Pria itu terdiam sejenak, kemudian menjawab, "Zombi adalah yang menyerang kalian tadi."
"Jadi, mahkluk itu punya nama?" sergah Boni dengan gumpalan putih telur di mulutnya.
"Iya," jawab pria itu.
"Dari mana Anda tahu?" tanya Indro meminta penjelasan lebih lanjut.
"Saya melihat berita beberapa hari yang lalu di acara berita tv luar negeri. Mahkluk itu sudah menguasai beberapa kota dan negara, contohnya Belanda dan sekitarnya," terang pria itu.
"Tapi bagaimana mahkluk itu bisa sampai di sini? Belanda dengan Indonesia kan jauh," sergah Indro.
"Zombi itu berasal dari manusia yang terinfeksi virus baru. Penyebaran virus itu berawal dari sebuah sentuhan, jadi kalau ada yang pernah bersentuhan dengan orang yang terkena virus, maka dia juga terjangkit," lanjut pria itu dengan serius.
"Dan bisa langsung menjadi zombi?" tanya Indro.
"Untuk itu saya belum tahu, yang pasti siapapun yang tergigit oleh mahkluk itu, akan berubah menjadi zombi, cepat atau lambat," jawabnya.
Jefri terdiam. Ingatannya kembali di saat Rudi, tetangganya itu, pulang ke desa dan bertemu dengannya di acara hajatan. Waktu itu Rudi pernah bilang kalau baru kembali dari Belanda, menemani Rachel, sang artis untuk liburan. Dan dia pulang dalam keadaan sakit.
"Boleh saya bertanya?" Jefri terlihat ragu.
Semua orang menatapnya sembari makan. Mereka penasaran dengan apa yang akan ditanyakan Jefri, karena dari raut wajah pria berahang tegas itu, terlihat begitu gelisah.
"Apa orang yang terjangkit akan sakit?" tanyanya.
"Dari yang saya tahu dari berita ... iya," jawab pria itu dengan berat.
"Sakit apa?" lanjut Jefri.
"Demam, batuk, seperti sakit biasa," jawab pria itu lagi seraya menyelidik manik hitam pekat Jefri, dia merasa Jefri tahu sesuatu.
Jefri terdiam kembali. Dia merasa kalau Rudi terjangkit virus itu.
"Saya tidak tahu bagaimana bisa tetangga saya waktu itu berubah menjadi zombi." Jefri memulai cerita dengan perlahan tanpa ada yang meminta, sebenarnya dia takut untuk bercerita.
"Saya tidak bertugas mengkafani waktu itu. Tiba-tiba dari dalam rumah terdengar teriakan. Semua orang masuk untuk melihat, karena banyak orang yang berkumpul di pintu, otomatis saya tidak bisa melihat ada apa sebenarnya di dalam," lanjutnya dengan bahasa yang sopan.
"Lalu, saya mendengar suara aneh. Orang-orang langsung lari kalang kabut. Saya yang jatuh jadi tambah bingung. Waktu semua orang sudah kabur, saat itulah saya melihat mahkluk itu untuk pertama kali," terang Jefri.
Jefri menatap pria yang duduk tepat dihadapannya itu sejenak lantas melanjutkan cerita, "Tetangga saya yang berubah menjadi zombi itu pernah bersalaman dengan Bang Rudi. Bang Rudiitu tetangga samping rumah saya, dia baru pulang dari Belanda, menemani artisnya liburan."
Semua orang terhenyak. Jefri bercerita lagi.
"Ada banyak orang di hajatan waktu itu. Bang Rudi bertemu di acara hajatan dengan tetangga saya yang jadi zombi dan ... mungkin saja dia juga bersalaman dengan banyak orang," lanjutnya ragu seraya melirik semua orang yang ada dalam satu lingkaran meja dengannya.
Semua orang langsung merasa tahu apa yang terjadi. Tiba-tiba Jefri turun dari meja dan mundur perlahan. Semua orang menatapnya tak mengerti.
"Ada apa? Kamu mau ke mana?" tanya Anya.
Jefri terlihat bingung dan takut. Dia berhenti di dekat dinding kamar. Pria yang biasanya terlihat garang itu sekarang seperti sweater yang sering dicuci di mesin cuci, menciut. Dengan ragu dia mulai berbicara lagi.
"Bang Rudi waktu itu terlihat pucat dan saya menepuk pundaknya." Jefri terdiam sejenak. "Mungkin saya juga sudah tertular virus itu," lanjutnya dengan menatap takut mereka yang sedang duduk di meja makan.
Semua orang makin terkejut dan ikut merasa takut.
"Maaf, saya tak tahu selama ini. Andaikan saya tahu, saya tak akan bersama kalian." Jefri nampak sangat bersalah serta takut akan berakhir menjadi zombi.
