Semuanya terjadi begitu cepat dan tiba-tiba saja pria itu memberiku dua guru. Melihat reaksiku yang tampak kaget, pria itu tiba-tiba memperkenalkan dirinya.
"Nama saya Gumelar… biasanya saya dipanggil mbah sama orang-orang yang sudah kenal."
"Mulai sekarang kamu bakal belajar dari mereka berdua. Baik di dunia nyata maupun di dunia ghoib."
Anehnya aku bisa mendengar dan mengartikan ucapan mereka lewat batinku. Walau mulut mereka tertutup, suara itu bisa muncul.
Selain itu aku juga merasa ragu dibatinku, sebab aku tak menyangka akan tiba-tiba dihadapkan pada situasi seperti ini. Aku merasa tidak siap, karena bagaimana mungkin aku akan mudah percaya dengan orang yang baru pertama kali kutemui.
"Apa kamu tidak ingin mengembangkan kemampuanmu? Apa kamu ingin tragedi yang sama akan terjadi kembali karena ketidakmampuanmu?" ucap Mbah Gumelar.
Lagi dan lagi, anehnya dia bisa membaca keraguan yang muncul di dalam batinku.
"Mereka berdua yang akan jadi gurumu ini bukan bangsa ghoib… mereka adalah manusia." tambahnya.
Mbah Gumelar menunjuk pria berpakaian serba kuning itu lalu berkata, "Dia namanya Dirga… tapi biasanya dipanggil Suhu Liong…"
Lalu Mbah Gumelar menunjuk pria yang mengenakan pakaian serba hitam sembari berkata, "Dia namanya Mahendra… tapi di alam ghoib, dia lebih dikenal dengan nama Alastor."
"Mereka berdua punya latar belakang dan jenis ilmu yang berbeda… tapi tidak usah saya jelaskan, nanti kamu akan paham sendiri, setelah merasakannya langsung." ucapnya.
"Kenapa tubuhmu kembali seperti semula?" tanyaku heran saat melihat seluruh tubuh Jatuhu yang telah pulih sepenuhnya. Anehnya, tampak tidak ada bekas luka yang tersisa di tubuhnya.
"Dia terpaksa panen lebih cepat supaya bisa pulih…" potong Mbah Gumelar.
Aku bingung apa maksud dari panen yang diucapkan oleh mbah Gumelar.
Baru saja aku bertanya dalam hati, Mbah Gumelar langsung menjelaskannya, "Tumbal-tumbal pesugihan."
Saat menyadari eksistensiku di sana, Jatuhu mulai menatapku tajam sembari bertanya, "Bagaimana denganmu sendiri? kenapa kau bisa ada di sini? apa kau lupa janjimu?"
"Apa kau…" Sebelum aku dan Jatuhu sempat saling berbicara… pria yang bernama Mahendra itu seketika memotong ucapan Jatuhu.
"Sejak kapan aku memperbolehkanmu untuk berbicara?" tanya Mahendra.
"Apa aku lupa telah memberikanmu izin sebelumnya?" ucapnya dengan memasang ekspresi pura-pura bingung sembari tersenyum.
"Maafkan aku tuan… aku tidak berniat melawan perintahmu…" balas Jatuhu dengan ketakutan. Bahkan seluruh tubuh dan suaranya gemetaran saking takutnya.
"Oh begitu… tapi apa permintaan maaf saja sudah cukup? Sepertinya sekarang perintahku sudah tidak ada arti dan harganya lagi ya?" ucapnya sambil menggelengkan kepalanya.
"Tidak tuan… ini sepenuhnya salahku… tolong hukum saja aku…" balas Jatuhu dengan sigap.
"Baiklah… jika itu permintaanmu… akan kulakukan dengan senang hati, tapi apa kau tau… apa biasanya hukuman yang kulakukan kepada bawahan ataupun lawanku yang terlalu banyak bicara?"
Pria yang bernama Mahendra itu seketika mencekik Jatuhu dengan tangan kanannya hingga dia terangkat di udara.
Dia perlahan memegang mulut dari Jatuhu dengan tangan kirinya… lalu tanpa basa-basi dia merobek mulut dari Jatuhu.
"ARRGGHHHHHHH!!!" Jatuhu berteriak dengan histeris.
Mahendra lalu dengan santainya melempar dia ke lantai. Jatuhu berlutut kembali sembari memposisikan kepalanya menghadap lantai.
"Bagaimana? Apa kau jadi menyesal memintaku untuk menghukummu?" tanya Mahendra sembari tersenyum.
"Tidak tuan… aku memang pantas mendapatkannya." jawab Jatuhu dengan suara gemetar.
