webnovel

17. Memasuki Hutan ilusi Lapis Tujuh Bagian III

Pangeran menunggu orang tua angkatnya di tepi berbatuan. Pendekar sutra ungu berganti pakaian beberapa saat di tepi danau sambil mandi, anehnya perlengkapan yang dia pakai juga berwarna ungu. Mulai dari rok, celana dan aksesoris lainnya berwarna ungu. Kali ini gaya Nyai Wungu berbeda. Rambutnya memakai pita berwarna ungu yang di kucir kan ke atas. Serta rok di belah samping sedikit agar memudahkan dia perang. Sementara gaya baru Kiai Wungu tetap menggunakan celana dan blangkon berwarna ungu. Dia khas dengan gaya itu. Tetapi pakaian yang di kenakan Kiai Wungu tetap berwarna ungu. Hal itu yang membuat Pangeran Arya merasa aneh sekalipun kagum dengan sepasang Pendekar Sutra ungu tersebut.

"Kami sudah selesai Raden," kata Nyai Wungu dengan gaya barunya.

"Weleh...weleh...weleh....!" kata Pangeran Arya sambil menggelengkan kepala dan tertawa.

"Ada apa Raden?" kata Nyai Wungu.

"Tidak apa bunda, ha...ha...ha....! Oh iya Romo, celanaku habis bolehkah saya meminjam bajumu, apakah masih ada di perlengkapan bajumu?" jawab pangeran Arya sambil cekikikan.

"Sebentar saya carikan dulu," kata Kiai Wungu.

Kiai Wungu kemudian ke kudanya untuk mengambil tas, di sana masih ada sepasang baju berwarna ungu untuk anak angkatnya tersebut.

"Ini Raden, sekalian sama baju atasnya," kata Kiai Wungu.

"Weleh...weleh...weleh....!ha...ha...ha...! Terima kasih Romo, saya pergi dulu Romo mau mandi, ganti baju dan mencuci pakaian yang kotor. Sekalian mana baju kalian aku cuci," kata Pangeran Arya sambil menggelengkan kepala dan tertawa.

"Boleh, baju kami yang kotor hanya dua pasang punyaku dan punya bundamu, sebentar aku ambilkan," kata Kiai Wungu.

"Iya Romo," kata Pangeran Arya.

Pangeran Arya pergi mandi ke danau dan mencuci pakaian dan dia menjemurnya di pepohonan. Dan akhirnya Pangeran mengenakan baju milik Roma angkatnya yang berwarna ungu. Dalam hati dia masih tertawa melihat keunikan pendekar yang menjadi orang tua angkatnya, di samping itu dia juga kagum akan kekuatan orang tua angkatnya.

"Kanda, kenapa dengan anak itu? Sepertinya dia sedang menertawakan kita?" kata Nyai Wungu.

"Halah, biarkan saja dinda, namanya juga bocah, kita kan sudah jadi orang tuanya," kata Kiai Wungu.

"Iya kanda, ayo sekarang kita cari makan," kata Nyai Wungu.

"Tapi sepertinya di sini gersang sekali, apa ada makanan di sini, danaunya saja hanya air tidak ada ikan yang berenang di danau itu," kata Kiai Wungu.

"Kita cari dulu kanda, mumpung Raden lagi mandi dan mencuci pakaiannya, siapa tahu ada makanan lain yang ada di hutan ini ," kata Nyai Wungu.

"Baiklah dinda," kata Kiai Wungu.

Pendekar sutra ungu berjalan menyusuri hutan lapis tujuh yang gersang itu, dan syukurlah setelah silumannya mati jalannya sudah tidak ada ilusi lagi untuk menyesatkan mereka. Tetapi ketika menjelajahi hutan itu tak ada buah-buahan dan binatang untuk di jadikan makanan.

"Wah ini gersang sekali keadaannya kanda," kata Nyai Wungu.

"Benar, saya sudah katakan padamu dinda," kata Kiai Wungu.

"Sudah! Percaya saja pertolongan Tuhan selalu datang," kata Nyai Wungu.

Saat itu pula di dekat semak-semak dan berbatuan, tumbuhlah tanaman tomat yang besar-besar. Tumbuhan tomat adalah tumbuhan yang tidak memerlukan banyak air, makanya tumbuhan itu subur di tempat yang gersang.

"Wah, itu ada buah tomat Kanda ayo kita petik," kata Nyai Wungu.

"Iya betul, besar- besar pula," kata Kiai Wungu.

"Aku bilang juga apa! Pertolongan Tuhan selalu ada," kata Nyai Wungu.

"Iya Dinda," kata Kiai Wungu.

Setelah memetik buah tomat mereka keliling hutan lagi untuk mencari makanan yang berasal dari hewan.

