webnovel

Penangkapan

Steven tampak sangat menikmati apa yang dilakukannya saat ini. Sebab bagiku, tingkah dan gaya bicaranya sangat mirip dengan sifat aslinya.

"Silakan dimandikan, mas Paijo." ucap Steven melirikku.

Aku meliriknya dengan heran, "Perasaan di skenario nama gw bukan itu deh." ucapku dalam hati.

Dengan terpaksa aku melangkah mengambil gayung yang ada di dalam ember lalu menyirami seluruh badan mereka bertiga dengan air kembang. Dipa dan Yudha pun tampak gemetaran seraya berusaha untuk menutupi bagian vitalnya dengan kedua tangan.

Sedangkan di sisi lain, diam-diam Putra sudah mengabadikan momen itu dengan mengambil foto mereka yang sedang telanjang bulat. Walau sekilas, dia bahkan sempat merekam mereka, supaya barang buktinya dapat lebih dipercaya.

Karena merasa barang bukti yang kami kumpulkan sudah cukup banyak, aku pun berhenti menyiram mereka. Lalu, aku pun memberikan mereka handuk untuk mengeringkan dan menutupi badan mereka.

"Sekarang boleh buka matanya." ucap Steven.

Dipa dan Yudha pun mulai membuka kedua matanya, lalu menoleh ke kiri dan kanan, seakan-akan sedang memeriksa keadaan sekitar.

"Gimana rasanya?" tanya Steven sambil tersenyum lebar.

Dipa dan Yudha saling melirik satu sama lain, "Rasanya segar mbah..." jawab mereka bersamaan.

"Syukur deh, padahal air yang kalian pake itu dari got." ucap Steven datar.

Mata mereka pun langsung membelalak seketika. Mereka tampak terkejut akan apa yang barusan dikatakan oleh Steven.

"Hahahahaha.... saya bercanda saja kok." ucap Steven sambil tertawa terbahak-bahak.

Mereka berdua pun tampak lega setelah mendengar ucapan Steven. Walau tak bisa dipungkiri, bahwa mereka pasti memendam rasa kesal terhadap dukun itu. Jika mereka sampai tau bahwa Steven adalah dukun palsu, mungkin mereka akan langsung membunuh Steven saat itu juga.

Steven menoleh dan mengangguk ke Putra, sebagai tanda untuk melanjutkan proses selanjutnya.

Putra lalu menyerahkan dua bungkusan kain warna putih yang berukuran lumayan kecil ke Steven.

"Kalian boleh bawa ini pulang." ucap Steven lalu memberikannya kepada Dipa dan Yudha.

"Bagas gak perlu lagi, kemarin sudah saya kasih." tambah Steven.

Dipa dan Yudha pun menerima bungkusan itu dengan raut wajah yang senang dan berbahagia. Sepertinya mereka berpikir, bahwa apa yang diberikan Steven itu adalah jimat untuk menangkal makhluk halus yang menyerang mereka.

Padahal isinya itu hanyalah batu akik gratisan yang tidak terpakai dari pemberian teman Putra, selaku pedagang cincin batu akik.

"Jangan dibuka dulu. Nanti bukanya kalau udah sampai di rumah." perintah Steven. "Dan yang paling penting, jangan sampai hilang." ucap Steven memperingatkan.

"Iya mbah..." jawab Dipa dan Yudha.

"Nanti uangnya titipin ke Bagas saja ya." ucap Steven.

"Kira-kira nominalnya berapa ya mbah?" tanya Dipa dengan hati-hati.

"Seikhlasnya kamu saja." jawab Steven sambil menatap mereka dengan senyuman menyeringai.

Dipa dan Yudha pun bergidik akibat tatapan dari Steven.

"Kalian boleh pulang sekarang." ucap Steven sambil mengangguk pelan.

"Makasih banyak mbah..." balas Dipa dan Yudha sambil menunduk.

Dipa, Yudha dan Bagas pun pergi dari lokasi secepat mungkin, sepertinya Dipa dan Yudha sudah jera berurusan dengan Steven.