"Baguslah… sebenarnya tadi itu cuma permulaan… harusnya masih banyak lagi hukuman yang akan kau jalani. Tapi apa boleh buat, boss besar saya masih punya urusan denganmu…" ucap Mahendra.
Muncul rasa takut di batinku saat melihat ekspresi wajahnya. Ekspresinya itu sama persis dengan psikopat yang muncul di film-film. Saat mempermainkan dan menyiksa Jatuhu, dia tampak sangat menikmatinya.
"Kenapa kamu melihat saya dengan ekspresi begitu?" tanya Mahendra kepadaku.
"Jangan takut… saya gak galak kok, kayak dia…" ucapnya sembari menunjuk pria yang ada di sebelahnya.
"Cukup main-mainnya… biar pak Gumelar yang berbicara sekarang." balas pria yang bernama Dirga itu dengan ekspresi kaku.
Saat Mahendra ingin membuka mulutnya untuk membalas ucapan Dirga, dia menatap mbah Gumelar sesaat. Mbah Gumelar menatapnya balik lalu mengangguk pelan dan Mahendra pun seketika diam sembari menggelengkan kepalanya dengan enggan.
"Dia tidak akan ikut campur… di sini dia hanya hadir sebagai saksi saja…" ucap Mbah Gumelar dengan santai. Dia yang dimaksud itu adalah diriku.
Jatuhu tak membalas ucapan Mbah Gumelar… dia hanya menganggukan kepalanya dengan cepat.
"Jadi sekarang… ceritakan semua kebenarannya. Jika kamu berbohong… aku akan membiarkan dia menghukummu." perintah Mbah Gumelar sembari menunjuk Mahendra.
Jatuhu mengangguk, tetapi dia diam sembari melirik Mahendra. Sepertinya dia tak ingin berbicara, apabila tak diizinkan olehnya.
"Kalau disuruh boss cerita… ya cerita saja…" ucap Mahendra sambil tersenyum menyeringai.
"Perlu saya ceritakan dari mana?" tanya Jatuhu.
"Dari awal pertemuan kamu dengan wanita yang menjebak teman saya." jawab Mbah Gumelar.
Aku bingung mendengar pertanyaan itu. Menjebak? Aku tak tahu maksud dari arah pembicaraan ini.
"Dari mana tuan bisa tahu tentang itu?" tanya Jatuhu terkejut.
"Hahahaha…" Mahendra tertawa terbahak-bahak mendengar ucapan Jatuhu.
Mbah Gumelar tidak memperdulikan tawa Mahendra, dia dengan santai menjawab, "Saat kulacak, energimu sudah sangat lama membekas di badan dan rumahnya. Begitu juga dengan suaminya. Logikanya, dia tak mungkin bisa bertahan lama saat melakukan pesugihan denganmu. Begitu juga denganmu, untuk apa kau menunggu panen yang begitu lama."
"Pada awalnya wanita yang bernama Nirma itu berniat untuk meminta kekayaan kepadaku dengan melakukan pesugihan." ucap Jatuhu tiba-tiba.
Seluruh badanku bergetar seketika. Rasanya aku ingin langsung menghabisi kelelawar yang ada di depanku. Begitu juga dengan wanita jalang yang bernama Nirma itu… gara-gara dia… nyawa Putra sampai menghilang.
Belum saja aku bergerak, pria yang bernama Dirga sudah menatapku dengan tajam layaknya sedang memperingatkanku… agar jangan bertindak gegabah.
"Apa yang dilakukannya selama melakukan perjanjian pesugihan denganmu?" tanya Mbah Gumelar.
"Sebenarnya dia sudah lama melakukan perjanjian denganku. Pertama kali pesugihan… dia mengorbankan suaminya yang suka menyiksanya terlebih dahulu. Dia sengaja menyuruhku menawan sukma dari suaminya, tetapi dia meminta agar anak-anaknya tidak kusentuh, sebagai gantinya dia harus mencari orang lain yang bisa dikorbankan." ucap Jatuhu.
"Setelah itu… dia menawarkan teman-temannya yang sedang kesusahan agar melakukan perjanjian denganku. Hingga lama kelamaan, akhirnya dia kehabisan teman yang bisa diajak melakukan pesugihan. Jadi dia mulai beralih berpura-pura sebagai korban pesugihan. Dia mulai menjebak para paranormal yang di datanginya. Baik itu paranormal palsu ataupun paranormal yang memang benar-benar ingin membantunya." jelasnya.