"Waduh dinda, jenis hewan apa ya yang bisa kita masak di hutan ini?" kata Kiai Wungu.

"Sudah, kita jalan dulu kanda, siapa atau ada ayam atau burung ada di sini," kata Nyai Wungu.

Tetapi dari sumber air danau itu mengalir sungai kecil, yang mana sungai itu hanya memiliki lebar 1 meter. Air yang mengalir sangat kecil sehingga tidak ada ikan yang berenang di sana. Tetapi di sungai itu ada lumpur seperti sawah. Tak di sangka keadaan berlumpur itu menjadi tempat tinggal ratusan belut. Mereka juga tidak sengaja menemukannya.

"Au!" teriak Kiai Wungu yang kakinya tercebur lumpur.

Dia menarik kakinya dan di kakinya terdapat segumpal lumpur. Saat di tari ada satu belut yang ikut tertarik.

Srook!

"Hah! Belut Dinda, sepertinya di sini banyak belutnya, asyik menu makan malam kita adalah belut bakar dan tomat," kata Kiai Wungu.

"Wah, iya Dinda, ayo kita cari," kata Nyai Wungu.

"Sepertinya sudah banyak dinda, ayo kita kembali," kata Kiai Wungu.

"Ayo dinda," kata Nyai Wungu.

Pendekar sutra ungu kembali membawa belut dan tomat untuk makan malam mereka. Saat itu Pangeran Arya sudah mendirikan tenda dan membuat perapian.

"Wah Raden sudah mendirikan tenda dan perapian, ini kita bawa belut dan tomat," kata Nyai Wungu.

"Iya bunda, ini sudah siap semua, baju kita juga sudah aku jemur, pepohonan belakang tenda kita, besok juga kering. Tapi di hutan gersang seperti ini kalian masih bisa menemukan makanan? Hebat," kata Pangeran Arya.

"Iya Raden, besok juga kering karena di sini berangin, hutan tempat ini sangat gersang, berkat pertolongan Tuhan, kami tadi mencari sumber makanan tapi hanya ini yang bisa kami temukan," kata Nyai Wungu.

"Yang penting kita bisa makan," kata Kiai Wungu.

"Iya Romo. Ayo sekarang kita masak," kata Pangeran Arya.

 Mereka membakar belut itu. Dan buah tomat sebagai selingannya. Hidangan itu untuk makan malam mereka.

"Makanan sudah siap Raden ayo makan," kata Nyai Wungu.

"Kita makan di luar tenda saya ya, sumpek di dalam," kata Pangeran Arya.

"Ayo," kata Nyai Wungu.

Mereka bercanda gurau sambil makan. Sampai pada akhirnya Pendekar sutra ungu itu bertanya, kenapa Pangeran Arya menertawakan penampilan mereka. Ketika itu Pangeran melihat pakaian yang di pinjamkan Kiai Wungu ke padanya, lalu melihat pakaian yang di kenakan pendekar sutra ungu, terkadang Pangeran senyum sendiri.

"Raden? Apa yang kamu pikir kan tentang kami? Kamu melihat kami senyum-senyum sendiri, apa ada yang salah dengan penampilan kami," kata Nyai Wungu.

"Oh tidak bunda, penampilan kalian bagus," kata Pangeran Arya.

"Tapi kenapa Raden senyum-senyum sendiri melihat kami," kata Nyai Wungu.

"Saya boleh jujur tidak terhadap penampilan kalian? Tapi kalian jangan marah ya," kata Pangeran Arya.

"Iya Raden katakan saja, kami juga penasaran apa yang ada di pikiran Raden terhadap kami," kata Nyai Wungu.

"Baiklah, saya merasa kalian unik beda dari yang lain, dan saya merasa lucu dan mengagumi kalian," kata Pangeran Arya.

"Apa maksud Raden, aku tidak mengerti," kata Nyai Wungu.

"Begini bunda semua baju yang kalian kenakan serba ungu, aksesoris ungu, perlengkapan baju lain pun berwarna ungu, sampai baju yang aku pinjam dari Romo juga berwarna ungu. Inilah yang membuat saya heran, tertawa sekalipun takjub, maaf sebelumnya," kata Pangeran Arya.

"Ha...ha...ha...! Oh jadi itu yang ada di pikiran Raden, sampai-sampai Raden menertawakan kami," kata Nyai Wungu.

"Ha...ha...ha...! iya bunda, sampai di danau saya mencuci baju kalian saya masih senyum-senyum sendiri melihat warna serba ungu di baju kalian," kata Pangeran Arya.

"Ha...ha...ha," tawa Kiai Wungu yang mendengar percakapan istri dan anak angkatnya.

Mereka bertiga tertawa terbahak-bahak, menambah kebahagiaan makan malam mereka.

