webnovel

18. Last mission : Althea-lux

"Kitabnya benar-benar masih ada?"

Daeva mengangguk. "Setelah manusia itu mengkajinya, sebuah manta dirapalkan untuk menyegel kitabnya agar iblis lain tak bisa mengambilnya bahkan manusia yang tak diberi akses tak bisa menyentuhnya." Ia menghela napasnya panjang untuk kesekian kalinya. "Jika saja aku tak memulai kisahnya dengan memberikan darah untuk menghidupkan gadis itu ... dunia tak akan terancam bahaya. Kitab itu tak akan pernah ada dan manusia tidak seharusnya mengkaji benda itu."

Liam menatap Daeva. "Apa nama kitabnya, Nona?"

Daeva menoleh, hendak menjawab. Namun, suara menyeru dari belakang tubuhnya.

"Althea-lux ...."

Keduanya sama-sama menoleh, menatap siapa yang baru saja datang. Delwyn.

"Dari mana saja kau?" Delwyn menyahut lagi. Wajahnya tampak gusar. Sedikit kesal, mungkin saja. Daeva membuatnya terlihat aneh di depan Areeta tadi. Datang dari lorong sepi, Delwyn tak bisa menjelaskan apapun. Dia meninggalkan Areeta. Bahkan mengabaikan pesannya. Dia tak punya jawaban untuk kejadian pagi ini. Daeva membuatnya malu setengah mati.

"Dan ternyata kau ada di Washington DC? Di museum yang tak jauh dari rumahku?" Delwyn berjalan mendekat. Melirik pak tua, penjaga museum. "Dia temanku, Sir." Delwyn kembali memotong kala pandangan mata aneh tertuju padanya.

"Kau bisa meninggalkan aku dan dia di sini." Selepas mendengar perintah dari Daeva, pria itu membungkuk dengan sopan. Pergi meninggalkan mereka, sesuai dengan perintah.

Delwyn menatapnya. "Dia pengikutmu juga, Daeva?"

Daeva mengangguk dengan pantas. "Memangnya kenapa? Semua benda yang ada di sini adalah peninggalan sejarah yang aku bawa selama hampir 1000 tahun hidupku di dunia."

Pria itu diam. Membuka mulutnya tak percaya. Terperangah dengan apa yang baru saja dia dengar. Seperti sebuah dongeng, Daeva tukang 'kibul' yang layak untuk dipercaya.

"Baiklah kita lupakan itu," ujarnya. Seakan dia menata kembali kalimatnya. "Aku menghubungi pihak penginapan tempat kau tinggal. Katanya kau tak ada di sana. Aku mencarimu kemana-mana dengan menggunakan relasi perusahaan ...." Delwyn mengangguk aneh. "Sekarang kau ada di sini, bersantai?" tanyanya. "Di ruangan ini? Setelah apa yang kau lakukan?"

Daeva diam. Tetap tenang, meksipun Delwyn bak sedang kebakaran jenggot sekarang. "Kau ini kenapa?"

"Kau mengirimku ke tempat penelitian Areeta. Kau membuatku malu! Aku tak bisa berkata di depannya lagi ... dan aku terpaksa meninggalkan dia pergi begitu saja. Dia pasti marah padaku sekarang," ujarnya melirih. Pasrah selepas menyebut kemungkinan terburuk. "Kamu akan menikah beberapa bulan lagi. Namun, karena dirimu ... aku harus punya rahasia sekarang. Aku padahal sudah bersumpah mati-matian untuk tidak punya rahasia dan berbagi segalanya bersama Areeta."

Daeva tersenyum tipis. Ia mulai berjalan, ringan. Langkah kakinya menyusuri setiap sisi bangunan museum. "Katakan saja yang sejujurnya."

Delwyn mengerutkan kening. "Tentang aku bisa melakukan teleportasi menggunakan pintu?" Delwyn menghela napasnya kasar. Menggema di ruangan. "Daeva, come on!" Dia menyentakkan kakinya kesal. "Areeta tak akan percaya hal semacam itu."

"Maka dari itu, katakan saja." Daeva tertawa ringan. "Kau akan dianggap gila, terlalu banyak alkohol, lalu Areeta akan melupakan itu."

"Areeta sudah menganggapku gila saat aku mengindap penyakit aneh itu. Hipersensitivitas Elektromagnetik, kau pikir itu nyata?"

Daeva menghentikan langkah kakinya. Tepat di depan sebuah patung kuda besar yang terlihat begitu agung. Gagah dan perkasa, dia menyukai kalimat itu untuk mendeskripsikan semuanya.

