Bab 22 Gila
Menunggukan sebuah hasil laboratorium yang diambil oleh pembantu rumah tangga membuatnya tak begitu nyaman.
Rasa Eleora tidak tenang dan juga bingung akan bagaimana hasilnya jika buruk.
"Astaga, aku sama sekali tidak tenang akan hasilnya nanti. Tapi, apapun hasilnya aku harus terima dengan kuat."
Sekitar satu setengah jam berlalu akhirnya pembantu rumah tangga datang dengan membawa amplop putih.
Terlihat begitu murung sudah dipastikan jika hasilnya buruk.
"Gimana hasilnya, bi? Aku sakit apa? Apa aku harus dirawat, berapa lama jika aku dirawat? Semua baik sajakan?"
"Maaf non Eleora."
"(Astaga. Beneran aku sakit parah?)"
"Non, maaf tadi bibi habis dari sana ambil hasil labo labo itu sangat lama. Maaf, non. Ya kalau dokternya ternyata jam prakteknya di rumah sakit ini sudah habis, ya terpaksa kita menunggu besok."
"Astaga, Eleora sudah berpikir yang tidak-tidak tahu. Ya sudah hasilnya biar aku saja yang bawa."
Menyodorkan hasil laboratorium ke arah Eleora telah membuat laki-laki itu datang dan mengambilnya.
"Kak Gerry!"
"Hasil laboratorium, eh kok ada nama kamu di sini?"
"Bukan, bukan apa." Tungkas Eleora dengan segera menarik paksa amplop putih.
Kedatangan laki-laki yang telah dekat oleh Eleora sengaja datang lebih cepat.
"Itu amplop apa sih? Hasil laboratorium kamu ya, gimana hasilnya? Baik-baik saja kan kamu? Terus gimana dengan orang tua kamu, mereka sudah tahu?"
"Hasilnya belum tahu, tetapi yang jelas masih nunggu dokter besok pagi. Ya soalnya dokter prakteknya di sini sudah selesai."
"Kenapa enggak coba dokter lain? Gimana orang tua kamu, terus tadi yang ngambi bibi ini?"
Eleora telah mengangguk namun tetap mengenai sikap tidak acuh orang tuanya berharap hanya dia yang tahu seorang.
"Tadi yang mengambil orang tua aku kok, kak. Ah sudah besok ya besok saja, terus gimana dengan sekolah tadi? Kakak kok cepat banget ke sini, apa jangan-jangan kakak membolos?"
"Enggak usah ngaco, aku ke sini lebih awal soalnya mau memberitahu nanti kepala sekolah mau ke sini jengukin kamu. Satu lagi, kenapa ponsel kamu matikan? Ya jadi susah kabarin."
"Kepala sekolah sampai belain ke sini, kenapa ya?"
"Ya enggak tahu, tetapi yang jelas aku mau segera balik. Tapi ingat baik-baik, ponsel jangan dimatikan lagi."
Pikirannya semakin bertambah. Kedatangan Gerry yang memberitahukan akan ada tamu kebesaran membuat Eleora benar-benar merasa kacau.
"Bi, hari ini aku mau segera pulang saja. Ya mengenai biaya kamar dan pengobatan ini di ATM."
"Tapi, non Eleora masih sakit?"
"Sudah enggak papa, aku juga sudah baikkan. Tolong, bi."
"Ya sudah jika ini keinginann non Eleora, tetapi kalau non tiba-tiba saja sakit bilang bi Atun ya?"
"Iya, iya."
Ditinggal untuk mengurus kepulangan juga membuat Eleora memikir berulang kali.
Kedatangan seseorang yang tidak sembarangan tentunya semakin membuat ia kepikiran.
Kepala sekolah yang sebelumnya memanggil berkaitan dengan salah paham atas kejadian menimpa Sonya, tetapi kali ini tentu saja membuat cemas.
"Serius ini buat aku makin kacau tahu enggak? Yang sebelumnya saja sudah sempat buat ketar-ketir, apa lagi yang ini ya? Hem."
Dengan waktu yang menunggu cukup lama telah membuat Eleora begitu ingin segera pulang sendiri.
Sifat keras kepala itu pun muncul dan bertepatan ingin melepas jarum infus suster datang.
