Pagi ku terasa hambar tanpa Novita tiada lagi senyuman manis berlesung pipit dan berpita ungu melintas di depan rumahku. Semenjak setahun yang lalu aku melihatnya di bawa pergi bapak Hajar dan ibu Wiwik pindah ke kota Madiun.
Tiada lagi aku membonceng di belakang sepeda jengki dengan menghirup harum aroma wangi melati dari kibasan rambut panjang Novita. Setahun yang lalu dia tersenyum sambil melambaikan jari-jari lentiknya dari dalam kaca mobil yang di kendarai bapak Hajar sebagai sopir dan ibu Wiwik duduk di samping Novita dan aku hanya mengikat sepatu di depan rumah bengong tak mengira bahwa Novita pergi teramat lama dari masa semaian rasa sayang yang baru aku mengerti.
Tiada lagi aku dan Novita berangkat mengaji bersama membawa kalam Illahi bernama kitabullah Sang Nabi tercinta Muhammad ya Rasullah. Kala seusai magrib dan tiada lagi kami bercanda bersama pergi ke arah surau timur gang RT 08, gang paling selatan desa Mojokembang.
"Ah sudahlah itu setahun yang lalu," gerutuku sambil menyimpulkan tali mengikatnya dengan kencang.
Hari ini aku jua sudah menginjak kelas tiga smp sebuah hati dari kata benar-benar kekasih telah aku jaga dan aku rawat dari sebuah gadis manis teman sekelas. Namanya Ardha Tia gadis kecil imut berlesung pipit sama seperti Novita dahulu bedanya sekarang kami benar-benar sepasang kekasih.
Bedanya sekarang hanya bertemu di dalam kelas dan saat sekolah saja, karena terlalu jauh jarak desaku dan desa Ardha. Entah ini cinta pertama atau disebut kisah cinta monyet atau cinta-cintaan aku jua tiada mengerti. Yang jelas jikalau ada teman yang bertanya apa kau sudah punya pacar sekarang saat mereka bercanda dengan gelak tawa ejekan tongkrongan anak bau kencur seusia kami.
Aku dapat mengatakan dengan lantang dengan kebanggaan, "Ada aku memiliki cinta dari sebuah hati yang ku jaga namanya Arda Tia."
Ku kayuh sepeda yang sama dari setahun yang lalu sepeda pideral tercinta. Setelah beberapa saat yang lalu telah kudapatkan restu keberangkatan untukku meniti ilmu. Dengan bismillah kukayuhi pedal perlahan kembali menyusuri jalanan utama desa Mojokembang yang kali ini sawah di kanan dan kiri rupanya hendak di tanami padi.
Masih di gemburkan pak tani dengan bajak dan sapi.
Dan pagi ini seperti biasa sahabat karib ku Khotib tetangga depan rumahku pas selalu dan selalu mengajakku untuk memacu kayuhan sepeda lebih cepat dan bertanding siapa yang dahulu sampai gerbang sekolah lebih dahulu dialah yang memenangkan pertandingan.
Sebuah pertandingan dari rival abadi sekaligus sahabat akrab walau tak pernah sepemahaman dalam sikap dan keputusan tapi hanya Khotib yang bisa mengimbangi kekonyolanku dalam bercanda tawa.
"Ayo Pen, cepat sebentar lagi gerbangnya mau di tutup," teriak Khotib menungguku di depan gerbang sekolah lalu kami melewati gerbang awal masa depan kami dimana nanti gerbang ini hanya sekedar kami lewati untuk sekedar mengenang masa-masa indah saat smp.
Setiap pagi kegiatan yang paling aku sukai dan selalu menjadi penyemangatku adalah saat Ardha selalu duduk ayu di depan pos satpam menungguku datang dari depan pintu gerbang. Dan selalu melongok beberapa kali untuk memastikanku telah datang.
"Noh pacarmu sedang menunggu pangerannya datang," ucap Khotib yang selalu menggodaku saat aku dan Ardha bertemu tiap pagi di gerbang sekolah.
"Sudah sana, hust.., hust..., pergi," candaku menyuruh Khatib agar cepat pergi meninggalkanku berdua bersama Ardha Tia.
Seperti biasa seperti pagi-pagi sebelumnya terdampar manis di pipi ini kecupan mesra dari bibir sang gadis tercinta. Dan maaf seperti pagi kemarin atau pagi sebelumnya hanya kupetik bunga bernama pacar banyu di samping pos satpam untukmu sebagai tanda cinta kecil dari kisah asmara kecil kala smp.
