webnovel

TRIGONOMETRI

Eaaakk... eaakk... eaaakk...

Suara tangisan 3 bayi mungil yang berada di dalam sebuah keranjang rotan saling bersahutan di depan pintu sebuah panti asuhan. Pengasuh panti yang baru bangun tidur pun keluar untuk memastikan keadaan.

Dibukanya pintu kayu tersebut oleh seorang wanita paruh baya yang biasa disebut 'Ibu Panti'.

"Astaga! Kenapa ada 3 bayi mungil yang tersesat di sini? Siapa pemiliknya?" tanya Ibu Panti pada dirinya sendiri.

Di atas keranjang rotan itu terdapat secarik kertas berisi pesan yang dituliskan oleh ibu sang bayi. Dibacanya pesan tersebut oleh bu Mega, ibu panti asuhan. Dilihatnya sekeliling panti berharap menemukan sang ibu dari 3 bayi itu yang berada tidak jauh dari panti setelah meninggalkan 3 anaknya tersebut. Namun ternyata tidak ada seorang pun yang melintas.

"Siapa itu, Bu?" tanya Reren, anak tertua di panti itu.

"Oh kau sudah bangun ternyata. Ini adik barumu. Mereka sangat lucu, bukan?" jawab bu Mega mengenalkan anak yang baru ditemuinya barusan.

"Waahh... gemasnya..."

Tak henti-hentinya Reren mencubit pipi dan mengelus ketiga bayi yang sedari tadi menangis.

Letak panti asuhan yang agak jauh dari desa dan justru dekat dengan hutan pun seakan menambah kesan seram siapa pun yang baru pertama kali bekerja di panti tersebut tatkala mendengar suara bayi menangis. Lain halnya dengan bu Mega.

Bu Mega sudah terbiasa dengan keadaan itu dan kerap kali ia menerima bayi yang telah dibuang oleh orang tuanya. Baik itu waktu pagi, siang, atau malam bu Mega pernah mendengar suara tangisan bayi tak dikenalnya dan tak merasa ketakutan. Tak ayal sampai sekarang hanya dialah yang rela mengurus anak-anak itu hingga besar dan mandiri.

"Hari sudah pagi. Sebaiknya aku bawa masuk ketiga anak manis ini ke dalam dan menghangatkannya," pikir Bu Mega.

"Baiklah, Reren. Ayo masuk! Kamu juga bangunkanlah 3 adikmu yang masih tidur itu," ucap bu Mega.

Reren pun dengan sigap langsung menuruti apa yang diperintahkan bu Mega.

"Siapa sebenarnya bayi kembar 3 ini? Sepertinya mereka bertiga anak-anak yang menarik," batin bu Mega seraya tersenyum.

Waktu demi waktu terus berjalan, sampailah saat ketiga bayi tersebut tumbuh besar dan menjadi anak-anak yang aktif nan lucu. Mereka bertiga sekarang berusia 12 tahun.

Seiring berjalannya waktu, bu Mega menyadari kalau ternyata ada berbagai keanehan pasca datangnya ketiga bayi kembar itu. Ketiga bayi kembar yang terdiri dari 1 anak laki-laki dan 2 anak perempuan itu sangat ajaib. Kedua anak perempuan itu sangat pandai menggunakan sihir. Sedang si anak laki-laki tidak bisa menggunakan sihir dan hanya mengandalkan kekuatan fisiknya.

Udara segar di pagi hari sungguh terasa nikmat sekali. Angin sepoi-sepoi yang membuat dedaunan melambai seakan menyapa berbagai makhluk hidup. Cahaya mentari yang nongol di ufuk timur juga menghangatkan para makhluk selepas dinginnya malam.

Anak-anak asuh di panti itu kini tengah bermain di halaman depan panti. Tempat hijau dipenuhi rumput yang tidak terlalu luas yang biasanya sering dipakai anak-anak bermain sehabis sarapan. Hari itu pun demikian.

"Trigonometri!!" panggil bu Mega dari pintu masuk panti pada ketiga anak yang tengah bermain bersama yang lain di halaman panti saat itu.

