Tidak terlalu lama bagi Iqbal untuk mengeluarkan kata-katanya. Celine dan Rose tampak tergesa-gesa untuk kembali ke kamar mereka. Sudah jelas mereka trauma, bagaimana tidak? Seolah kami memang sengaja digiring untuk menemukan mayat, sebab jalan itu sangat jarang dilalui orang. Saat langkahku baru mencoba maju, tangan Iqbal menarikku ke ujung ruangan. Mendorong pelan punggungku menemui tembok tanpa rasa sakit. Lihai sekali detektif yang satu ini.
"Apa kau tak membaca pesanku?!" tanyanya dengan mata yang menyala-nyala.
"Pesan yang mana?"
"Aku menyuruhmu untuk tidak dekat dengan Celine, kenapa kau tak menghiraukannya?"
Oh pesan tak dikenal itu. Aku tak menyangka jika pengirim dibaliknya adalah detektif Iqbal.
"Kau mengirimnya saat aku sudah di jalan bersamanya, lagi pun kau siapa melarangku untuk dekat dengan seseorang?"
Lelaki itu menarik napas keras, seperti ada hal mengganjal yang ingin segera diungkapkan. Ia mendecakkan lidahnya sebelum berucap,
"Aku sudah mengetahui siapa pelaku teror jendela kamarmu, dan Celine-" terpotong.
Oh tidak, apakah Celine pelakunya? Tapi atas dasar apa? Kurasa hubungan kami berdua baik-baik saja. Mungkinkah Celine yang melemparkan batu 'pembunuh' itu ke jendelaku, sebab di malam kejadian ia sama sekali tak menampakkan diri. Aku masih tidak percaya, pasti Iqbal akan berbohong.
"Celine berhubungan dengan pelaku teror, dia-tidak," Iqbal menggeleng, "mayat itu adalah pelakunya, Celine memutuskan lelaki itu tujuh hari lalu,dan seharusnya teror batu jendela tidak terlempar ke kamarmu melainkan kamar Celine,"
Denting jam seolah berhenti saat Iqbal berkata demikian, aku terperanjat. Benarkah itu? Apa benar jika Celine ada hubungannya dengan teror kemarin?
"Lalu mengapa aku harus menjauhi Celine?" tanyaku menuntut jawaban.
Lagi, Iqbal mendecakkan lidah sambil berkacak pinggang.
"Aster, kita tidak tau bagaimana Celine sebenarnya, ia tidak ada di kamar saat teror terjadi, kau tau? Betapa aneh tingkah lakunya saat interogasi pertama denganku, dan sekarang, mayat mantan pacarnya ditemukan di tempat sampah saat kalian ingin kabur, coba katakan padaku siapa yang memilih jalur pelarian?"
"Mmh, i-itu Celine," jawabku sedikit gemetar sebab perkataan detektif yang penuh penekanan disana-sini.
"Sudah kuduga, bisa saja kan Celine sengaja memilih jalur tersebut agar kalian menemukan mayat itu sebelum orang lain yang menemukannya?"
"TIDAK! Jika Celine berniat melakukannya pasti ia yang akan mengajak kami keluar duluan, tetapi ide untuk makan diluar itu datang dari aku dan Rose, kami yang mengajak Celine bergabung, mana mungkin ia sengaja memilih jalan tempat mayat ditemukan, aku yakin hanya kebetulan, bisa saja orang lain yang membunuh mantan pacar Celine itu," sanggahku menolak perkiraan Iqbal.
Ia memang mudah mengambil kesimpulan tanpa mempertimbangkan banyak hal. Dasar detektif sialan.
"Lalu bagaimana kau bisa seyakin itu? Apa kalian menemukan mayat secara berbarengan? Apa kau lihat jika Celine sama sekali tak menyentuh mayat di tempat sampah? Dan mengapa ia tidak bilang ke kalian berdua kalau itu adalah mantan pacarnya?"
Pertanyaan demi pertanyaan Iqbal hanya berputar-putar di dalam kepalaku tanpa jawaban lengkap. Tak ada lagi yang bisa kubalaskan padanya. Sama seperti skakmat dalam catur, oh Aster, kau sudah kalah telak meski hatimu berkata sebaliknya. Sudah cukup hentikan, jangan memulai lagi dengan Iqbal! Ia begitu lihai.
