Ini cerita tentang malam minggu, ini bukan cerita tentang asmara atau lembaran cinta sehingga engkau akan terenyuh membacanya atau meneteskan air mata selayaknya melihat sinetron dalam sebuah acara televisi nasional.
Ini cerita tentang sebuah keintiman antara romansa bapak dan anak. Ini bukan cerita tentang mengharu-biru akan kisah sendu sehingga kau akan tersedu-sedu mendengarkannya. Atau ingin berkata untuk mengulang sebuah adegan yang diperankan oleh si pelaku tokoh utama.
Mari kita sela sejenak perjalanan langkah kakiku tentang Jakarta dengan segala cerita kerasnya perjuangan. Mari kita sela sejenak akan dahsyatnya pergulatan hidup di tengah-tengah gedung menjulang tinggi ibukota. Dimana di otak hanya ada kerja, kerja dan kerja.
Ini kisah malam minggu tentang aku dan bapak saat aku masih terus pulang setiap sabtu sore dari tanah merah para santri. Sebuah daerah dimana sawah hanya mengandalkan tadah hujan atau kita sering menjumpai hanya tanam saat musim penghujan tiba.
Sebuah desa di pinggiran kota Gresik Jawa Timur bernama desa Kandangan di area sebuah kecamatan Cerme.
Saat itu dia adalah bapakku yang ku eluh-eluhkan bak sang resi begawan dengan jutaan petuah akan hidup dan cara hidup dan semua rumus akan kehidupan.
Bagaikan kamus berjalan tentang semua filsafat cara bagaimana bertahan hidup.
Bapakku adalah bapak Kasturi yang selalu tegar bagaikan karang di lautan lepas yang diterjang ombak. Bapakku adalah yang berdiri dari kaki dan bahu yang sudah sangat hitam kelam sebab terbakar matahari di saat siang mencari rezeki akan sesuap nasi demi kata lapar dari kami anak-anaknya.
Dia bapakku bernama bapak Kasturi yang selalu tak pernah tidur kala aku selalu pulang terlalu larut malam bahkan terkadang melebihi dentangan jarum jam yang menyatu menjadi satu ketiga-tiganya menunjuk ke atas langit.
Dia bapakku yang selalu berkata, "Nak apabila Kau sudah melangkah dari rumah. Bahkan sudah terlalu jauh dari pengawasan kami. Ingatlah yang menciptakan kami, bahwa masih ada tanah kelahiran yang kau tinggalkan. Bahwa di atas bumi masih ada langit dan diatas langit ada langit yang bersaf-saf hingga tujuh lapisan dan di atasnya lagi ada Arsy Allah serta rumah terindah tujuan akhir umat manusia yaitu surga."
Selalu petuah itu yang beliau sampaikan dan dengungkan di telingaku seakan menyentuh perlahan, menggetarkan gendang telinga, membuka mata lalu menyadarkan otak bahwa dimanapun kita Allah sedang mengawasi.
Maka berbuat baik dimana saja itu perlu, maka berusaha melengkapi salat lima waktu itu sangat berpengaruh, maka memang benar restu ibu, ibu, ibu lalu bapak adalah mutlak.
Sang Rama Begawan Bapak kusematkan titel seperti itu, karena luhur budi dan kesabaran tiada batasan dari dalam hati dan sanubarinya. Bapakku adalah orang yang selalu berjuang sendirian. Semenjak kecil beliau lahir tanpa ibu.
Sebab saat iya terlahir sang ibu menghembuskan nafas terakhir dan sang bapak pergi entah kemana lalu iya menapaki dunia dengan segala carut-marut dan fatamorgana tipu-tipu sebatang kara tiada teman serta saudara.
Malam minggu ini entah malam minggu keberapa disaat aku setiap malam minggu selalu pulang sebagai agenda wajib entah kebiasaan atau memang rutinitas kalau aku tak pulang rasanya hambar. Dan sudah kebiasaan Sang Begawan Bapak duduk sambil minum kopi dan merokok di atas kursi panjang depan dua pintu jendela di bawah teras.
Malam minggu kali ini jua sama seperti malam minggu lainnya di bawah sinar bulan dan atap langit nan cerahnya berbintang-bintang. Dia bapakku, Bapak Kasturi selalu memandang jauh kearah jalan sebelah utara sejenak duduk dan berdiri lagi.
Iya mulai resah saat melihat jam di dinding yang menempel lelah di sudut tengah bagian dinding penyekat antar teras dan ruang tengah berdetak menunjukkan sudah pukul hampir tengah malam tepatnya pukul 23:45 sudah.
Tetapi sang anak lelaki kesayangan belum jua pulang. Walau suara motor yang sangat iya hafal sebab iya yang membelikan beberapa tahun ke belakang. Itu jua belum terdengar dari kejauhan arah jalan utara desa Mojokembang.