Datangnya suster yang juga disusul dengan kepala sekolah telah membuat Eleora terkejut hebat.
"Selamat pagi, Eleora. Kamu sakit apa? Dengar dari Gerry kamu sakit."
"Selamat pagi, pak. Iya mungkin karena kelelahan saja, pak. Ini juga mau pulang sebenarnya."
"Oh begitu, wah tepat ternyata saya datang ke mari. Jadi, niat kedatangan saya mau beri kabar bahagia."
"Kabar bahagia gimana, pak? Maaf saya belum menangkap pembicaraan bapak."
"Ya sudah jika begitu, yang jelas kabar ini bahagia. Besok kamu sekolahkan? Tapi, kalau belum begitu enak libur dulu juga enggak papa."
"Iya, pak. Ya saya berharap jika segera pulih, terus kabarnya bahagia itu?"
"Saya akan menjawabnya besok saja di sekolah, akan tetapi yang jelas saya sangat berharap kamu besok sekolah. Saya permisi dulu Eleora dan ini ada sedikit dari bapak ibu guru."
"Baik, pak. Ya ampun, terima kasih. Terima kasih pak, terima kasih buat semua guru. Terima kasih."
Menghadapi ini sudah cukup lega karena berhadapan dengan kepala sekolah telah berakhir.
Tetapi lebih membuat Eleora semakin menjadi tidak tenang ialah belum mendapatkan jawaban perihal kabar yang disampaikan kepala sekolah barusan.
"Apa karena aku jarang masuk jadi aku dipanggil kepala sekolah dan berniat menghukumku? Atau karena hal lain? Tapi, kenapa kepala sekolah bilang ini kabar baik? Ah buat semakin pusing saja."
Serba menghasilkan kekesalan membuat Eleora tidak tahu lagi harus melakukan apa.
Masih menunggukan pembantu rumah tangga menjadikan Eleora mencoba menghubungi Gerry.
Kak Gerry : Kepala sekolah sudah sampai belum?
Kak Gerry : Eleora
Kak Gerry : Astaga, ini cewek. Balas dong, penasaran ini aku
Baru juga hendak menulis pesan malah yang ada ia melewatkan pesan dari Gerry.
"Astaga, kenapa tadi aku enggak buka ponsel saja dulu? Ya tahu begitu aku siap-siap saat kepala sekolah datang, aduh gila ini aku."
Eleora : Maaf kak baru balas, ini lagi mengurus kepulanganku
Eleora : Iya, kepala sekolah sudah datang dan menemui aku kak
Eleora : Terima kasih sudah memberitahu, kak
Gerry : Iya sama-sama, tapi ngomong-ngomong emang kepala sekolah membahas apa sih? Tumben saja enggak kasih ke guru lain atau menyuruh siapa gitu
"Iya juga ya? Tumben banget kepala sekolah datang sendiri dan tidak meminta bantuan ke guru lain, apa jangan-jangan benar dugaanku? Jika ini adalah bukan kabar baik tapi kabar buruk, aaaah aku enggak mau semuanya makin runyam."
Eleora : Aku juga belum tahu pastinya, kak. Tetapi yang jelas telah membuat Eleora penasaran, lagi pula kepala sekolah mengharapkan aku besok sekolah membahas akan hal ini
Pesan belum terbaca maupun terbalaskan, tetapi Eleora sendiri telah mengambil keputusan untuk tidak menceritakan perihal ini ke siapapun.
Menghadapi situasi ini yang telah pasti adalah kepulangannya, menanti bi Atun.
"Maaf, non Eleora jika bibi telah lama. Bbi soalnya sekalian nebus obatnya non Eleora."
"Iya, enggak papa santai saja. Ya sudah sekarang kita pulang."
"Tapi...."
"Tapi apa, bi? Apa ada yang kurang?"
"Bukan begitu, tapi tangan non Eleora masih terpasang jarum infus. Gimana caranya pulang kalau pakai jarum infus yang melekat?"
"Astaga, iya juga ya? Ha ha ha, kenapa bisa aku bisa lupa begini? Ya sudah kita nunggu suster dulu baru nanti kita pulang. (He he, gila malu benar aku sampai lupa begini.)"