Mendengar penjelasan Jatuhu membuatku marah… terutama kepada diriku sendiri karena tertipu oleh mereka. Aku tak menyangka, ada manusia sebejat itu… yang mampu mengorbankan mereka yang tulus ingin menolongnya.
"Berapa korban kalian?" tanya Mbah Gumelar.
"Puluhan…" ucap Jatuhu dengan ekspresi dan suara yang ragu.
"Itu masih sangat sedikit jika dibandingkan dengan jumlah keseluruhan korbanmu saat selama kau hidup. Bahkan saat ini, masih banyak manusia yang bersekutu dan menjadi bawahanmu." balas Mbah Gumelar.
Jatuhu hanya diam karena tak bisa membantah ucapan dari Mbah Gumelar.
"Cuma itu saja?" tanya Mbah Gumelar.
"Iya tuan…" jawab Jatuhu.
Mbah Gumelar lalu menoleh ke arah pria yang bernama Dirga sembari mengangguk pelan.
Dirga mengangguk balik sembari membuka salah satu telapak tangannya dan seketika muncul pusaka berbentuk pagoda yang memancarkan sinar emas di sana. Uniknya, pagoda itu dapat berputar dengan sendirinya.
Setelah melihat kemunculan pagoda itu… Jatuhu tanpa basa-basi langsung mencoba untuk melarikan diri. Tapi sayang… usahanya berakhir sia-sia, sebab pria yang bernama Mahendra itu sudah berhasil mencekik lehernya.
"Mau lari kemana? hahaha…." ucap Mahendra.
"Terkutuklah kalian para manusia biadab!!!" jerit Jatuhu sembari berusaha melepaskan cekikan itu.
"Hahaha… terimakasih atas doanya…." balas Mahendra lalu dia melempar Jatuhu ke arah pagoda yang berada di tangan Dirga.
Sinar emas dari pagoda itu seketika membesar dan menelan seluruh tubuh Jatuhu dalam sekejap mata.
Aku tak tahu apa yang terjadi pada Jatuhu jika terserap masuk ke dalam pagoda itu. Tetapi aku merasa bahwa tidak ada harapan lagi baginya untuk bebas. Itu adalah akhir dari cerita makhluk yang bernama Jatuhu.
"Mari ke lokasi selanjutnya." ajak Mbah Gumelar.
Tiba-tiba muncul portal di dekat singgasana. Mbah Gumelar dan kedua pria itu dengan santainya bergerak menuju portal itu seakan-akan barusan tidak terjadi apapun. Di sisi lain, aku hanya bisa manut sembari mengikuti mereka dari belakang.
Setelah memasuki portal itu… pemandangan yang tampak di mataku kembali berubah. Kali ini yang ada di pandanganku adalah sebuah rumah yang tak asing bagiku… rumah seorang perempuan yang telah menjebakku dan Putra… perempuan yang bernama Nirma.
Tanpa mengucapkan apa-apa, mereka bertiga terbang menembus dan memasuki rumah bu Nirma. Walau merasa ada suatu energi yang aneh muncul dari rumah itu… aku spontan mengikuti mereka dengan membawa rasa penasaran.
Sesampainya di dalam sana, tampak sebuah pemandangan aneh yang sekaligus mengerikan. Seisi rumah itu telah dipenuhi oleh sekerumunan makhluk halus yang tak terhitung jumlahnya. Tetapi saat melihat rombongan kami datang… mereka tunduk sembari memberi kami ruang untuk bergerak.
Di sisi lain, aku melihat segerombolan makhluk halus mengerumuni dan menempel pada tubuh bu Nirma yang sedang berbaring di kasurnya. Sekilas, aku melihat wajah bu Nirma tampak sangat tua… begitu juga dengan tubuhnya yang kurus kering. Perubahan fisiknya itu bahkan sampai hampir membuatku tak mengenalinya lagi.
Jenis dari makhluk yang berada di sana bermacam-macam… ada yang berbulu seperti genderuwo, ada yang berbentuk hewan alias siluman. Tetapi yang paling banyak adalah makhluk yang berwujudkan manusia dengan tubuh yang penuh darah dan cacat. Sepertinya mereka adalah para korban pesugihan yang dijerat bu Nirma. Dengan memasang ekspresi menyeramkan… mereka mencengkeram tubuh bu Nirma mulai dari ujung kaki sampai ujung kepalanya.
"Bagaimana menurutmu? Apa kamu masih ingin membalas dendam lagi?" tanya Mbah Gumelar.
Melihatku yang cuma diam tak merespon ucapannya, Mbah Gumelar lanjut menasehatiku.
