webnovel

13. A devil's covenant

"Berapa sisa waktumu?"

"Mungkin satu tahun lagi. Aku tidak menghitung itu."

Kalimat yang mengakhiri pembicaraan mereka tadi siang. Delwyn akhirnya mendapatkan tempat menginap malam ini. Dia tak pulang, meksipun sebenarnya Delwyn bisa melakukan itu dengan leluasa. Tak perlu berpikir berapa banyak uang yang harus dia keluarkan. Ayahnya adalah pemilik perusahaan besar yang merajai di beberapa wilayah Amerika. Kalau hanya pasal uang, Delwyn tak perlu berpikir berat. Dia menetap sebab pikirannya lelah, hatinya tak karuan, dan raganya sudah tak bisa ajak untuk wira-wiri ke sana dan kemari. Rapat pemegang saham sebentar lagi akan diadakan. Delwyn tak cukup yakin untuk memperluas jabatan dan kekuasaannya. Semua kakaknya punya kekuasaan yang mantap dan matang, tidak seperti dirinya. Delwyn tidak punya hal semacam itu.

Pria itu bangkit dari sisi sofa. Duduk lalu menyandarkan kepalanya ke belakang. Menatap langit-langit ruangan. Tempat ini tak begitu membosankan jika ditanya pasal fasilitas. Namun, tidak ada apapun di sini. Delwyn benar-benar menyendiri sekarang.

Ia bangun dari duduknya. "Tak ada apapun di sini?" gumamnya sembari berjalan. Menuju ke arah dapur, tempat berbagai piring dan gelas berada. Semuanya seakan tak biasa. Yang ada di tempat ini terlihat begitu mahal dan unik. Tentu saja, biaya sewanya pun tak murah.

"Tak ada apa apapun?" Dia menaikkan kedua sisi alisnya. Menyentak secara bersamaan. Tak menyangka kulkas besar ini ternyata kosong tak ada apapun kala dia membuka pintunya. "Daeva pikir aku tak perlu makan malam?" Ia menggerutu. Kembali menutup pintu kulkas dengan membantingnya pelan. "Wanita aneh itu ...."

Ia kembali ke rumah tengah. Alangkah terkejutnya Delwyn mendapati meja makan di sudut ruangan penuh dengan menu yang cukup menggugah seleranya. Lampu utama dinyalakan, suasana terang ia dapati sekarang. Ditambah Daeva duduk di salah satu kursi itu. Menatapnya dengan aneh. Tersenyum tipis kemudian. Ujung kuku runcing berwarna merah pekat mengetuk sudut meja, seakan menyuruh Delwyn untuk datang padanya.

Pria itu menghela napasnya. Mengangguk seakan mulai hapal, Daeva bisa melakukan semuanya. Termasuk menciptakan apa yang dia lihat sekarang.

"Aku dengar kau kelaparan." Daeva memulai saat Delwyn baru saja meletakkan pantatnya di ada kursi. Pria itu menatap Daeva dengan aneh. Dia tak pernah berbicara apapun sebelum ini.

"Bagaimana kau tahu? Kau juga bisa membaca pikiranku? Ataukah ...." Delwyn menghentikan kalimatnya sejenak. Matanya menyapu sudut ruangan. "Ada kamera pengawas di sini?"

Daeva tersenyum tipis. "Aku bukan mata-mata atau penguntit."

"Lalu?" Tanpa merasa canggung dan ragu, akhirnya pria itu menarik piring berisi daging panggang yang tebal. Tak lupa, pisau dan garpu ditarik dari tempatnya. "Kau melakukan semacam pembacaan pikiran?"

"Aku mendengar kau membanting pintu kulkas. Jadi aku membawa ini untuk menebaknya."

Delwyn diam. Daging yang baru saja dia potong, tak jadi masuk ke dalam mulutnya. "Aku tak membantingnya dengan keras. Bagaimana bisa terdengar dari rumahmu?"

"Kita hanya selisih satu lantai. Aku bisa mendengar itu dengan jelas."

Delwyn menganggukkan kepalanya. Mengerti. Inilah kemampuan aneh Daeva lainnya. Peka terhadap rangsangan, mungkin itu namanya.

"Apapun itu, terimakasih sudah membawakan makanan ke sini."

"Itu tak gratis."

Delwyn mengangguk lagi. Tentu saja, dia paham sistem 'menginap'. Tak ada yang diberikan secara percuma. Semuanya harus ada gantinya. "Tulis saja tagihannya nanti. Besok aku akan membayarnya."

