"Ha? kok bisa bu?" tanya Putra heran.
"Gatau mas… padahal tadi siang mereka berdua masih ada di rumah." jawab bu Nirma, masih dalam keadaan yang panik.
Putra tampak mengernyitkan dahinya lalu bertanya lagi, "Emangnya selain anak ibu, siapa aja yang ada di rumah tadi siang bu?"
"Cuma suami saya aja mas… tapi suami saya itu…." tiba-tiba bu Nirma berhenti berbicara, dia tampak ragu untuk melanjutkannya.
Aku dan Putra pun otomatis menjadi bingung kenapa bu Nirma tampak ragu berbicara tentang suaminya.
"Emangnya suami ibu kenapa?" tanya Putra pelan.
"Saya bingung jelasinnya mas, soalnya suami saya mendadak berubah belakangan ini. Entah kenapa, suami saya tiba-tiba jadi kayak orang linglung. Dia juga ga pernah mau keluar dari rumah. Waktu saya coba ajak ngomong, dia selalu diam dan menatap kosong ke arah dinding rumah." jawab bu Nirma.
"Hmmm… selain itu, ada keanehan lain lagi gak bu?" tanya Putra.
Bu Nirma mengernyitkan dahinya sejenak, "Ada mas…. setiap waktu tengah malam, suami saya selalu teriak menjerit-jerit sambil megangin kepalanya kayak orang yang lagi ketakutan gitu mas. Udah saya coba tenangin dan ajak komunikasi, tapi dia tetap gak peduli. Ujung-ujungnya dia capek sendiri dan diam kayak orang linglung lagi." jelas bu Nirma.
Saat Putra dan bu Nirma sedang berbincang-bincang, tiba-tiba muncul suara yang tak asing bagiku, yaitu suara pria berjubah merah.
"Jangan ikut campur urusan mereka." ucapnya memperingatkanku dengan tegas.
Aku langsung menoleh untuk mencari keberadaannya, tetapi wujudnya tak kunjung muncul dan tampak.
"Kenapa?" tanyaku di dalam batin.
"Kalian tak akan sanggup menghadapi makhluk itu." balasnya.
"Memangnya sekuat apa sih makhluk itu?" tanyaku penasaran.
"Dia bisa menghabisi nyawa kalian." balas pria berjubah merah.
Aku terdiam dan berpikir sejenak, "Tapi bukankah apa yang kami hadapi sebelumnya juga bisa berbuat yang sama?" tanyaku bingung.
"Bahkan jika kau mengumpulkan semua lawan yang pernah kau hadapi selama ini, mereka tak akan sebanding dengan kekuatan makhluk itu."
Mendengar ucapannya membuat bulu kudukku langsung seketika merinding. Aku juga tersadar, bahwa ini kali pertamanya si pria berjubah merah mencoba melarangku berhadapan akan suatu makhluk. Tetapi entah kenapa, aku merasa tak tega untuk membiarkan Putra menangani kasus ini sendirian. Aku juga tak tega melihat keadaan bu Nirma yang semakin hari akan semakin menderita.
"Memangnya makhluk itu jauh lebih kuat darimu?" tanyaku penasaran.
"…." Aku menunggu sesaat, tetapi tidak ada balasan darinya. Aku berpikir, diam dari si pria berjubah merah itu adalah jawaban iya. Aku merasa sepertinya dia malu untuk mengakui hal itu.
Aku mulai merasa dilema, karena aku tak tahu harus bagaimana menyampaikannya ke Putra. Belum lagi, aku tak mungkin membatalkan partisipasiku di saat anak bu Nirma dalam keadaan darurat seperti itu.
Sementara itu, Putra masih mencoba untuk menenangkan bu Nirma dan menggali informasi lebih dalam tentang keluarga bu Nirma.
"Saya coba lacak secara ghoib dulu ya bu… terus tolong bawakan foto anak ibu yang paling baru." pinta Putra.
"Baik mas, sebentar ya…." balas bu Nirma dengan cepat lalu bergegas berjalan menuju rumah.
Tapi baru beberapa langkah saja, perkataan Putra menghentikan langkah bu Nirma, "Apa kami bisa ikut masuk ke dalam rumah bu? Soalnya ada yang mau saya pastiin." tanya Putra meminta izin.
"Silakan mas…" jawab bu Nirma.
