa bangun.
“Berlian, kamu sudah bangun?” tanya Dokter Ayu membantu Berlian duduk. Berlian segera duduk, gadis itu membuka matanya dengan lebar.
“Apa yang terjadi?” tanya Berlian.
“Kamu pingsan. Sekarang tenang dulu, aku ambilkan air,” kata Dokter Ayu yang bergegas berdiri. Dokter Ayu sudah sering ke sini, ia hapal betul tata letak ruangan Berlian. Berlian pun sudah ia anggap adik sendiri saking lamanya ia bersama Berlian.
Dokter Ayu pernah menyerah mengobati Berlian karena sudah tiga tahun tidak kunjung sembuh. Namun saat ia merekomendasikan Berlian ke psikiater, Berlian selalu menolak dengan alasan tidak cocok. Berlian selalu optimis sembuh di tangannya. Namun kemarin Berlian setuju dengan usulannya untuk pindah Ke Dokter Bara. Dokter Ayu pun tidak tahu alasan Berlian mau ke Dokter Bara,
“Ibuku sudah pergi?” tanya Berlian.
“Sudah, ini minum dulu,” jawab Dokter Ayu membawakan segelas minuman untuk Berlian. Berlian segera menegaknya, gadis itu menatap pergelangan tangan kirinya yang terlilit perban.
Mengingat sesuatu, Berlian bergegas mengusap pipinya. Ia takut kalau ada jejak-jejak air mata di wajahnya.
“Kenapa diusap?” tanya Ayu.
“Ah tidak apa-apa.”
“Berlian, perkenalkan ini Dokter Bara. Psikiater yang aku rekomendasikan kemarin,” ucap Dokter Ayu menunjuk Dokter Bara. Berlian menolehkan kepalanya, mata gadis itu membulat sempurna tatkala melihat sesosok tampan di hadapannya.
“Hai, Dokter,” sapa Berlian menatap Dokter Bara tidak berkedip.
Postur yang tegap, wajah tampan, rambut yang rapi dan hidung yang mancung. Berlian mendekatkan tubuhnya dengan Bara. Gadis itu menatap seolah meneliti setiap jengkal wajah Bara. Bara yang merasa ditatap pun sangat kikuk, pria itu memundurkan wajahnya.
“Eh … ada … ada apa?” tanya Bara yang terus mundur. Semakin Bara mundur, semakin Berlian maju lebih dekat.
“Wah … apa aku sedang bermimpi?” tanya Berlian masih enggan berkedip, mengagumi makhluk Tuhan yang sangat tampan.
Berlian memang menyandang jabatan sebagai CEO yang perfectionist, tapi di lubuk hati terdalamnya, ia sama halnya gadis-gadis di luar sana yang mengidolakan aktor korea yang jadi favorit mereka. Berlian juga pernah berhalusinasi menjadi istri dari Lee Jong suk, dan sekarang ia seolah melihat sosok itu di depannya.
“Bu Berlian, ada apa?” tanya Bara.
“Jangan panggil, Bu. Jangan!” ucap Berlian menarik pipi Bara dengan kedua tangannya. Saking kuat menariknya membuat wajah Bara hampir bertubrukan dengan wajah Berlian.
Bara membulatkan matanya, begitu pula dengan Dokter Ayu. Tingkah Berlian memang selalu di luar dugaan, tapi ini kali pertamanya Berlian berani memegang kepala Dokter, apalagi ini dokter baru yang akan menanganinya.
“Saya harus panggil apa?” tanya Dokter Bara.
“Panggil Berlian, itu saja. Jangan Bu, terkesan tua,” ucap Berlian mengedipkan sebelah matanya.
“Berlian,” panggil Dokter Ayu menurunkan tangan Berlian dari wajah Bara. Bara menarik napasnya dalam-dalam, wajah Bara memerah setelah berhadapan dengan wajah gadis yang sangat cantik. Apalagi napas Berlian menerpa tepat di depan wajahnya.