"Kamu mampir kemana Pendik?" gumam Pak Kasturi terus menyulut batangan rokok di mulut keriput dan mata hampir mengantuk namun tetap ia jaga. Sebab ia ingin melihat sang anak lelaki kesayangan datang berucap salam dengan suara motornya secara utuh selamat tiada kurang satu apa pun.
Langit bertambah gelap di ujung atas bahkan terlalu atas lagi untuk di gapai. Rembulan sudah mulai hilang tertutup tarian arak-arakan awan yang terus menggelayut berjalan tersapu angin malam. Burung malam mulai berkicau tak tentu arah menghiasi sebelah belakang desa Mojokembang.
Dia Bapakku bernama Pak Kasturi hanya melamun sambil mengenang masa dimana Si Bagus kecil yang begitu riang dan lucu. Dua puluh lima tahun sudah iya membesarkan Sang anak lelaki kesayangan. Tidak terhitung pula kenangan bahagia atas canda dan tawa mereka bersama di bawah teras rumahnya.
Dengan berbalut sarung lama dan kaos oblong yang ia pakai. Bapak terus menanti walau pada akhirnya sang anak lelaki memang tak pulang malam minggu ini. Sebuah tragedi kisah pilu mau tak mau harus ia telan bagai pil pahit malam minggu kali ini.
Saat sang istri manis berdiri di sampingnya mengulurkan sebuah HP lama miliknya yang mungkin terlalu lama bagi anak muda hari ini. Sebuah HP jadul merek dari negara Slovenia. Namun di produksi oleh negara Thailand. Dan masih belum jua berjenis layar sentuh sebuah hanpone kecil sebesar genggaman tangannya. Terus berdering dari nomor yang tak dikenal.
"Siapa Buk, apa Pendik anak lelaki kita yang menelepon?" mata bapak menampakkan sorotan tajam rasa khawatir tak beralasan.
"Tidak tahu Pak, tidak ada namanya," ucap Ibuku mengulurkan ponsel pada tangan Bapak.
Dengan cepat bapak menekan tombol hijau di bawah layar sebelah kanan berlogo telepon, "Halo, Assalamualaikum, Siapa ini?"
"Waalaikumsalam, maaf apa benar ini dengan orang tuanya Mas Bagus Effendik?" jawab seseorang dari seberang telepon.
"Benar saya Bapaknya, Ibu ini siapa ya dan ada apa dengan anak saya?" ucap bapak mulai khawatir sorot matanya mulai tampakkan kegelisahan akan firasat aneh yang begitu datang secara tiba-tiba.
"Anak Bapak Bagus Effendik sekarang sedang berada di rumah sakit Bunder kabupaten Gresik Pak. Keadaannya sangat kritis dan apabila dalam kurun waktu dua jam tidak segera dioperasi mungkin nyawanya tidak dapat diselamatkan lagi Pak," ucap suara yang keluar dari ponsel yang masih menempel di telinga Bapak.
"Sebentar anda siapa, apa benar itu anak saya?" tanya bapak sekali lagi mencoba menetralisir hatinya yang semakin kacau akan kabar tentang anak lelakinya yang tertimpa musibah.
"Saya Dokter Sinta Pak, salah satu dokter di RS Bunder Gresik" lalu ada suara dari arah Dokter Sinta tampaknya sudah begitu mengenal bapak. Seperti bergumam meminta telepon dari Ibu Sinta.
"Biar saya yang bicara Dok, Halo Ri, Kasturi, ini aku Sihaji, Pendik Ri dia kecelakaan parah keadaannya sekarang kritis dari matanya keluar darah, dari telinganya keluar darah, dari hidungnya keluar darah, dan dari mulutnya muntah darah Ri, halo Ri, Kasturi," ponsel akhirnya terjatuh ke lantai teras.
Lepas dari pegangan Bapak, seakan tak percaya akan kabar yang ia terima tentang keadaan anak lelaki kesayangannya yang ia tunggu setiap malam minggu dan malam minggu kali ini. Anak lelaki itu sedang terbaring tak sadarkan diri di RS Bunder kota Gresik dengan kondisi yang begitu parah.
Matanya mulai berair kembali, otaknya tak mampu menahan tangis yang kembali meluncur deras. Pandangannya beralih pada mata sang istri dan hanya memandang dengan berair tak berkata.
Sang istri bertanya, "Ada apa Pak kenapa kok menangis?"
"Pendik Buk kecelakaan, katanya kalau dua jam lagi tidak di operasi dia akan tiada Buk. Anak lelaki kita akan tiada Buk. Bapak tahu jarak Jombang sampai Gresik lebih dari dua jam Buk. Pendik kita akan tiada Buk," air mata Bapak semakin deras dan tak kuasa berdiri lagi tersimpuh di depan Ibuku Amanah.