Kami berdua pun mengikuti bu Nirma dari belakang. Saat baru saja memasuki pintu rumah berwarna putih itu, aku langsung terkejut seketika. Sebab, aku disambut oleh seorang pria yang memelototiku dengan mata yang merah dan tajam. Anehnya dia sedang berdiri kaku disamping sofa dengan ekspresi datar, bagaikan sebuah patung.
Saat aku menoleh, ternyata Putra dan bu Nirma juga tampak terkejut dengan apa yang sedang mereka pandang.
"Ini suami saya mas, mohon dimaklumi kondisinya." ucap bu Nirma dengan suara pelan.
Aku dan Putra mengangguk, lalu Putra perlahan menjulurkan tangannya ke arah suami bu Nirma. Tetapi suami bu Nirma hanya diam dan tak merespon Putra. Dia hanya memandangiku dengan tatapan matanya yang membelalak.
Melihat suasana yang terasa tegang dan tidak nyaman, bu Nirma pun memapah suaminya masuk ke dalam kamar. Tetapi sepanjang dia berjalan menuju kamar, anehnya suami bu Nirma masih saja tak melepaskan pandangan matanya dariku.
"Dia kenapa ngeliatin gw mulu Put?" tanyaku heran.
"Gw juga gak tau Ram… tapi dari apa yang gw lihat barusan, sukma suami bu Nirma lagi ga ada di situ." jawab Putra.
"Ha? Maksudnya gimana Put?" tanyaku bingung.
"Sukmanya hilang, ibaratnya dia cuma sisa cangkangnya doang. Makanya sekarang dia jadi diam mulu." ucap Putra pelan.
Aku menjadi semakin pusing, sebab bukan hanya anak bu Nirma saja yang hilang, tetapi sukma suaminya juga telah hilang. Rasanya masalah dan informasi yang tersembunyi mulai muncul ke permukaan satu persatu.
Sesaat kemudian, setelah bu Nirma selesai mengantarkan suaminya ke dalam kamar, dia langsung kembali menemui kami dan memberikan sebuah foto yang berisikan dua anak kecil yang tampaknya berumur kisaran 3-4 tahun.
"Sekarang harus gimana mas?" tanya bu Nirma.
Putra tak menjawab pertanyaan bu Nirma, dia hanya diam sambil memandangi foto itu dengan seksama. Hingga tak lama kemudian, perlahan dia mulai memejamkan matanya dan mengatur pernafasannya.
Menit demi menit telah berlalu, hingga tak terasa hampir setengah jam Putra masih saja memejamkan matanya. Bu Nirma pun semakin lama semakin terlihat panik. Hingga akhirnya bu Nirma pun meluncurkan pertanyaan kepadaku.
"Kira-kira ini masih lama lagi ya mas? Apa mas Putranya aman?" tanya bu Nirma pelan.
"Saya kurang tau bu… sabar dulu ya bu… mas Putranya lagi berusaha." jawabku pelan.
Bu Nirma pun mengangguk dan hanya bisa menunggu saja. Hingga tak lama kemudian, Putra akhirnya membuka kedua matanya.
"Dari penglihatan saya, jejak anak ibu ada di suatu rumah besar dengan taman luas yang posisinya gak jauh dari sini. Ciri-ciri dari rumah itu, dinding luarnya berwarna putih dengan atap berwarna biru tua, dan yang paling mencolok, ada pohon besar yang bercabang banyak di tamannya. Yang saya perhatikan, lingkungan rumah itu ada di komplek yang sepi, karena saya liat di sekitarnya banyak rumah besar kosong yang jarang ditempati manusia." ucap Putra, bahkan sebelum bu Nirma sempat bertanya.
"Kira-kira ibu pernah ngeliat ciri-ciri rumah kayak gitu gak? di sekitar sini." tanya Putra.
Bu Nirma mengernyitkan dahinya seraya diam berpikir.
"Hmmm… di dekat pohonnya ada kolam ya mas?" tanya bu Nirma.
"Iya bu… tapi…" Putra tampak ragu untuk melanjutkan perkataannya.
"Tapi kenapa mas?"
"Sebenarnya dari jauh saya sempat ngelihat ada anak kecil yang mengapung di kolam itu. Tapi saya ga tau pasti, itu anak ibu atau bukan." ucap Putra.
