webnovel

Serangan Balasan

***

Gerbang Ibukota Liviel akhirnya hancur setelah pertempuran panjang dan melelahkan. Trebuchet milik Evan segera bergerak maju mendekati tembok untuk bisa mencapai area serangan ke Istana Raja Alexandre.

Sekitar 1000 pasukan berpedang masuk ibukota dan menebas siapa saja yang berani melawan mereka. Terlihat mereka juga melakukan pembersihan di area atas tembok ibukota, menyingkirkan perlawanan yang mungkin akan merepotkan para Engineer trebuchet.

Sekitar 1500 pasukan berada di belakang Evan, mereka terbagi menjadi beberapa pasukan, mulai dari pasukan berkuda, pemanah, penyihir, hingga paramedis.

Tampak Laurentia keluar dari dalam tenda; berjalan menghampiri Evan yang tengah menyaksikan mahakarya pasukannya yang mengganas.

"Ada apa?" tanya Evan, dingin.

"Para bangsawan itu. Mereka menyetujui semua usulan yang kita ajukan," ungkap Laurentia, mendengar berita itu membuat Evan tersenyum bahagia, apa yang ia harapkan tampaknya bisa terwujud.

"Baguslah kalau begitu. Persiapkan kereta kuda, bawa mereka bersama kita untuk pergi menemui Raja," pinta Evan, Laurentia mengangguk dan segera berbalik badan untuk melangkah kembali ke tenda bangsawan.

Hari semakin panas, akan sangat tidak menguntungkan jika melakukan penyerangan di waktu siang terik ketika matahari tepat berada di atas ubun-ubun kepala. Evan menyadari satu kelemahan yang dimiliki oleh pasukannya, yaitu stamina.

Segera pemuda itu mengangkat tangannya tinggi-tinggi dengan isyarat mengepalkan tangan, tanda untuk semua pasukan berhenti menyerang. Salah satu komandan pasukan pedang datang menghampiri Evan dan bertanya maksud dari perintah tersebut.

Evan sadar kalau pasukan istana sudah tak bersisa, kini, hanya warga ibukota saja yang menjadi relawan perang istana untuk menghalang laju pasukan Evan.

"Kembali ke formasi, pasukan istana sudah tak bersisa," ungkap Evan, tegas.

"Tapi kita bisa menghabisi semua orang di sana," jelas komandan berpedang tak setuju.

"Apa kau akan membunuh orang tak bersalah?! Orang yang bahkan tidak tahu apa pun tentang perseteruan ini, apa kau akan membunuhnya?!" bentak Evan, tak suka kalau bawahannya membanta perintahnya.

"T-Tentu saja tidak."

"Kalau begitu tarik mundur pasukanmu, kuasai front depan ibukota termasuk gerbang dan temboknya. Kita akan membiarkan warga Liviel untuk mengungsi ke istana," ungkap Evan, komandan pasukan pedang itu mengiyakan dan pergi menuju anggotanya yang masih mengangkat pedang.

Tiba-tiba segerombol pasukan berkuda datang ke kamp Evan. Ia mengenali seragam militer yang dikenakan oleh ketiga pasukan berkuda tersebut, salah satu dari mereka memegang bendera Kuda Putih.

Tak dapat dipungkiri kalau ketiganya adalah pasukan pengintai, mereka tampaknya datang memberi pesan kepada Evan tentang pertempuran di Kota Alysium.

Mereka segera turun dari kudanya masing-masing dan langsung mengambil sikap berjongkok di hadapan Evan, salah satu pria memberikan Evan pesan yang berada dalam gulungan kertas yang terikat rapi oleh benang merah.

"Kalian berasal dari pasukan di utara?" tanya Evan, membuta ikatan pita di gulungan kertas tersebut.

"Benar, Tuan Evan."

Pemuda itu segera membuka gulungan tersebut dan membacanya dalam hati. Isi pesan mengatakan kalau pasukan utara sudah berada di depan gerbang ibukota sebelah utara.

Mereka mengatakan kalau pertahanan di gerbang utara jauh lebih rapuh dibandingkan gerbang selatan, sehingga pasukan akan mudah menaklukan gerbang utara dengan jumlah pasukan yang hampir sebanding dengan pasukan di gerbang selatan.

