webnovel

Obat kangen

"Siapa dia?" David mengangkat secangkir kopi hangat. Ia berdiri di dekat goci yang ada di ruang tamu. Beberapa kali matanya mencuri pandang, melihat ke arah Leonar yang tengah menyapu lantai.

"Dia putri Leonardo."

"Bukankah pria itu punya tiga putri?"

"Iya, Tuan. Dia memang mempunyai tiga anak perempuan. Hanya saja pada saat itu dia yang tiba-tiba datang ke rumah ini." David mengangguk paham. Sudah tahu apa yang kira-kira terjadi pada malam itu.

"Sudah berapa lama?" tanyanya dingin.

"Belum ada satu bulan, Tuan."

'Sangat polos!'

***

"Leonar, kau sudah siap?"

"Em, aku... sepertinya aku tidak bisa pergi petang ini, Anna. Maafkan aku."

"Hey, kau ini apa-apaan! Aku sudah menunggumu di restoran Itsumay sejak satu setengah jam yang lalu, dan sekarang dengan enteng kau mengatakan bahwa kau tidak bisa datang menemuiku?"

"Ayolah, Leonar jangan konyol! Aku sudah membuat janji dengan Adolf. Sekarang dia sudah ada di toko, menunggumu di sana."

"Haa? Sungguh? Kau sudah membuat janji dengan Adolf? Kenapa tidak membicarakannya terlebih dahulu denganku?"

"Aku tidak punya waktu untuk membicarakannya denganmu terlebih dahulu, Leonar. Lagi pula, sejak kemarin nomormu tidak aktif! Kau sudah seperti orang penting yang sangat sulit dihubungi. Sungguh, kepalaku seperti ingin pecah saat nomormu selalu offline!" cerca Anna kesal. Hembusan nafasnya terdengar jelas di telfon.

"Hmm, maafkan aku. Sungguh, sebenarnya aku pun ingin setiap hari mengobrol denganmu melalui telefon. Sayangnya tidak bisa. Maafkan aku, ya, Anna."

"Hmm!"

"Sudah, sekarang tidak usah basa-basi lagi. Adolf di sana pasti juga sudah menunggu kita. Lebih baik sekarang kau segera bersiap. Aku tidak mau tahu, kau harus tiba di restoran Itsuma sebelum setengah tujuh."

"Tap-tapi, Anna...."

Tut... tut... tut....

Leonar menghembuskan nafas panjang. Adolf sudah menunggunya di toko. Ini adalah kesempatan yang bagus setelah dua bulan lebih ia tidak bertemu dengan kekasihnya. Namun di sisi lain, ia takut untuk menemui Hittler dan meminta izin keluar. Kejadian kemarin di meja makan membuat Leonar semakin takut saat harus berhadapan dengan Hittler.

'Ah, tapi aku sangat merindukannya. Anna juga sudah berusaha untuk mempertemukanku dengan Adolf,' batin Leonar. Ia duduk di depan meja rias. Menatap wajahnya dari pantulan kaca. Disentuhnya rambutnya yang terikat. Pelan-pelan Leonar melepas tali yang mengikat rambutnya. Membiarkan rambut panjangnya tergerai begitu saja.

Tas makeup warna putih di atas meja mencuri perhatiannya. Terlintas di benaknya wajah Adolf yang manis. Leonar tersenyum, wajah kekasihnya itu membuat ia yakin untuk menemuinya malam ini.

Segera Leonar mengambil tas makeup dan langsung merias wajahnya. Makeup tipis di wajahnya benar-benar merubah penampilannya. Selesai makeup ia membuka lemari. Hanya ada satu dress pendek berwarna putih dengan bagian dada yang terbuka. Ia ragu untuk memakainya, mencoba membandingkannya dengan celana jeans dan kaos hitam.

Leonar tidak yakin dengan kaos hitam dan celana jeans di tangan kanannya. Namun dress pendek itu juga terlalu terbuka.

DERT! DERT! DERT!!!

Ponsel Leonar menyala-nyala. Notifikasi dari Anna terus masuk, memberitahu Leonar agar tidak membuatnya semakin lama menunggu. Alhasil, Leonar memutuskan untuk memakai dress pendek yang mungkin saja sangat tepat untuk bertemu dengan Adolf malam ini.