"Ada apa?" tanya Delwyn. Ia ikut berhenti. Daeva tersenyum manis, seakan sedang berkomunikasi dengan benda mati ini. "Kau tak sedang menyembahnya bukan?" tanyanya dengan ragu. "Aku kira kau beragama Budha."

Wanita di sisinya menoleh. "Mereka sama-sama menyembah patung bukan?"

"Tuhan, Sang Budha," sahutnya polos. Ia mengulum salivanya. "Kau tak punya agama?"

"Aku tak butuh itu untuk hidup selama beratus-ratus tahun." Daeva menyahut. Kembali menatap patung kuda di depannya. "Minoz." Daeva kembali membuka suaranya. Nama aneh disebut, membuat pria yang ada di sisinya menoleh dengan cepat.

"Minoz?"

"Aku yang membawanya," ucap Daeva. Dia menoleh. Menatap replika kapal yang baru saja ditinggalkan olehnya. "Saat aku menjemput seorang gadis yang aku hidupkan dengan darahku. Aku juga menjemput kuda ini."

Delwyn ikut menoleh. "Jadi Daviela itu nama gadis?"

Daeva mengangguk. "Aku membuat kubah itu atas rasa bersalah karena tidak bisa melindunginya."

"Siapa yang mengambil jiwanya? Siapa yang berperang dengan Decurion di atas kapal itu?" Delwyn menyahut. Dia tertarik dengan kisah ini. Seperti dongeng, tetapi nyatanya dia sedang berhadapan dengan tokoh utamanya sekarang.

"Dierdre." Dia memulai. "Pencipta Althea-lux."

Ia terperangah tak percaya. Diam sejenak, mematung di tempatnya. "Aku tak mengerti, Daeva. Semuanya seperti kepingan puzzle."

Daeva kembali berjalan. Menyusuri museum. "Aku membawamu ke sini karena aku ingin kau mengenal lebih jauh dari bagian diriku, Delwyn. Aku yang mengijinkan kau datang kemari."

Delwyn diam. Sekarang itu menjadi hal yang wajar untuk dirinya.

"Setelah aku mendapati Daviela mati dengan ruh yang sudah berada di dalam bayangan Dierdre, aku tak bisa berbuat apapun. Aku meminta Decurion untuk kembali sebab dia bukan tandingan untuk iblis yang sudah melahap sihir Sang Agung Loralei. Di dalam darah Daviela, ada sihir Loralei untuk memberi nyawa padanya," tuturnya mulai bercerita.

Dia menarik bangku dengan sihirnya, duduk di atas bangku panjang dengan Delwyn yang mengikuti. Daeva suka dengan pemandangan di tempat ini, dari sisi ini. Sayangnya, tak ada bangku untuk menikmati itu.

"Singkat cerita, aku yang datang sendiri. Menemuinya di tempat bangunan yang digunakan Dierdre untuk mengambil semua ruh manusia yang dia makan. Dia adalah iblis yang gagal memenuhi janjinya dengan Loralei. Bertahun-tahun berkeliaran, misiku hanyalah untuk menangkap dia. Memenjarakannya dan mengeluarkan semua ruh manusia di dalam lidahnya." Daeva menghela napasnya panjang. Kisah ini mengulik kembali memori yang lampau.

"Biar aku tebak, kau gagal?" Delwyn menyahut. Melihat ekspresi dan nada bicaranya, tebakan itu bukan asal-asalan saja.

Daeva mengangguk. "Kami mengguncangkan dunia. Kitab yang disimpan Dierdre menghilang karena guncangan itu dan Dierdre hilang ditelan sebuah asap misterius. Dia masuk ke dalam tanah dan hilang setelahnya. Aku bertahun-tahun mencari kitab itu dan berpikir untuk menangkap pemiliknya dengan menggunakan kitabnya. Namun, aku tak pernah menemukan Althea-lux hingga Decurion memberi kabar bahwa kekasihmu adalah penerjemah terakhir setelah kakeknya."

Delwyn menatap Daeva. Keduanya sama-sama diam sejenak. "Itu artinya ... Althea-lux berbahaya?"

"Aku tak tahu isinya yang pasti. Namun, melihat itu adalah buatan Dierdre dan mantra Advocata Ogirth telah dirapalkan oleh seseorang. Ajaran iblis pasti sedang menyebar di sebuah tempat. Aku harus segera menemukannya dan mematahkan mantra itu. Mengambil kembali kitab Althea-lux, menangkap Dierdre dan mengakhiri hidupku."

Delwyn mengangguk. Setidaknya dia mulai mengerti, sedikit. "Aku bisa membantu?"

Daeva tersenyum tipis. "Entahlah. Kita lihat nanti. Seberapa berguna kah dirimu."

... To be continued ...

Chapitre suivant