"Ayo kita ke sana langsung mas. Saya udah tahu itu rumah dari siapa." balas bu Nirma dengan cepat dan tergesa-gesa.
"Tapi sebentar dulu bu." ucap Putra.
"Kenapa mas?" tanya bu Nirma bingung.
"Sebenarnya secara ghoib saya gak bisa nembus rumah itu tadinya. Rumah itu dikelilingi penghalang yang berbentuk kabut hitam. Feeling saya, kalau saya masuk, bisa-bisa saya terjebak dan tersesat ga bisa balik ke dalam tubuh saya nantinya. Makanya saya bahkan ga mau masuk ke taman yang ada di luar rumahnya, jadi saya cuma bisa ngeliat dari kejauhan aja bu." jelas Putra.
"Saya tidak peduli ada bahaya apapun di sana mas… yang penting anak saya ketemu dulu. Gapapa kalau masnya ga mau ikut." balas bu Nirma dengan mata yang berkaca-kaca lalu dia bergegas pergi masuk ke dalam mobil.
Aku menepuk pundak Putra pelan, "Udah Put… kita coba ke sana aja dulu." ucapku karena tak tega melihat keadaan bu Nirma.
Putra menghela nafas dalam-dalam, lalu perlahan membalas perkataanku, "Yaudah Ram… tapi setelah ini kayaknya kita harus ngundurin diri dari kasus ini."
Aku mengangguk pelan "Gw ngikut lo aja Put." balasku singkat.
Setelahnya, kami pun akhirnya mengikuti mobil bu Nirma dari belakang. Hingga sampailah kami di suatu lokasi yang sangat sepi dan jarang dilewati oleh orang ataupun kendaraan.
Saat aku mengaktifkan mata ketigaku, apa yang dikatakan oleh Putra ternyata benar. Persis tepat di depan gerbang, ada kabut hitam yang menyelimuti semua area itu.
Kami bertiga pun berdiri di depan gerbang besar itu seraya mengamati keadaan sekitar. Tapi yang ada hanyalah keheningan dan rasa tak nyaman yang menyelimuti perasaan dan tubuh kami bertiga. Rasanya seperti ada sesuatu yang tak terlihat yang sedang mengintai kami.
"Ini rumah teman yang mengajak saya pesugihan mas…" ucap bu Nirma pelan.
"…." aku dan Putra terdiam sejenak, sepertinya kami sama-sama merasakan ketegangan situasi ini, sebab saat ini kami sudah berada persis di depan sarang lawan.
"Jadi cara kita masuk ke dalamnya gimana bu?" tanya Putra.
"Apa kita coba manjat pagar aja mas?" usul bu Nirma.
Putra tampak ragu dan mulai menggaruk-garuk rambutnya dengan sembarangan seraya memandang pagar yang menjulang tinggi itu. Karena ragu, Putra pun lanjut menanyakan tentang situasi rumah itu untuk mencari solusi.
Sementara Putra dan bu Nirma sedang berbincang-bincang, aku merasa penasaran dan mulai mendekati pintu gerbang rumah itu. Saat aku perlahan menyentuh pintu gerbang itu, aku merasakan ada sesuatu yang aneh.
"Put….." panggilku dengan berbisik.
"Kenapa Ram?" tanya Putra bingung.
"Gerbangnya gak dikunci…" ucapku sambil mendorong gerbang itu dengan pelan.
Putra dan bu Nirma pun tampak heran dan memandang satu sama lainnya dengan bingung, seakan-akan sedang menanyakan kenapa itu bisa terjadi.
Melihat pintu gerbang yang sudah dalam keadaan terpampang lebar, Bu Nirma langsung masuk ke dalam rumah itu dengan cepat. Aku dan Putra bahkan tak sempat untuk memperingatkan bu Nirma akan kabut hitam yang kami lihat.
Mau tak mau, aku dan Putra pun spontan mengikuti bu Nirma dan menerobos masuk ke dalam kabut hitam itu. Tubuhku terasa seperti terkena air yang mendidih saat menerobos gumpalan kabut hitam tersebut. Rasanya benar-benar panas dan perih.
Setelah berhasil menembus kabut hitam itu, aku menoleh dan melihat Putra yang tampak sedang menahan rasa sakit dengan badan yang bergetar sambil memejamkan mata dan menggertakkan giginya.