Anya terlihat sedih, dia merasa tahu apa yang dirasakan oleh Jefri.
"Tapi kamu nggak berubah Jef," sanggah Anya. Dia menatap Jefri dengan lembut.
"Lalu bagaimana jika saya berubah nantinya?" sahut Jefri cepat, dia takut akan melukai yang lain termasuk Anya.
"Jika kamu tertular, maka kami juga mungkin sudah tertular juga," sergah Anya.
"Maaf," ucap Jefri lirih, dia makin merasa bersalah.
"Bukan dari kamuuuuu." Anya cepat-cepat menimpali. Dia berjalan menuju Jefri, Jefri sontak mundur hingga menabrak dinding. Dia tak ingin menulari Anya lagi. "Kamu 'kan yang bilang sendiri kalau Bang Rudi itu mungkin saja salaman dengan banyak orang?" tanyanya.
Jefri mengangguk.
"Kamu benar, Bang Rudi memang salaman dengan banyak orang. Dan salah satunya adalah aku," ujar Anya dengan menunjuk dirinya sendiri.
Jefri terkejut.
"Kamu lupaa??? Kita kan ketemu di tempat hajatan waktu ituuuuu, meski nggak saling sapa," laniut Anya dengan sedikit menyindir.
Jefri teringat melihat Anya di hajatan dan berpapasan dengannya.
"Jef, bukan cuma Anya. Om juga salaman sama Rudi, Om kan datang sama Anya waktu itu," tambah Indro. "Jadi, jangan merasa bersalah. Kita semua sudah tertular secara tak langsung kalau informasi yang diberitahukan Mas ini benar adanya."
Pria itu mengangguk. "Memang rawan jika bertemu dengan banyak orang, salah satunya yaitu bisa terkena virus yang tak kasatmata. Mungkin saja, saya juga sudah tertular sebelum bertemu kalian. Karena di daerah sini juga muncul zombi," terangnya.
"Udahhh, santai aja Jep. Aku aja yang meluk-meluk Bang Rudi santai aja. Kamu barang nepuk doang udah takut gitu," timpal Boni. "Ntar kalau kita berubah, berubahnya kan bareng jadi nggak kesepian," lanjutnya santai dengan cengengesan.
"Hish! Nggak boleh ngomong kayak gitu!" tegur Anya.
"Heheh, becanda Nya," sahut Boni tanpa menghilangkan tawanya yang tak renyah.
Jefri merasa lega, pria yang berhati lembut ini memang mudah merasa tak enak dengan yang lain, meski dia kadang suka semena-mena dengan Boni. Itu semua hanya keisengan antar teman belaka, karena mereka sudah akrab sejak kecil.
"Yuk," ajak Anya untuk kembali ke meja makan.
Jefri merasa malu. Dia kembali dengan perlahan.
"O ya, sepertinya kita semua belum berkenalan," ujar pria itu dengan menatap semua orang. "Perkenalan namaku Iko Sanjaya, panggil saja Iko."
"Saya Indro, Ayahnya Anya," sahut Indro dengan menepuk punggung Anya lembut.
"Halo Mas, aku Anya," timpal Anya dengan tersenyum sopan, meski bahasanya begitu santai.
"Saya Jefri," sahut Jefri dengan tersenyum kaku dan tubuh yang kikuk.
"Panggil aku Boni, Mas!" seru Boni dengan percaya diri, tingkahnya membuat Iko tertawa kecil.
Perkenalan terhenti di wanita yang diam saja sejak tadi. Semua mata menatapnya, menunggu dengan sabar. Karena mereka semua ingin tahu siapa nama wanita yang sudah masuk dalam kelompok mereka tanpa sengaja itu.
Wanita itu menatap semua orang dengan ragu, rambut sebahunya yang sudah diikat rapi memperlihatkan wajah kecil nan tirus dengan raut cemas.
"Kami harus tahu namamu, biar bisa menjadi tim yang solid," bujuk Indro.
"Yuk Mbak, aku juga pengen tahu siapa nama Mbak." Anya ikut membujuk dengan menatap lembut.
Wanita itu masih ragu. Ia menatap Jefri, Jefri mengangguk pasti. Lalu pandangannya beralih ke Boni.
"Jangan-jangan nama Mbak, Bono!" canda Boni agar wanita itu tak merasa tegang. Terlihat sekali kalau punggungnya kaku seperti sedang diintrogasi.
"Dih, ngada-ngada kau!" sahut Jefri. "Kenapa nggak sekalian bilang kalau dia soulmate kau!" ejeknya.
"Boleh kalau dia mau," ujar Boni cepat dengan senyum malu.
Semua orang tertawa kecil mendengar celetukan Boni. Sebuah suara keluar dengan lirih dari bibir pucat wanita yang berusia lebih tua dari Anya itu.
"Nama saya ...."