“Dokter Bara ya, besok jadwal konsultasinya?” tanya Berlian.
“Iya,” jawab Bara.
“Ini siapa yang membelitkan perban di sini?” tanya Berlian lagi.
“Saya,” jawab Bara kikuk.
“Karena Dokter sudah baik, mari saya traktir kopi di kantin!” ajak Berlian. Jiwa-jiwa ulat keket Berlian meronta melihat Bara yang sangat tampan, padahal dirinya sendiri mempunyai pacar.
“Ah tidak perlu, Bu, eh Berlian. Ini memang tugas saya.” Bara menolak dengan halus.
“Bukan tugas kamu. Ini di luar jam tugas. Ayo saya traktir kopi, kopi di kantin perusahaan sangat enak,” ujar Berlian menarik tangan Bara agar mengikutinya. Sedangkan Ayu menatap melongo ke arah Bara dan Berlian.
“Tapi tangan kamu masih sakit. Kepala kamu juga masih pusing, kan? Lebih baik istirahat, stabilkan imun dulu.”
“Sudah stabil kok, tangan saya tidak sakit, kepala saya tidak pusing. Kalau Dokter ganteng yang mengobati, tidak butuh lima menit pasti segera sembuh,” oceh Berlian menarik Bara dengan sekuat tenaga.
“Hah?” Ayu membeo melihat tingkah Berlian.
CEO yang selalu tampak berwibawa, berjalan menaikkan dagunya angkuh, tidak ada yang bisa mengalahkannya di dunia bisnis, selalu mendominasi, dan kini takluk dengan Psikiater baru yang dia bawa. Bahkan sekarang Ayu pun sama sekali tidak dianggap oleh Berlian.
Berlian membuka pintu ruangannya, di sana ada Bian yang menunggunya dengan cemas.
“Bu Berlian, bagaimana keadaan ibu?” tanya Bian.
“Tidak ada masalah. Kamu kerjakan tugasmu, saya mau ngopi,” jawab Berlian.
“Tapi Bu Berlian belum makan sejak pagi,” teriak Bian saat Berlian sudah melenggang meninggalkannya.
“Saya sudah kenyang. Kamu jangan mengganggu saya, transfer saja uang ke rekening Bu Ayu,” ujar Berlian yang masih menyeret Dokter Bian untuk dia ajak ke kantin perusahaan.
“Saya bisa jalan sendiri, tidak perlu diseret begini,” bisik Bian.
“Ah iya, maaf,” jawab Berlian tersenyum.
Bian menatap Berlian sembari menggelengkan kepalanya. Berlian menurut cerita Dokter Ayu adalah Berlian yang sangat perfectionist, tapi yang dia lihat malah Berlian versi absurd. Tadi Berlian seolah lemas tidak berdaya dengan darah yang keluar dari tangannya, tapi saat ini Berlian menunjukkan bahwa dirinya sangat sehat wal afiat. Tidak hanya itu, Berlian juga banyak berbicara, menceritakan keunggulan-keunggulannya.
“Saya menjabat CEO sudah tiga tahun ini, saya sudah banyak memenangkan tender, harga saham naik, penjualan drastis, bahkan saya sering wara-wiri di majalah bisnis. Apa Dokter pernah melihatnya, kalau belum nanti saya kasih majalahnya,” oceh Berlian.
“Eh iya,” jawab Bian.
Berlian yang selalu perfectionist kini luluh hanya karena Dokter Bian. Ternyata sangat mudah menaklukkan Berlian, yaitu dengan laki-laki tampan. Baru melihat Bara saja Berlian sudah senang bukan main, sampai menceritakan semua keunggulannya agar Bara suka padanya. Andai Berlian bertemu langsung dengan Lee Jong Suk, sudah pasti Berlian akan pingsan di tempat.
Satu lagi yang diketahui Bara, Berlian adalah CEO yang sangat narsis. Dengan penuh percaya diri, Berlian menceritakan keunggulannya sendiri pada Bara.