Namun Dia Ardha Tia selalu tersenyum penuh arti seakan tiada batas kasih dalam relung matanya yang menatapku dalam penuh arti setiap pagi datang hanya untuk saling sapa lalu berjalan beriringan walau tanpa berpegang tangan atau menempelkan kepala di pundak tapi begitulah makna cinta masa yang terlampaui kisah anak hendak menginjak remaja.
Bahkan setelah di dalam kelas sengaja aku menukar tempat duduk dengan salah satu temanku agar aku duduk pas di belakang sang primadona ku. Kelas akselerasi 3c dimana anak-anak atau siswa tanpa berpikir dalam mengerjakan soal-soal ujian alias di luar kepala sudah dapat menemukan jawaban disana lah aku dan Ardha Tia duduk menempuh pelajaran masa smp merajut kisah cinta monyet yang begitu syahdu di kenang hingga kini.
Tet..., tet..., tet...,
Bel berbunyi tiga kali pertanda jam istirahat telah berbunyi seperti biasa kode mata dari mata menyimpulkan dari hati ke hati dan hanya kami yang mengerti kerlingan lentik bulu mata Ardha tiga kali menandakan bahwa iya mengajakku untuk lekas berdua duduk di sebuah taman sekolah di belakang kelas kami.
Sebuah taman perdu yang di ciptakan bapak dan ibu guru. Demi hijaunya area sekolah kini kami manfaatkan untuk memadu kisah kita.
Duduk berdua di kursi panjang sebelah barat agak ke pojok pas di bawah pagar pembatas antara sekolah dan kampung sekitar sekolah menjadi rutinitas wajib setelah bel tiga kali berbunyi menandakan jam istirahat telah di mulainya.
Dengan beberapa Snak makanan ringan dan dua botol air mineral yang kami beli dari kantin di belakang sekolah. Menjadi saksi renyah dan pendamping kecanggungan apabila kami lelah berbicara dan hanya bisa saling menatap sahaja.
"Mas Pen, sampai kapankah kebersamaan kita akan terus seperti ini. Sebentar lagi tentu kita memasuki tahap akhir sekolah kita untuk melaksanakan ujian nasional demi kelulusan kita dari smp untuk menuju sekolah yang lebih tinggi SMA tentunya," ucap lirih dari getaran bibir manis yang selalu merekah basah bak di balut lipglas.
Yang selalu membuatku menelan ludah saat memandangnya namun apa daya kami masih berusia dini belum boleh lah bermacam istilah dalam bercinta.
"Entah Dek biarlah waktu yang menjawab semua. Akankah cinta kita masa smp terus berlanjut sampai akhir kita menutup semua kenikmatan yang di beri Allah. Atau nanti kau dan aku berpisah jarak dan pada akhirnya melupakan sebab berbeda sekolah. Mas tak tahu yang jelas hari ini, siang ini aku bersamamu aku milikmu biarkan Mas menikmati itu," jawabku perlahan saat itu di saksikan bunga taman dan kumbang dan kupu-kupu yang bertebaran.
Seakan mereka penghuni taman sekolah belakang kelas kami menjadi saksi mata kala ku kecup mesra rasa pertama dari bibir menempel pada bibir. Dari ciuman awal mula nanti pada suatu saat nanti di masa depan menjadi rasa hambar.
Namun kali ini di taman belakang sekolah bak adegan sinetron di salah satu televisi nasional yang tak kunjung usia beribu-ribu episode. Begitu pula saat kucium bibir Ardha untuk pertama kali entah refleks atau alamiah atau entah begitu lama kami berpaut antara mulut sampai bertukar ludah entah apa benar istilah itu di sematkan.
Lalu beberapa bulan kemudian setelah acara kelulusan di gelar besar-besaran di aula sekolah kami mengucap janji dengan tangisan sang bidadari Ardha Tia. Salah satu wanita atau gadis manis yang pertama memberikan ku rasa ciuman pertama di belakang kelas 3c taman sekolah.
Dan kami berjanji suatu saat nanti bertemu kembali di waktu yang lain dan hari yang lain mungkin dengan pasangan yang lain. Karena kami memutuskan jalan yang tak sama untuk menempuh masa depan.
Aku yang senang bekerja keras akhirnya memilih jalur SMK atau yang sering disebut STM. Sekolahnya anak-anak yang memiliki taraf orang tua sederhana dalam keuangan dan berpandangan setelah lulus sekolah ingin bekerja.
Sedangkan Ardha dituntut oleh orang tuanya harus masuk SMA demi dapat meneruskan menuju perguruan tinggi untuk meneruskan tradisi keluarga menjadi PNS di masa mendatang.