"Gimana akting gw Ram? Mantap kan?" tanya Steven dengan pedenya.

Aku mengangguk sambil tersenyum, "Tapi kenapa lo pake nolak segala kemarin?" tanyaku dengan kesal.

"Ya namanya aktor terkenal, harus jual mahal dong bro." jawab Steven sambil tertawa kecil.

Aku hanya bisa menggelengkan kepalaku saat mendengar responnya.

"Rekaman suara di dalem udah dicek belom?" tanya Putra.

"Oh iya..." ucapku sambil menepuk dahi.

Kami bertiga langsung pergi ke dalam ruangan untuk mengecek rekaman suara yang dari tadi masih berjalan.

Setelah mengecek semua rekaman dan foto. Aku memutuskan untuk memanggil David untuk datang.

Sekitar satu jam kemudian, David pun sampai di kediaman Putra.

"Gimana, berhasil gak rencananya?" tanya Putra penasaran.

Aku mengangguk, "Ini semua hasil rekamannya... selanjutnya tugas lo buat nyampein ke bokap lo." ucapku.

David diam sejenak, "Gw harus ngomong gimana ya... bokap pasti marah besar kalau tau adik gw dirusak sama anak orang."ucap David lesu.

"Mau gak mau lo emang harus nyampein ke bokap lo. Kalo nggak, semua yang kita lakuin sekarang bakal sia-sia." balasku sambil menepuk pundaknya.

David menghela nafasnya dalam-dalam lalu menatapku, "Makasih banyak Ram." ucapnya dengan tulus.

Aku mengangguk, "Sama-sama." balasku sambil tersenyum kecil.

Beberapa hari kemudian, David menelponku, untuk datang ke kantor polisi. Aku dan Steven pun langsung bergegas berangkat ke lokasi. Sesampainya disana, aku melihat David sedang berbincang-bincang dengan beberapa orang yang memakai jaket kulit.

"Udah waktunya kita datang ke rumah mereka Ram." ucap David.

Hari yang kutunggu-tunggu akhirnya tiba. Sudah saatnya untuk menangkap mereka berdua dan mengakhiri semua permasalahan ini.

"Yuk, berangkat..." ucap David lalu pamit kepada Ayahnya.

Ayah David menatapku dengan ekspresi wajah yang malu bercampur rasa bersalah. Sepertinya dia tidak menyangka bahwa aku adalah orang yang membantu David.

Sementara itu, aku hanya mengangguk dengan sopan kepada Ayah David. Lalu kami semua pun pergi menuju rumah Dipa terlebih dahulu. Sesampainya disana, salah satu polisi yang sedang menyamar mencoba untuk membunyikan bel rumah Dipa. Sedangkan kami semua menunggu di mobil, menunggu aba-aba dari polisi itu.

Setelah beberapa saat, seorang wanita yang tampak cukup tua membuka pintu rumah lalu berbincang-bincang dengan polisi itu. Tak lama kemudian, muncul Dipa dengan pakaian rumahan yang santai. Dia kelihatan bingung saat berbicara dengan polisi itu, karena pastinya dia tidak mengenalnya sama sekali.

Tiba-tiba Polisi itu langsung membekuk tubuh Dipa ke lantai. Begitu juga dengan polisi lainnya yang mulai berlarian dari mobil menuju rumah Dipa.

"Santai dong woi! Jangan main fisik dong!" teriak Dipa tak terima dan berusaha memberontak.

"Eh.. ini ada apa pak." ucap wanita itu panik. "Tolong... tolong..." teriak wanita itu sambil berusaha membantu Dipa untuk melepaskan bekukannya.

"Anak ibu tersangka atas pemerkosaan. Jadi mohon kerjasamanya untuk tidak mengganggu tugas kami bu." ucap polisi yang menyamar.

Mendengar penjelasan polisi itu membuat Dipa terdiam seketika. Matanya sampai membelalak saking kagetnya.

"Buktinya mana pak? Bapak dapat perintah dari siapa? Ada izinnya tidak?" tanya wanita itu dengan histeris, "Jangan macam-macam sama saya loh pak." ancamnya.