"Jika memang di sana masih terdapat pasukan yang menjaga gerbang, maka kalian perlu menaklukannya untuk mempermudah kita memobilisasi pasukan ke dalam istana," jelas Evan, kembali menggulung kertas yang ia genggam.

"Baiklah, akan kami sampaikan kepada komandan pasukan kami," ucap pria tersebut, berpamitan seraya pergi menaiki kuda itu kembali ke gerbang utara.

Ketika Evan tengah menyaksikan kepergian ketiga pasukan berkuda ke utara, tiba-tiba pasukan yang berada di dalam ibukota banyak terpental ke luar gerbang, beberapa dari mereka mengalami patah tulang hingga tak mampu untuk berdiri.

Terasa getaran yang cukup dahsyat menerjang pasukan Evan, kuda-kuda tak hentinya memberontak hingga menyebabkan mereka menginjak tuannya. Laurentia berjalan ke luar dan mendapati keanehan terjadi.

"Mereka bersikap aneh," ucap Laurentia, memerhatikan kuda-kuda pasukannya banyak yang mengamuk.

"Ini adalah sihir."

"Sihir? Sihir apa yang mampu membuat kuda-kuda itu berlarian dan membunuh pasukan kita?" tanya Laurentia, cemas.

"Kemungkinan angin, penyihir kerajaan sudah memasukan racun tertentu di angin yang mereka hembuskan," jelas Evan, menduga-duga hal yang belum pasti.

"Racun? Jika begitu, maka kita juga terkena racun tersebut?" tanya Laurentia.

"Aku belum bisa memastikannya. Yang terpenting selamatkan para pasukan yang terluka di sana," ungkap Evan.

Laurentia mengangguk, ia segera memerintahkan komandan paramedis untuk pergi menyelamatkan nyawa para pasukannya yang hampir kocar kacir karena serangan dari dalam istana.

"Serangan itu, bukan berasal dari penyihir biasa," jelas salah satu pasukan yang dibopong masuk ke tenda medis untuk dirawat.

"Aku tahu itu," ucap Evan, berjalan mendekati gerbang ibukota dan melihat pria yang menjadi tersangka utama dalam penyerangan kilat tadi.

Altair terlihat berjalan seorang diri di jalan utama ibukota, tepatnya di antara rumah-rumah yang terbakar akibat serangan dari pasukan Evan. Pria itu berjalan mendekati Evan dengan tetap memegang tongkat sihir yang tak asing di mata Evan. Benar! Itu adalah tongkat sihir pemberian dari Jophiel.

Jumlah pasukan yang tak mampu berdiri akibat serangan Altair berjumlah 143 orang, mereka masih terjebak di dalam dan berusaha merangkak keluar ibukota.

Altair menjulurkan tongkat sihir miliknya ke depan, seketika api muncul dari ujung tongkat dan membakar semua hal yang ada di depannya. Kemampuan mengeluarkan sihir tanpa mantra memang menakjubkan.

"Wall of Stone!"

Seketika batu keras terbentuk di depan Evan, memanjang hingga lima meter mencegah api itu membakar tubuhnya. Evan bisa merasakan kekuatan luar biasa yang dimiliki Altair hingga mampu membakar apa pun selain tembok buatan Evan.

Cukup lama membakar, akhirnya api itu mulai mereda di sekitaran Evan. Terlihat mayat-mayat pasukannya bergelimpangan di jalan dengan keadaan tubuh yang menghitam gosong terbakar.

"Kau tidak sebanding dengan kekuatanku," ucap Altair.

"Kemarilah dan serang aku."

Tak terduga, tak hanya mengeluarkan sihir, tetapi ia juga mampu menggunakan sihir untuk kemampuan penguatan di berbagai tubuhnya.

Kaki-kakinya menyala dan seketika lari pria itu menjadi lebih kencang dari sebelumnya, Evan yang tak sigap menerima pukulan dan tendangan dari pria tersebut.

Tubuh pemuda itu terpental hingga membentur dinding ibukota, menyebabkan cetakan bundar tercipta karena benturan tersebut.

"Wind Gate!"

Serangan Altair tertahan oleh selubung angin yang mengelilingi tubuh Evan, melindunginya dari serangan apa pun.

Api mulai mengerubungi angin pelindung Evan, menyebabkan udara tiba-tiba menghangat di pusaran angin dan memaksa Evan keluar dari tempat perlindungannya.