Mereka yang tak lain dan tak bukan yakni 3 bayi yang bu Mega temui di depan pintu 12 tahun yang lalu. 2 anak perempuan yang masing-masing berambut hitam pekat dan putih bersih serta anak lelaki yang warna rambutnya setengah hitam dan setengahnya lagi putih pun segera menghadap bu Mega. Meski begitu, salah satu dari mereka yaitu si anak perempuan berambut hitam pekat terasa malas saat dipanggil bu Mega. Ia pun berjalan santai sedang 2 saudara kembarnya berlari cepat.

"Palingan cuma diperintah untuk mengerjakan sesuatu," keluh si anak perempuan berambut hitam.

Melihat hal itu, si anak perempuan berambut putih menghentikan langkah kakinya dan kembali ke belakang untuk menarik lengan saudaranya.

"Hei, Tan! Ayo, cepatlah!" ajak si anak perempuan berambut putih.

"Eh, eh,"

"Sintri, Gonocos, Tan Metri, sepertinya hari ini jadwalnya kalian. Tolong carikan kayu bakar yang banyak, ya. Hati-hati saat di hutan. Jangan lupa kembali saat sudah waktunya makan siang," kata bu Mega disertai senyum ramah.

"Baik, Bu!"

Seperti yang telah disepakati, setiap anak di panti asuhan bu Mega yang berusia 9 tahun ke atas mendapatkan kewajiban membantu bu Mega dalam mengurus panti asuhan itu seraya berlatih hidup mandiri.

Setelah itu, Bu Mega kembali masuk ke dalam panti untuk memulai rutinitasnya yakni mengerjakan semua pekerjaan rumah layaknya ibu rumah tangga. Sedang Sintri, Gonocos, dan Tan Metri langsung berangkat menuju hutan dekat panti untuk mencari kayu bakar.

"Huhh... malas sekali kalau disuruh seperti ini. Bukannya yang beginian itu tugasnya anak laki-laki saja, ya?" gerutu Tan Metri saat dalam perjalanan.

"Tenang, Tan! Kan di sini ada aku! Aku pasti akan membawakan kayu bakar yang banyak untuk panti kita! Jadi kamu besok-besok tidak perlu repot mencari kayu bakar lagi!" kata Gonocos, anak laki-laki dalam 3 saudara kembar itu. Ia jugalah yang membawa keranjang untuk mengisi dan membawa kayu-kayu yang didapatkan nantinya.

"Bagus itu, Gonocos! Kamu pasti bisa dengan mengerahkan kekuatanmu," ujar Sintri, anak perempuan berambut putih.

Tan Metri hanya menatap Gonocos dengan sinis.

"Bisa apa kau tanpa menggunakan sihir? Tenagamu hanya akan terkuras saja untuk hal yang sia-sia," sindir Tan Metri.

Sintri yang mendengar hal itu langsung menginjak kaki Tan Metri dan memberinya tatapan tajam seakan memerintahkan untuk diam.

"Oh tidak begitu kok, Gonocos. Meski kau memang tidak mempunyai keahlian sihir, tapi tubuhmu kan sangat kuat dan aku yakin kamu sangat bisa diandalkan!" hibur Sintri.

"Heleh! Sudahlah! Lagi pula dia tak akan semarah itu kalau aku mengatakan kenyataannya, bukan?"

"Betul apa yang diucapkan Tan Metri! Aku memang tidak akan marah kalau cuma sebatas hal itu. Aku hanya perlu menjadi lebih kuat lagi untuk membuktikan kalau aku bisa melindungi kalian berdua sebagai seorang saudara laki-laki," kata Gonocos.

"Yah! Aku percaya padamu, Gonocos!" tegas Sintri sambil tersenyum.

"Sudahlah, ayo kita segera mencari kayu bakar itu," ajak Tan Metri.

Tak lama setelah itu, saat mereka bertiga tengah duduk santai melepas penat sehabis memunguti kayu bakar, terdengar suara ledakan yang berasal dari panti asuhan. Setelah bunyi ledekan itu berhenti, banyak asap menggumpal di langit. Mereka bertiga pun terkejut dengan hal itu dan segera berlari kembali ke panti. Keranjang yang berisi penuh dengan kayu itu mereka tinggalkan begitu saja.

"Oh, yes! Tepat sasaran!" gumam seorang yang berada sangat jauh dari panti.

Chapitre suivant