"Aku tak butuh uangmu," sahut Daeva lagi. Sekarang kalimatnya sukses menghentikan gerak bibir pria itu dalam mengunyah daging. "Aku tak perlu uang untuk semua ini."

Delwyn meletakkan garpu dan pisau makannya. Menelan sisa daging di dalam mulutnya sekarang. "Lantas? Kau mau apa?"

Wanita itu menyungging ringan. Tangannya terulur. Telapak tangannya terbuka, menunggu benda datang dalam genggamannya. Benar saja, sebuah dokumen terbang dan jatuh tepat di atas telapak tangan wanita itu. "Perjanjian." Daeva memulai. Meletakkan map berisikan kertas-kertas yang entah apa informasi di dalamnya.

"Aku ingin kau menandatangi perjanjian." Ia memperjelas. Meletakkan itu di atas meja. Mendorongnya, mendekati Delwyn.

"Harus jam segini membicarakan pasal hal penting?" Delwyn mengerutkan keningnya. Melirik jam dinding di sudut ruangan. "Ini jam 10 malam."

Daeva hanya diam. Tak memberi jawaban apapun terkait hal itu.

"Kau tak mengantuk?"

Daeva menggelengkan kepala. "Secara harafiah aku tak perlu tidur, makan, minum, atau semacamnya. Aku bukan manusia, jangan lupa itu."

Pria yang menjadi lawan bicara Daeva mengangguk-angguk. "Benar juga." Delwyn menarik dokumennya. Membuka itu dan membacanya sekilas. "Aku akan mempelajari kontraknya. Aku akan menyetujui setelah aku memahami itu. Jadi tinggalkan ini di sini dan besok pagi ...." Ucapan Delwyn terhenti saat Daeva menjentikkan jarinya. Suasana di luar jendela besar berubah. Tak lagi awan gelap dengan suasana sunyi yang khas, bahkan terik muncul dari gumpalan awan putih yang ada di luar.

"Ini sudah pagi," ucap Daeva tersenyum. "Kau bisa menandatangi dokumennya," tukasnya menuturkan.

"Daeva," panggil Delwyn dengan nada lemas. Semangatnya hilang begitu saja, menguap di udara. "Jangan menggunakan sihirmu untuk segala situasi dan di sembarang tempat. Itu merugikan."

"Kenapa merugikan?"

Pria itu menghela napasnya. "Aku bahkan belum tidur! Bagaimana bisa pagi datang? Huh!" Ia merengek bak bocah kehilangan mainannya. "Kembalikan malamnya lagi!" perintahnya.

Melihat tingkah pria yang ada di depannya, Daeva tersenyum simpul. Pria satu ini benar-benar unik. Wajahnya seperti orang yang garang, tubuhnya kekar bak binaragawan. Daeva pernah menonton Delwyn di layar televisi, dia layaknya seperti seorang pemimpin yang tegas dan bengis. Bukan pria yang bisa merengek seperti ini. Sungguh, dia mempunyai dua kepribadian yang berbeda.

"Daeva!" Delwyn membentak lagi. Wajahnya lucu, hampir saja membuat Daeva tertawa. Wanita itu lekas kembali menjentikkan jarinya. Awan hitam muncul, sekarang bersama dengan gerimis yang sedikit deras. Suara gemericik air menyela kesunyian malam.

"Kenapa dengan hujan juga?"

Ia menggelengkan kepalanya. "Itu bukan aku." Daeva menunjuk ke arah atas. "Terkadang aku tak bisa menyela kuasa-Nya. Aku juga tak bisa mengatur dan menghentikan apa yang ingin Dia turunkan ke bumi."

"Kau masih mengabdi pada-Nya rupanya."

Ia tersenyum miring. "Aku bukan hamba yang taat." Kalimat itu menghentikan aktivitas Delwyn. Daeva berkata dengan begitu lembut. Ia menghentikan kalimatnya dan menyibukkan diri dengan cangkir di depannya. Daeva pasti juga punya luka. Hidup abadi di dunia bukan lah hal yang mudah. Dia menyaksikan bagaimana dunia hancur dan dibentuk kembali. Dia menyaksikan banyak perang, kematian, kebangkitan dan semuanya. Itu pasti bukan hal yang mudah untuk dilakukan.

"Aku tahu. Wajahmu berkata demikian saat pertama kali kita bertemu." Delwyn menyahut. Menutup kalimatnya dengan tawa kecil. Melirik Daeva yang diam, ikut tersenyum.

... Bersambung ...

Chapitre suivant