"Itu semua ada sejarahnya Raden. Kenapa kami memakai serba ungu dalam kehidupan kami," kata Nyai Wungu.

"Tapi kok sampai begitu sukanya dengan warna ungu, sejarah yang bagaimana sampai kalian suka pada warna ungu?" kata Pangeran Arya.

"Iya sejarah tentang kisah cintaku dan Romomu ini Raden," kata Nyai Wungu.

"Sejarah cinta yang bagaimana bunda? Saya penasaran dengan sejarah cinta kalian," kata Pangeran Arya.

"Baiklah akan aku ceritakan. Dahulu ketika kami pacaran kami saling mengirimkan surat dengan daun yang berwarna ungu. Dulu pertama kali Romomu mengirimkan surat itu kepadaku dengan daun berwarna ungu. Daun Ungu itu tumbuh di depan rumah Romomu. Lalu saya membalas juga surat cinta Romomu dengan daun wungu, daun wungu itu tumbuh di belakang rumahku. Jadi kita terinspirasi warna ungu itu dari sekarang. Dan itu ada yang aneh juga, Pangeran ingin tahu keanehan itu?" kata Nyai Wungu.

"Iya bunda," kata Pangeran Arya.

"Setiap kali kami mengirimkan surat dengan daun hijau, surat itu selalu di tiup angin atau tidak sampai ke tempat penerimanya. Itulah kejanggalannya. Makanya sampai sekarang kami sepakat, warna ungu merupakan simbol cinta kami, simbol keberuntungan kami, simbol kekuatan kami dan warna ungu membuat cinta kami semakin kuat," kata Nyai Wungu.

"Oh...ya ampun kisah cinta yang unik ya Bunda, saya kagum dengan kalian," kata Pangeran Arya.

"Iya Raden terima kasih. Raden kalau tidak percaya main saja ke tempat per tapaan kami, Raden lihat baju kami di lemari, semuanya berwarna ungu. Makanya jangan heran jika Raden memakai baju kami, warnanya juga ungu," kata Nyai Wungu.

"Oh jadi begitu ceritanya, sampai kalian di panggil Kyai Wungu dan Nyai Wungu oleh orang-orang ya," kata Pangeran Arya.

"Iya Raden, karena karakter kami memang menyukai warna ungu. Jadi sekarang Raden sudah tahu kan kenapa kami seperti ini," kata Nyai Wungu.

"Iya saya paham sekarang," kata Pangeran Arya.

Pangeran Arya mulai memikirkan sesuatu. Jika nanti Prabu Kamandanu memberikan hadiah terhadap mereka, harus berwarna ungu. Jika mereka di angkat menjadi panglima perang mahkota, baju kerajaan dan baju perang haruslah berkarakter warna ungu. Walau mahkota berwarna emas setidaknya kristalnya berwarna ungu.

"Raden? Kenapa kamu melamun mendengar cerita kami?" kata Nyai Wungu.

"Oh tidak bunda, saya suka cerita kalian, saya hanya memikirkan yang lain saja," kata Pangeran Arya.

"Kalau begitu kita lanjutkan makannya," kata Nyai Wungu.

"Iya bunda, tapi sepertinya saya menyimpan pisang di tas kuda, pisang itu belum matang betul setelah kupetik dari hutan lapis enam, aku mencari sendiri di dekat tenda," kata Pangeran Arya.

"Ya sudah ambil Raden," kata Nyai Wungu.

Pangeran mengambil pisang dari kudanya ternyata benar pisang yang masih muda itu matang sendiri ketika sepuluh hari di simpan.

"Ini Bunda, sepertinya sudah matang," kata Pangeran Arya.

"Benar, lumayan buat tambahan makan buah Raden," kata Nyai Wungu.

Mereka melanjutkan makan dan setelah itu tertidur pulas. Hutan lapis tujuh adalah hutan lapis terakhir. Setelah hutan lapis tujuh mereka akan memasuki kawasan istana Raja Buto ijo. Tetapi keesokan harinya mereka belum melanjutkan perjalanan ke kawasan istana Raja Buto ijo. Mereka masih beristirahat di tenda. Karena musuh yang di hadapi di hutan lapis tujuh sangat berat, membuat mereka beristirahat sejenak untuk beristirahat.

"Kanda? Lebih baik kita istirahat di sini dulu untuk beberapa waktu. Badan aku capek sekali menghadapi siluman angin kemarin," kata Nyai Wungu.

"Iya Dinda kita istirahat dulu untuk beberapa saat," jawab Kyai Wungu.

"Saya setuju," kata Pangeran Arya.

"Ayo semuanya tidur," kata Nyai Wungu.

Mereka masih beristirahat di hutan ilusi lapis tujuh selama lima hari.

Bersambung.

Chapitre suivant