"Orang-orang dan makhluk seperti mereka sangat banyak dan tak akan ada habisnya. Yang bisa menolong diri mereka sebenarnya hanyalah diri mereka sendiri. Mereka harus memutuskan rantai itu dengan membayar semua yang sudah diterimanya."
"Tapi menurutmu apakah orang seperti mereka bisa lepas dari nafsu duniawinya?"
"Apa mereka rela kembali hidup susah dan sakit-sakitan?"
"Belum lagi ada para makhluk itu yang selalu menggoda dan menagih janji mereka…"
"Bila tidak berhati-hati saat membantu orang, tanpa tahu inti dari permasalahannya bisa menyebabkan datangnya malapetaka. Contohnya seperti kejadian yang kamu alami bersama Putra."
Ucapan Mbah Gumelar berhasil membuka mata dan menyadarkanku… bahwa tidak ada gunanya lagi aku membalas dendam, sebab tanpa aku harus turun tangan pun bu Nirma sudah ditagih hutangnya oleh para korbannya yang terdahulu. Tetapi aku tidak merasa kasihan sama sekali dengannya… karena dia memang pantas mendapatkan ganjarannya.
Pengalaman ini membuka mataku, bahwa aku tak boleh sepenuhnya percaya akan orang lain. Semenjak itu… aku mulai meragukan dan menganalisis apa kemungkinan terburuk jika aku berinteraksi dengan mereka.
Di sisi lain aku telah menyaksikan nasib dari para pelaku dan korban dari praktik pesugihan. Di hatiku aku hanya berharap agar orang-orang terdekatku tidak akan berurusan dan bersentuhan dengan hal itu di sepanjang hidupnya.
"Kembalilah ke tubuhmu." ucap Mbah Gumelar setelah selesai menasehatiku.
Kembali ke tubuhku… itu mengingatkanku akan pertemuan pertama antara aku dengan pria berjubah merah. Figurnya yang dingin dan kaku yang mengajariku bagaimana untuk kembali ke tubuhku saat berada di dunia astral.
Aku langsung meniatkan kembali ke tubuhku dengan fokus dan sungguh-sungguh. Beberapa saat kemudian, seperti baru terbangun dari mimpi… aku akhirnya telah kembali pada tubuh fisikku.
Baru saja sadar, tiba-tiba sudah terdengar suara dari Mbah Gumelar yang berbicara dari sampingku, "Jam dua belas nanti, tepat pada tengah malam… merogo sukmolah… ada seseorang yang mencarimu…" ucap Mbah Gumelar.
"Memangnya ada siapa Mbah?" tanyaku dengan bingung.
"Kamu cek sendiri saja nanti… saya pulang dulu ya…." jawabnya singkat sembari menepuk pelan pundakku.
Mbah Gumelar pun berjalan keluar dari ruangan tanpa menoleh sedikitpun. Aku masih bingung mengapa dia tampak peduli denganku. Aku pun bertanya-tanya dalam hatiku, bukankah dia cuma kenalan dari Putra? Mengapa dia bertindak sampai sejauh ini?
Mengapa Putra tidak pernah menceritakan tentangnya? Padahal selama ini Putra telah menceritakan tentang orang-orang dekatnya kepadaku, terutama mereka yang mempunyai kemampuan supranatural.
Tetapi di sisi lain, efek dari perjalanan yang singkat tapi terasa sangat lama itu berhasil membuatku jadi merasa lelah, karena itu aku pun memutuskan untuk memejamkan mata dan tidur.
Setelah menikmati tidurku yang pulas, hal pertama yang kucek saat sudah terbangun adalah jam yang menempel di dinding. Saat kuperhatikan, ternyata jarum jam yang sedang bergerak sudah mendekati pada angka duabelas.
Aku kembali memejamkan mataku… tetapi kali ini aku berfokus mengatur pola pernafasanku terlebih dahulu. Aku berusaha mengumpulkan energi sebanyak mungkin, karena dari pengalamanku barusan… saat Mbah Gumelar membantuku merogo sukmo… aku butuh energi yang besar agar lebih mudah mengeluarkan tubuh astralku.
Tak tahu sudah berapa lama aku fokus mengolah nafas, saat aku merasa energinya sudah cukup, aku mulai merilekskan seluruh tubuhku dan melakukannya seperti instruksi Mbah Gumelar tadi.
Aku mulai berfokus pada rasa… hingga tak lama kemudian, aku mulai merasakan gejala sama seperti yang kualami sebelumnya. Tapi kali ini aku tidak panik dan bisa melewati semua fasenya dengan tenang.
Setelah melalui fase terakhir, tubuh astralku akhirnya terlepas. Aku langsung mengecek semua yang ada di sekitarku dan seketika terkejut, sebab aku melihat seorang wanita yang selama ini kudambakan sedang berdiri di dekatku.