"Nanti bisa kami jelaskan lebih detail lagi di kantor polisi bu. Sekarang anak ibu akan kami bawa terlebih dahulu, mohon kerjasamanya." balas polisi itu dengan tegas.

Wanita itu masih tidak mau menyerah dan berusaha untuk melepaskan bekukan Dipa sekuat tenaganya. Tapi apadaya, dia tidak bisa berbuat apa-apa sebab sudah dihalau oleh beberapa polisi lainnya.

"Kami permisi dulu bu." ucap polisi itu lalu pergi meninggalkan lokasi.

Untuk menjaga agar penghuni rumah ini tidak memberi kabar kepada Yudha, beberapa polisi tetap tinggal untuk memantau semua penghuni rumah itu.

Kami langsung bergegas pergi menuju lokasi rumah Yudha secepat mungkin. Untungnya aku berada di mobil yang berbeda dari Dipa, jadi dia tak akan mengetahui eksistensiku yang selama ini telah mempermainkannya.

Jika dia tau, aku hanya khawatir akan balas dendamnya yang bisa berimbas kepada keluargaku atau orang terdekatku. Jadi lebih baik aku tetap bersembunyi dan meminimalisir kemungkinan terburuk yang akan terjadi.

Sekitar dua puluh menit kemudian, akhirnya kami sampai di depan rumah Yudha. Rumah Yudha bisa dibilang jauh lebih kecil dibandingkan rumah Dipa. Bahkan lingkungannya saja tampak sangat berbeda drastis.

Kalau Dipa tinggal di kompleks lingkungan orang yang kaya dan berada, maka Yudha bisa dibilang tinggal di lingkungan orang dengan ekonomi menengah ke bawah.

Masih dengan teknik yang sama, polisi yang sama menggedor pintu rumah dari Yudha. Beberapa saat kemudian, tampak seorang wanita yang tidak asing membuka pintu rumahnya. Semakin lama kuperhatikan, aku merasa wanita bertemu dengan wanita itu disuatu tempat.

Aku memejamkan mataku sesaat, mencoba untuk menjelajahi memoriku sedalam mungkin. Hingga akhirnya, aku mengingat sebuah cafe, tempat dimana saat aku dan Putra bertemu untuk pertama kalinya.

"Bukannya dia cewek yang gak sengaja gw mintain nomornya ya?" tanyaku dalam hati.

Aku pun bertanya-tanya dalam hatiku, apa sebenarnya dia punya hubungan keluarga dengan Yudha. Aku tak menyangka akan bertemu dengannya lagi dalam situasi yang buruk seperti ini.

Tak lama kemudian, Yudha muncul dengan penampilan yang acak-acakan, sambil mengusap-usap matanya. Sepertinya dia baru saja bangun dari tidurnya.

Tetapi nasib Yudha juga berakhir sama dengan Dipa. Baru beberapa detik saja muncul ke permukaan, polisi itu langsung membekuk tubuhnya ke lantai.

Orang-orang juga mulai beramai-ramai datang menyaksikan kejadian itu, suara kegaduhan masyarakat sekitar pun mengiringi prosesi penangkapan itu.

"Arghhhhh." teriak Yudha kesakitan, karena tubuhnya dibanting ke lantai.

"Ada apa ini pak? Kok kakak saya digituin?" tanya Nadia panik.

"Kakak anda sudah ditetapkan sebagai tersangka pemerkosaan." jawab polisi itu dengan tegas.

Nadia tampak shock mendengar jawabannya.

"Itu bohong kan kak?" tanya Nadia dengan ekspresi yang seakan-akan tidak percaya.

Yudha hanya diam, tak membalas ucapan Nadia. Dia hanya menunduk, berusaha memalingkan wajahnya dari tatapan mata Nadia.

"Nanti anda bisa datang ke kantor polisi langsung untuk kejelasannya." ucap polisi itu, lalu menyeret Yudha bersama beberapa polisi lainnya ke dalam mobil.