Segera ia ganti pakaian. Di dalam kamar mandi ia menatap dirinya beberapa saat. Dress pendek dan makeup tipis itu benar-benar membuat penampilannya sedikit berubah. Selesai membenahi semua penampilannya, ia segera mengambil tas dan turun ke bawah.

Di ruang tengah Leonar melihat Hittler, David, dan Jonathan yang sedang duduk santai. Sebelum benar-benar melangkah untuk menemui Hittler, Leonar meyakinkan diri. Berharap Hittler memberikan izin padanya sekalipun hanya boleh pergi selama dua jam.

"Emm, Tu-tuan...."

David dan Jonathan langsung menoleh ke arah sumber suara. Mereka berdua langsung memandangi penampilan Leonar.

"Tuan Hittler."

"Tu-tu...."

Hittler mengangkat pandangan, begitu melihat Leonar, matanya langsung menyipit. Ia memperhatikan penampilan Leonar yang sangat berbeda malam ini. Ya, malam Minggu!

"Tuan, bolehkah saya pergi ke luar? Saya ada janji dengan teman-teman saya. Boleh?" tanyanya ragu. Ia menunduk, tidak berani untuk beradu pandang dengan tuan besarnya.

"Emmm, saya sudah menyelesaikan semua tugas rumah," tambahnya lirih. Mencoba menegaskan bahwa kewajibannya di rumah megah itu sudah ia selesaikan.

"Hmm!" jawabnya singkat. Leonar yang tidak percaya mendengar itu pun langsung mendongak, menatap wajah tuannya dengan wajah gembira.

"Sungguh?"

"Yeee, terimakasih, Tuan." Leonar tersenyum senang. Setelah diberi izin untuk keluar, ia segera bergegas keluar, meninggalkan ruang tengah yang membuatnya tegang.

Sementara itu, masih di ruang tengah, Hittler terlihat diam di kursi khusus miliknya. Ia menatap wajah David, "Ayo, ikuti dia!"

'Haa?' David menoleh, tidak percaya dengan ucapan tuannya barusan.

"Apa? Kau tidak mau?"

"Ah, tidak, Tuan. Bukan begitu...."

"Mari, Tuan saya antarkan." David segera mengikuti tuannya. Berjalan ke garasi, dan segera membukakan pintu mobil untuk Hittler. Mobil berjalan keluar, pintu gerbang langsung terbuka lebar. David sudah tahu apa yang harus ia lakukan.

Tiba di penghujung jalan, Leonar terlihat memasuki sebuah restoran bernama Itsuma. Belum lama ia masuk, ia sudah keluar lagi, bersama seorang wanita dengan long dress warna hitam. Mereka berdua berjalan beriringan menghampiri mobil sederhana berwarna merah di parkiran. Tidak lama setelah itu mobil yang ditumpangi Leonar melaju kencang. Mereka nampak buru-buru.

"Cepat!"

"Baik, Tuan."

'Mau kemana bocah itu?'

Semakin lama mobil merah di depan mereka berdua berjalan semakin lambat. Padatnya kendaraan malam ini membuat mereka kesusahan untuk mengemudi dengan kecepatan tinggi. Sementara itu, David nampak tenang di dalam mobil. Ia yang sudah ahli mengemudi, sudah pasti dalam kondisi jalan yang padat pun ia tetap bisa mendapat jalan.

Setelah cukup lama membuntuti target, mobil merah milik Anna berhenti di sebuah toko kue yang tidak terlalu besar. Seorang laki-laki dengan tubuh tinggi sudah berdiri di dekat pintu masuk, wajahnya bersinar, dia nampak sedang menunggu seseorang keluar dari mobil merah yang baru saja masuk.

Tidak lama setelab itu Anna dan Leonar keluar. Anna menyenggol-nyenggol tangan sahabatnya. Memberi kode pada Leonar untuk segera menghampiri kekasihnya.

Rindu yang sempat Leonar tahan selama beberapa bulan ini akhirnya terobati malam ini. Ia segera menghampiri Adolf yang sudah menunggunya di pintu masuk. "Hey, kau nampam cantik malam ini," puji Adolf saat memperhatikan penampilan Leonar.