"Aku peringatkan padamu sekali lagi nona Aster untuk tidak dekat-dekat dengan Celine jika kau tidak ingin statusmu berubah menjadi tersangka, jangan terlalu naif hanya untuk melindungi temanmu! Kau juga perlu berlindung,"
Hanya itu kata-kata terakhir Iqbal sebelum meninggalkanku di ruangan. Masih dengan tujuan yang sama, ia tidak menyarankan untuk dekat dengan Celine. Alasannya tentu aku tidak tau, tapi yang jelas ancaman Iqbal membuatku bertekuk lutut. Ya, aku tidak ingin menjadi tersangka.
***
Malam diluar dugaan itu berlalu, mimpi-mimpi penuh pelukan bidadari datang menghampiri, aku hampir saja melupakan segalanya. Benar, terkadang tidur bahkan lebih ampuh untuk melupakan masalah ketimbang bir, wine, atau sejenisnya. Namun, munculnya mentari membawa kembali ingatan kelam. Hal pertama yang datang adalah soal pesan Iqbal, aku jadi terus memikirkannya. Jika aku menjauh begitu saja tentu akan mengundang curiga, sebaiknya pelan-pelan saja.
Kalau tidak salah patroli keamanan rumah Nyonya Jean sudah selesai kontraknya. Itu berarti aku bisa kembali pergi ke kampus, entah berapa banyak tugas menumpuk yang harus dikerjakan. Kubuka ulang pesan yang terkirim untuk Flo, belum ada jawaban, tidak, dia bahkan belum membukanya. Ada apa dengannya? Tak seperti biasanya ia belum membalas sampai selama itu. Aku jadi khawatir.
Tangan kananku sedang memutar kunci pintu, aku bersiap menelusuri lorong untuk turun ke bawah. Namun, sesuatu mengganggu pikiranku. Pintu kamar Celine yang berdampingan dengan kamarku tampak memanggil-manggil. Aku jadi penasaran apa yang sedang ia lakukan.
Ttok-ttok-ttokk...
Kuketuk pintu itu pelan, biar kucoba dulu apa dia masih di kamarnya atau sudah pergi.
Klek...
Pintu terbuka, Celine menunjukkan wajah pucat yang tak biasa sebagian, sepertinya ia insomnia semalaman.
"Bagaimana kabarmu?"
"Jangan dipikirkan!" jawabnya menggunakan suara paling lirih yang pernah kudengar dari bibirnya.
"Ada apa denganmu sebenarnya? Apa masih syok dengan kejadian semalam?"
Celine cepat-cepat menggeleng dan menutup pintu. Benar juga, ada yang tidak beres dengannya, Celine seperti berubah belakangan ini. Sikap Celine barusan membuatku berganti haluan - kamar Rose. Aku juga ingin tahu apa yang sedang terjadi dengannya.
Berkali-kali kuketuk pintu dan memanggil nama perempuan berambut pirang, namun tidak ada jawaban. Kutanya tetangga kamar Rose - Jessica pun tidak tahu juga. Kemana sebenarnya perempuan itu? Apa dia ada kelas pagi? Tetapi mengapa pergi sendiri. Aku buru-buru turun ke bawah untuk menemui Nyonya rumah. Siapa tahu ia melihat Rose pergi. Aku jadi tak habis pikir mengapa sikap Celine dan Rose mendadak berubah sejak penemuan mayat kemarin.
Di ruang makan, perempuan tua yang saat itu mengenakan gaun merah jambu sedang mamandangi halaman belakang. Rumput-rumput hijau mulai mengering dan tanaman di pot berdiri kokoh tanpa kuncup bunga. Agak sedikit tidak enak untuk mengganggunya, tapi apa boleh buat.
"Nyonya Jean! Maafkan aku, apa kau melihat Rose keluar pagi ini?"
Ia berbalik badan perlahan, sepertinya sambil menebak-nebak siapa di belakang.
"Rose ya?"
Aku mengangguk.
"Entahlah, aku belum melihat siapa pun sejak tadi, mungkin ia masih di dalam kamar," jelas Nyonya Jean memberikan harapan kecil.
"Tetapi kuketuk pintunya, ia sama sekali tak bersuara,"
Perempuan tua berkacamata itu terkekeh pelan,
"Mungkin saja ia masih terlelap, tunggulah sampai siang tiba, ia pasti keluar untuk kencan buta,"
Nyonya Jean melanjutkan tawa kecilnya, ia berlagak seperti paling paham apa yang sedang terjadi pada Rose. Padahal aku sudah khawatir setengah mati. Tunggu, sudah tahukah Nyonya Jean tentang kejadian kemarin malam?
#bersambung#