Bu Nirma pun melihat kami berdua dengan tatapan aneh dan bingung, seraya bertanya-tanya mengapa ekspresi kami tampak sangat kesakitan.
"Kenapa mas?" tanya bu Nirma pelan.
"Gapapa bu…" jawab Putra lalu dia menghela nafasnya dalam-dalam.
"Tolong jangan pergi sembarangan di sini bu… tolong ikuti kami saja, soalnya tempat ini sangat berbahaya." lanjut Putra.
"Maaf mas… saya tidak sengaja." balas bu Nirma pelan dan menunduk.
Sesaat aku memandang bangunan yang ada di depan kami. Jika kuperhatikan, rumah itu persis sesuai dengan ciri-ciri rumah yang dikatakan oleh Putra.
Rumah itu tampak sangat menyeramkan, mungkin karena efek suasana yang sudah malam, beserta keadaan lampu dan listrik rumah itu yang tidak menyala. Untungnya ada sinar rembulan yang membantu menerangi rumah itu, kalau tidak, kami tidak akan bisa melihat apa-apa, sebab semuanya akan tampak gelap gulita.
Semenjak masuk lewat gerbang itu, entah kenapa aku merasakan hawa yang tidak enak, serasa ada orang yang sedang memandangiku. Tetapi saat aku berpaling dan mengecek sekitarku, aku tak menemukan apapun disana.
"Kita cek kemana dulu mas?" tanya bu Nirma berbisik.
"BBURRRRRRR!!!"
Baru saja bu Nirma bertanya, tiba-tiba terdengar suara aneh dari arah kolam yang berada di dekat pohon besar di kiri kami. Seperti ada sesuatu yang berat terjatuh ke dalam kolam itu.
Tanpa banyak tanya dan berlama-lama, kami bertiga spontan langsung berlari menuju ke arah kolam secepat mungkin. Anehnya, sesampainya disana, kami tak menemukan apapun. Air kolam yang keruh itu tampak tenang tak bergeming, hanya ada dedaunan yang mengapung diatasnya.
Kami pun hanya bisa kembali menatap satu sama lainnya atas kejadian aneh yang terjadi barusan. Kami mencoba mendekati kolam itu, mencoba mengecek apa yang ada di dalamnya.
"BBURRRRRRRRRR!!!
Kami bertiga kaget dan langsung seketika menjauh dari kolam itu. Aku tak menyangka suara itu akan muncul lagi dengan intensitas yang jauh lebih keras. Sepertinya begitu juga dengan bu Nirma yang sedang memegang dadanya dengan nafas yang terengah-engah. Ekspresinya menunjukkan rasa kaget dan ketakutan yang mendalam.
Tetapi anehnya, saat kuperhatikan lagi, kolam itu tampak sama seperti yang semula, airnya masih tampak tenang tak bergeming. Hingga beberapa saat kemudian, perlahan aku mulai menyadari, bahwa ada yang berbeda dari sebelumnya.
Ada gumpalan hitam seperti rambut yang mengapung di tengah-tengah kolam. Semakin lama, gumpalan hitam itu semakin membesar dan melebar ke semua arah.
Hingga perlahan demi perlahan, sosok yang berada di balik gumpalan rambut hitam itu akhirnya mulai menampakkan dirinya. Gumpalan rambut panjang yang ada di kolam itu perlahan mulai naik dan melayang di udara.
Begitu juga dengan sosok yang berada di baliknya, sosok seorang anak perempuan yang bertubuh mungil dengan rambut panjang yang beterbangan di udara.
Dia melayang di udara, dengan kedua mata yang tampak bolong dan mengeluarkan darah. Pakaian kuning dengan motif berbunga-bunga yang dikenakannya tampak basah kuyup dan meneteskan air terus-menerus.
Tiba-tiba seketika sosok itu menghilang dari pandangan mataku. Tetapi bukannya lega, aku malah semakin merasa ngeri dan was-was, sebab aku masih merasakan hawa kehadirannya di sekitarku.
Hingga beberapa detik kemudian, aku merasakan ada sesuatu seperti cairan yang jatuh mengenai atas kepalaku. Spontan aku memegangnya dan langsung memandang ke atas.
Sesuai dugaanku, ternyata makhluk itu sedang melayang dan memandangiku sambil tersenyum dengan menyeringai.
Bersambung….