Wanita itu hanya melempar senyum tipis, walaupun sebenarnya dalam hati ia tersenyum bahagia. Pujian Adolf barusan benar-benar membuat perasaan Leonar semakin berbunga-bunga. Mereka berdua akhirnya memutuskan untuk duduk di ayunan yang ada di depan toko. Mereka menghabiskan waktu yang singkat itu untuk mengobrol. Saling bertukar cerita, dan berbagi kasih. Sampai-sampai tak terasa sudah sekitar satu jam setengah mereka berdua mengobrol.

"Aku harus segera kembali."

"Hmmm, baiklah. Jaga dirimu baik-baik, Nara. Jika ada apa-apa segera hubungi aku, nomorku masih yang dulu."

"Bawalah kue ini, aku sudah membuatnya khusus untukmu. Kau pasti rindu dengan kue buatanku, bukan?" Adolf memberikan satu kantong kresek berukuran sedang. Sebelum benar-benar Leonar pergi, Adolf mengusap lembut pipi Leonar. Melempar senyum ke wajah kekasihnya. "Nara, apa pun kondisimu sekarang, aku akan tetap bersamamu. Semuanya pasti akan berlalu, bersabarlah...."

Kata-kata sederhana yang terdengar sangat lembut. Membuat Leonar terharu, dia langsung memeluk tubuh Adolf erat-erat. Membiarkan tubuh mungilnya merasakan kehangatan yang mungkin tidak lebih dari sepuluh menit.

"Hati-hati di jalan, kabari aku jika terjadi sesuatu padamu." Leonar mengangguk mengerti. Hatinya masih belum rela untuk pergi sekarang, namun waktu membuatnya harus segera pergi meninggalkan toko kue Adolf.

Leonar segera masuk ke dalam mobil, menyuruh Anna untuk meninggalkan area parkir itu sekarang. "Anna, cepat tambah laju mobilnya. Aku harus tiba di rumah sebelum jam sembilan malam. Cepat, Anna! Cepat!"

"Huhh, kau, ya benar-benar!"

Anna menambah kecepatan laju mobil. Ia bahkan sempat menerabas lampu merah demi temannya. Sampai pada akhirnya mobil mereka berhenti tepat di dekat restoran Itsuma sebelum jam sembilan malam. "Terimakasih, Anna. Semoga harimu menyenangkan." Leonar turun dari mobil, membanting pintu mobil dengan wajah bersemi.

Dia segera menyebrang jalan. Anna tidak bisa mengantarkannya sampai ke depan rumah Hittler. Restoran Itsuma adalah satu-satunya restoran yang berada di penghujung jalan dekat pintu utama kawasan elite. Tentu tidak sembarangan orang bisa masuk ke kawasan elite itu, terlebih lagi untuk pergi ke rumah Hittler Smith.

Dengan perasaan yang masih berbunga-bunga Leonar menyebrang jalan. Saking senangnya, ia tidak menyadari bahwa beberapa laki-laki mengikutinya dari belakang.

"Hey, Nona...."

"Lihatlah, tubuhnya sangat mulus. Dia sangat cantik!"

Sontak Leonar langsung menoleh ke belakang, wajahnya langsung berubah. Takut melihat ekspresi para laki-laki yang sedang menatap wajahnya.

"Kau cantik sekali, Nona. Bajumu sangat seksi, lekuk tubuhmu benar-benar sempurna." Salah seorang pria mendekat. Mencoba menyentuh tubuh Leonar dengan lembut.

"Nona, bagaimana jika kau menghabiskan malam yang panjang ini bersama kami? Tubuhmu sangat indah. Ahh, ini sungguh menggoda mataku."

"Tidak usah basa-basi, ayo, bawa dia sekarang dan segera masukkan ke dalam mobil."

"Jangan!"

"Aku tidak mau!"

"Cepat bawa dia! Aku sudah tidak tahan!" ucap seorang pria dengan tubuh paling besar.

Hittler yang melihat itu dari dalam mobil pun langsung keluar. Dengan tenang ia menghampiri para laki-laki yang sedang mengerumuni Leonar. "Ehem!!"

"Pergi sekarang!"

"Dia Hittler Smith." Seorang laki-laki berbisik ke telinga temannya. Saat itu juga semua langsung lari ketakutan. Nama Hittler tidak asing bagi mereka semua, terlebih lagi sekarang mereka sedang berada di kawasan Hittler Smith.

"Tu-tuan...."

Chapitre suivant