"Kau bodoh!"

Dengan kecepatannya, mudah bagi Altair untuk menyeimbangkan kekuatanya dengan kekuatan Evan. Kini, pria itu sudah berada di hadapan Evan seraya tongkatnya terjulur hingga menyentuh dada kiri pemuda tersebut.

Evan panik, bola tongkat mulai berubah warna dan ia menduga kalau Altair akan mengeluarkan sihir api untuk membunuhnya.

"Amplifi Elementum!" Segera Evan mengarahkan sihirnya untuk berkumpul di dada sebelah kiri, memusatkan sihirnya ke tempat itu mencegah serangan Altair tembus dadanya.

Ia bisa saja menghindar, tetapi serangan Altair akan membahayakan pasukan di belakangnya yang tengah mundur. Satu-satunya jalan adalah menahannya sebisa yang Evan mampu.

"APA KAU PIKIR SIHIR RENDAHAN ITU BISA MENAHAN SERANGANKU?!" teriak Altair, tak biasanya.

"Lakukanlah jika kau berani, Bajingan!"

Seketika Evan merasakan dadanya seperti terpukul dengan keras, ia terpental jauh hingga jatuh di atas tanah dengan keadaan pakaian di daerah dada kirinya terbakar.

Efek sihir yang besar menyebabkan ledakan besar yang menghancurkan daerah di sekitarnya, Altair terpanting jauh mengalami dampak yang sama dari ledakan tersebut.

Keduanya benar-benar terpanggang, Evan mengalami luka bakar, begitu juga sama seperti Altair. Laurentia tiba menghampiri Evan dan segera menyembuhkan luka atasannya tersebut dengan mantra sihir.

"Mundurlah ... pertarungan di sini akan semakin berbahaya," ungkap Evan.

Wajah sebelah kirinya terbakar, hanya saja mata sebelah kiri Evan tidak mampu ia gunakan lagi karena dampak serangan tadi. Ia harus bersyukur, organ dalamnya masih selamat akibat serangan tadi.

"Bagaimana aku bisa mundur ... keadaanmu begitu mengkhawatirkan."

Laurentia menangis melihat keadaan Evan yang jauh dari yang dibayangkan. Luka bakarnya akan menjadi kecacatan permanen, hampir di tubuh bagian kirinya terbakar sehingga butuh perawatan ekstra.

Evan mencoba bangkit dari posisi telentang, melihat Altair yang merasakan dampak yang sama dari pertempuran tersebut. Ia tengah diangkat untuk dibawa pergi berobat ke dalam istana bersama Sophie.

Kini, Maximillian ke-7 berdiri di depan gerbang. Pemuda Ksatria Agung itu akan menjadi lawan pasukan Evan yang terlihat tak percaya diri setelah pemimpin mereka jatuh sekarat.

"Pertunjukan yang bagus. Kini, sudahi semuanya!" pinta Ksatria Agung, kasar.

Laurentia menjaga Evan dan mengacungkan pedang miliknya untuk bertarung dengan Ksatria Agung. Pertarungan antara tombak dengan pedang, sesuatu yang bahkan tidak sebanding untuk dilakukan.

"APA YANG KALIAN LAKUKAN?!" teriak Laurentia, kecewa melihat moral pasukannya yang jatuh.

"Evan mengorbankan tubuhnya untuk melawan penyihir hebat di kerajaan. Apa kalian tidak bersemangat karena itu?!" sambung Laurentia.

Seketika raungan semangat para pasukan Evan mulai menggema, mereka kembali bersemangat dan mulai melancarkan serangan kepada Maximilian ke-7.

"Dengan senang hati akan kuladeni semua keinginan kalian!"

Aletha tiba, ia bersama pasukan medis membawa Evan pergi menjauhi pertempuran. Wanita itu tak kuasa menahan tangis melihat keadaan Evan yang terbilang cukup parah.

"Kumohon ... hentikan perang ini atau...," tangis Aletha tersedu-sedu.

Evan memegang tangan Aletha seraya tersenyum dengan keadaannya yang tak baik-baik saja.

"Aku baik-baik saja. Kau tidak perlu mengkhawatirkan musuhmu ini."

Creation is hard, cheer me up!

Like it ? Add to library!

Rafaiir_creators' thoughts
Chapitre suivant