Pandangan mata kami tertuju pada satu sama lainnya. Tatapan mata itu mengingatkanku pada saat pertama kali aku bertemu dan mengenalnya.
"Kamu… kok bisa…" ucap Adellia dengan ekspresi terkejut dan suara terbata-bata.
"Itu apa yang ada di pundak kamu? Asalnya darimana?" tanya Adellia dengan serius.
Spontan aku menoleh dan melihat ada pelindung berwarna emas di pundak kananku. Seketika aku mengingat Mbah Gumelar menepuk pundakku saat pamit untuk pulang.
Tetapi belum sempat aku membalas ucapannya, tiba-tiba Adellia berceletuk.
"Aku harus balik…"
Tanpa berpikir panjang, aku langsung memeluknya dengan erat.
"Kamu gak bisa bohongin perasaan kamu Del…" ucapku.
Dia berusaha memberontak, tetapi aku tetap tak mau melepaskannya dengan sepenuh tenagaku. Menyadari usahanya yang tampaknya sia-sia, pada akhirnya Adellia pun menyerah.
"Ini salahku Ram… kenapa aku harus datang ke kota ini dan ketemu sama kamu. Kenapa aku membuka diri dan jadi dekat sama kamu…." lirihnya.
"Memangnya kenapa Del? Apa aku segitu gak pantasnya untuk bisa dekat dengan kamu?" tanyaku lemas.
"Bukan Ram…" balasnya tegas.
"Jadi kenapa?" tanyaku penasaran.
Adellia diam tak bisa berkata-kata. Tampak keraguan dalam ekspresi wajahnya.
"Apa yang kamu takutkan Del? Kenapa kamu gak mau cerita ke aku?" tanyaku lagi.
"Aku udah tunangan sama orang lain Ram…." ucap Adellia.
Mendengar jawaban dari Adellia membuatku tertegun seketika. Aku tak tahu harus bereaksi apa saat itu juga. Tetapi di sisi lain, Adellia mulai melanjutkan ucapannya.
"Sejujurnya… walau tau kalau ini adalah salah… aku gak menyesal untuk pernah cinta ke kamu Ram. Aku gak akan pernah lupa sama semua momen di saat kita bersama."
"Kamu harus percaya diri… jangan ngerasa malu dan minder lagi. Kamu ganteng kok… makanya kak Riska sama Melissa bisa naksir sama kamu. Tapi mereka naksir sama kamu itu bukan karena ganteng aja Ram… tapi alasan utamanya karena sifat kamu…" ucap Adellia sembari tertawa kecil.
"Makanya jangan sampai ikuti jalan yang salah Ram… karena aku tahu, kalo kamu itu orang yang baik."
"Kayaknya aku udah kebanyakan ngomong deh…" ucapnya sembari tersenyum manis.
"Walau berat, tapi ini jadi perpisahan terakhir kita Ram. Sebelum rasa ini semakin dalam, aku gamau kalau kamu celaka nantinya. Kamu bebas untuk ngerasa benci dan marah ke aku… tapi ini demi kebaikan hidup kita berdua…."
Akhirnya kata-kata perpisahan yang tak ingin kudengar pun muncul. Di dalam lubuk hatiku terdalam, sebenarnya aku tak rela untuk melepaskannya. Apakah aku harus memaksakan diriku untuk tetap memperjuangkannya… ataukah aku harus menyerah sampai di sini saja. Rasa dilema pun muncul di dalam lubuk hatiku.
Aku berusaha untuk tetap tegar sembari mendengarkan semua ucapannya, tetapi sayangnya aku tak bisa, "Apa gak ada harapan buat kita Del?" tanyaku pelan.
Adellia menggelengkan kepalanya sembari tersenyum kecil,
"Aku cinta kamu Ram…" ucapnya dengan suara halus nan lembut.
"Aku juga cinta sama kamu Del…" balasku dengan dada yang penuh oleh rasa sesak sembari memeluknya dengan erat.
Tak terdengar lagi suara balasan dari Adellia. Hanya terdengar suara bak gemuruh yang memenuhi pendengaranku. Aku juga sadar, bahwa sosok wanita yang baru saja kupeluk dengan erat telah menghilang dari pandanganku.
Kedua insan itu tak menyadari… bahwa pelukan itu adalah permulaan dari peperangan besar yang akan terjadi di masa yang mendatang.
Akankah kedua insan itu akhirnya bisa bersatu?
Tiada yang tahu…
Biarlah takdir yang akan menjawab…
<SEASON 1 END>