webnovel

Teka-Teki

Papa Dandi yang berangkat lebih dulu sebelum semua terbangun tentunya membuat rasa curiga bagi lainnya yang selalu menyamai dirinya untuk merebutkan semangat pagi dari suasana sekitar, ia tak pernah menyangka jika tiba saja di bawah keset depan rumah telah meninggalkan beberapa bercak darah yang juga tertutup menggunkan gundukan pasir.

"Aku tidak percaya jika ada bercak darah dalam rumah? Terus papa berangkat secara buru-buru, apa ini maksudnya? Atau jangan-jangan karena misterius itu ya? Entahlah, pokoknya hari ini aku harus bisa kembali mendekati Rindu, gak sabar banget bisa memilikinya. Kalau aku jadi pria beprestasi, gimana ya? Apa dia masih berani menolak? Tahu deh, pokoknya hari ini aku harus mendekati dan terus mendekatinya."

Berangkat sekolah tanpa berpamitan harus dijalankan sebelum terlambat menjemput Rindu, mobil yang tiba-tiba mogok di tengah jalan membuatnya semakin pening. Disaat itulah di mobil juga ada sebuah tongkat berdarah membuatnya semakin bertanya-tanya, Randu yang sok cuek itu menghubungi orang bengkel langganan papa Dandi dan tak lama dibetulkan.

Saat tiba di depan pekarangan rumah Rindu lagi-lagi menjumpai darah, tetapi kali ini malah justru menemukannya di kerah baju. Mereka yang masuk ke dalam mobil hanya Randu lah yang melihat bercak darah tersebut, saking tak percayanya sesampai di sekolah ia meminta tolong dengan sahabatnya untuk melihat bercak darah di tongkat di samping kakinya itu.

"To, sini. Aku mau bicara sama kamu."

"Rindu udah bilang gak ada ya gak ada." Kesal Rindu dengan bibir manyun.

"Ada sih, bro?"

"Jadi aku ini dari awal di rumah sampai di depan rumah Rindu punya keanehan."

"Aneh gimana, bro?"

"Aku itu jumpai bercak darah terus, dan salah satunya ada di dalam mobil. Randu kelihatan, tapi malah Rindu sama sekali gak melihat. Coba deh kamu lihat, atau hanya sebuah halusinasi saja."

"Baiklah, gue coba cek. Bro sama Rindu saja masuk dalam kelas, itu ada pengumuman menarik buat kita deh."

"Sip."

Tito yang melihat keberadaan tersebut sama sekali tidak menuruti kemauan Randu dan juga ikut masuk ke dalam kelas, mereka yang sedang membaca pengumuman juga dikejutkan oleh Jono yang baru saja beberapa izin karena mengurus arisan keluarga. Keberadaan yang tak kalah menarik juga telah didatangi oleh Danu yang juga tiba-tiba menutup mata Rindu.

"Itu ada sebuah informasi bakalan ada ekstrakurikuler basket, boleh juga itu dicoba. Terutama para cowok itu coba ikut deh, siapa tahu saja jadi putra kebanggan sekolah nantinya."

"Boleh juga nanti para cowok di sini daftar, dan kamu Rindu harus menyemangati aku."

"Danu sudah ikut jadi gak perlu ikut lagi." Saut Danu dengan mengurai rambut Rindu.

"Jono ikutnya udah di lab jadi gak mau ikut begituan."

"Tito bakalan ikut kan?" Tanya Rindu dengan menepuk-nepuk pundaknya.

"Iya, aku ikut. Bukan hanya Randu juga dong yang disemangatin, gue juga seharusnya biar adil."

Bel masuk yang tidak berbunyi itu tiba-tiba saja masuklah pak Baroto menuju ke kelas, semua siswa di dalam sangatlah tegang dan kali pertama beliau di kelas itu. Rindu yang sangat bertanggung jawab kini telah menyebarkan amlop berisikan kerahasian setiap murid, tetapi sebelum mereka diminta membuka dan membaca pembelajaran budi pekerti telah dimulai.