Badan Nadia terhuyung lemas dan akhirnya terjatuh ke lantai. Dia menggeleng-gelengkan kepalanya, layaknya tak percaya akan tuduhan yang diajukan kepada kakaknya.

Aku hanya bisa menghela nafas dalam-dalam, sebenarnya aku tak tega melihat keadaan Nadia. Tapi mau bagaimana lagi, semua ini adalah hukuman yang memang seharusnya diterima kakaknya.

Setelah penangkapan itu akhirnya berhasil dilakukan, kami langsung kembali menuju kantor polisi. Mereka berdua pun diinterogasi sebelum dimasukkan ke dalam sel tahanan.

Tapi tak lama kemudian, kedua orangtua Dipa pun muncul di kantor polisi.

"Anak saya ada dimana?" tanya Ayah Dipa dengan nada yang dingin.

"Sebentar ya pak, anak bapak sedang ditanyai hal-hal yang berkaitan dengan kasusnya." jawab salah satu polisi yang bertugas.

"Saya mau tau, siapa orang yang sudah melaporkan anak saya?" tanya Ayah Dipa sambil melirik satu persatu orang yang berada disana.

"Maaf pak, lebih jelasnya nanti dijelaskan oleh atasan saya." jawab polisi itu dengan ramah.

"Cepat panggil atasan kamu! Saya mau tau sekarang juga!" bentak Ayah Dipa.

"Saya yang melaporkannya." ucap Ayah David yang tiba-tiba muncul dari ruangan sebelah.

"Oh... rupanya kamu ya. Kamu punya masalah apa sama saya?" tanya Ayah Dipa dengan lantang.

"Bukan masalah saya dengan anda. Tetapi ini masalah anak anda yang sangat bejat." jawab Ayah David dengan suara yang tak kalah keras.

"Kalau anak saya memang salah, mana buktinya?" tanya Ayah Dipa.

Ayah David memberi kode kepada bawahannya. Tanpa basa-basi, salah satu polisi itu langsung memutar rekaman suara dari percakapan Dipa dengan Steven.

Steven : Kalian mau ngaku atau tidak.

Dipa & Yudha : *Diam*

Steven : *Suara belati menancap di meja* Saya tidak mau mempertaruhkan nyawa saya, untuk orang-orang yang tidak tulus.

Steven : Kalian boleh keluar sekarang.

Dipa : Kami bersetubuh sama adiknya yang mengancam kami mbah.

Steven : Cuma satu itu aja?

Steven : Coba bohong lagi... biar tak kepruk ndasmu!

Dipa & Yudha : Maaf mbah...

Steven : Saya kasih kesempatan terakhir, kalau masih tidak mau jujur, kalian keluar saja dari sini.

Yudha : Ada beberapa cewek mbah.

Steven : Yang kalian ancam dan perkosa ya?

Steven : Iya atau tidak!

Dipa & Yudha : I...iya...mbah...

Mendengar percakapan itu, membuat wajah Ayah Dipa memerah karena mencoba menahan emosi amarah yang hampir meletus.

"Masih kurang jelas?" tanya Ayah David sambil menunjukkan foto Dipa dan Yudha saat sedang menghadap wajah Steven yang diblur.

Tanpa mengucapkan sepatah katapun, Ayah Dipa langsung pergi keluar dari kantor polisi bersama istrinya yang sudah berlinangan air mata.

Aku akhirnya dapat menghela nafasku dengan lega. Sepertinya rencana yang kususun telah berhasil dengan sempurna, pikirku.

Aku, Steven dan David pun spontan merangkul satu sama lainnya. Kami dapat merasakan kebahagiaan, karena perjuangan yang kami lakukan ternyata tidak sia-sia.

Tetapi tak ada gading yang tak retak. Rencana yang sudah kuanggap berjalan sempurna, ternyata tidak berjalan sesuai dengan ekspektasiku.

Sebab beberapa hari setelah Dipa dan Yudha ditahan, David tiba-tiba menelponku dengan suara yang panik.

"Dipa sama Yudha dibebasin Ram." ucapnya tergesa-gesa.

Bersambung...

Chapitre suivant