"Baiklah semuanya, kali ini pembelajaran budi pekerti hanya sebatas kertas kosong saja. Kalian diminta untuk menuliskan kisah kalian selama melihat, mendengar, merasakan, dan semua ada pada diri saya. Setiap penulisan disertai dengan kejujuran, satu lagi bakalan ada pertanggung jawaban di setiap yang ditulis. Paham semuanya?"

"Paham, pak."

Semua telah mengisi kertas kosong yang telah tersedia dari pembagian beserta amplop itu hanya Randu lebih dulu selesai mengerjakan, Pak Baroto yang tiba-tiba saja meminta para siswa lain untuk berhenti dan segera mengumpulkan ke depan, Rindu yang juga sembari tadi melihat sorot kedua bola mata tanpa henti itu dengan jelas ada sebuah pancaran tersendiri.

"Kenapa, Rin?"

"Aku merasa aneh, Jon. Dari awal masuk sampai sekarang itu mata pak Baroto itu hanya selalu mengarah ke hadapan Randu."

"Mungkin hanya perasaan kamu saja, lagian kita kan masih tercatat siswa baru. Gak mungkin juga pak Baroto sampai segitunya melihat Randu sampai sedalam itu, udah itu perasaan kamu saja."

Mereka semua yang menunggu pak Baroto memanggil salah satu murid untuk membacakan, awalnya sempat memanggil Rindu untuk kali pertama namun teralihkan dengan Randu. Dengan tampang sombong berjalanlah ia tiba saja ada seperti orang menjegalnya, hal itu tentunya membuat kelas ribut karena ada sebuah dua bayangan di belakangnya.

"Sudah, sudah tidak jadi. Kau kembali ke tempat duduk, dan berhubung waktu sudah berganti mata pelajaran sekarang kalian baca yang ada di dalam amplop." Pak Baroto yang meninggalkan kelas itu dengan bergegas semua telah membaca dalam hati isi amplop.

Randu yang dengan segera membukanya hanya bertuliskan 'Dasar pengecut!' membuatnya semakin tidak tahu bahwa yang dituliskan itu berbeda dengan lainnya, tulisan berona merah darah itu hanya dibuat kepalan bola dan dilemparkan begitu saja hingga mengenai Rindu. Disaat dia keluar kelas melangkah menuju ke kamar mandi semakin penasaran Rindu rasa.

"Maksudnya 'Dasar Pengecut' ini apa coba? Semua itu seakan menjadi teka-teki bagi mereka, pertama sebuah bayangan yang tidak ada di diri Randu terus mengenai Putri menghilang tiba-tiba dan ini mengenai tulisan. Jelas ini pasti ada sesuatu, tapi apa coba? Padahal benar apa kata Jono, kita itu masih terbilang siswa baru gak mungkin jika sebuah masalah akan ada begini ya. Haduh, sumpah ada aja kehidupan kayak begini."

Tak disangka tiba-tiba saja wajah Randu meninggalkan bekas luka dan bahkan lidahnya terasa panas, Rindu yang mencoba untuk menyentuh pipi Randu langsung ditepisnya hingga membuat tangan kanannya terpental keras. Tito yang melihat salah sangka jika dikira ada perdebatan dan permasalah tersendiri, beruntung saja Jono memberanikan diri untuk membantu menengahi permasalahan hal sepele itu.

Bel berbunyi itu membuat semua siswa terkejut karena baru saja terdengar kembali di telinga, Randu yang tak seperti biasanya untuk berkumpul dengan teman-temannya memilih menyendiri di dalam kelas. Dia yang memikirkan berbagai cara untuk memecahkan permasalahan di hidupnya tiba saja ada sebuah panggilan tanpa nama di ponselnya.

"Halo... halo! Dasar tidak jelas, mau kamu sebenarnya apa sih? Kalau kamu seorang manusia hadapi aku di nyata bukan sebuah kucing-kucingan begini, kalau mau tarung ayo! Jangan mentang-mentang banyak pulsa jadi sedikit-sedikit menelpon tak jelas."

"Ran, nanti pulang belikan mama daging sapi dua kilogram buat masak besar kesukaan papa kamu ya. Uang ditransfer."

Chapitre suivant