"Pagi, Bu," sapa Xabiru pada ibu mertuanya.
"Pagi, Nak. Hari ini sudah mulai ke kantor?"
"Sudah, bu. Kebetulan hari ini ada meeting."
"Semoga lancar ya, meetingnya," kata Kirana.
"Iya, Bu. Amiin."
Xabiru mengeluarkan sesuatu dari dalam tas kerjanya dan memberikannya kepada Gadis.
"Sayang, ini ATM dan kartu kredit untuk kau pakai. Setiap bulan aku akan mentransfer untuk jatah bulananmu juga untuk ibu. Biasanya gaji semua asisten rumah tangga aku tranfer langsung pada mereka. Kalau kurang, atau sudah habis, katakan padaku,ya. Ini juga ponsel baru untukmu dan ibu. Di ponselmu sudah aku install aplikasi m-bangking untuk memudahkan jika kau ingin belanja online atau apapun itu," kaya Xabiru.
"Tapi, Mas..."
"Kenapa tapi? Kau kan istriku dan memberikan nafkah itu adalah kewajibanku. Kau boleh mempergunakan uang untuk apa saja yang kau mau. Dan sesuai dengan kebutuhanmu. Termasuk juga jika kau ingin membeli baju baru atau apa saja."
Kirana menatap menantunya dengan kedua netra yang berkaca-kaca. Ia merasa bahagia melihat bagaimana Xabiru begitu mencintai putrinya dan juga sangat bertanggung jawab.
"Terima kasih, Mas," kata Gadis.
"Sama-sama, sayang. Ya sudah, aku berangkat ke kantor dulu, ya."
"Ehm, Mas, apakah aku boleh mengunjungi Sevia, anaknya Om Faizal? Kemarin kan kata om Faizal anaknya sakit. Aku mau menjenguknya."
"Nanti aku suruh Pak Slamet untuk mengantarmu, ya. Biasanya, Pak Slamet hanya mengantar jemput diriku. Tapi, sekarang karena sudah ada istriku tercinta ini, tugasnya bertambah juga untuk mengantarmu ke mana pun, ya."
"Terima kasih, ya, Mas."
"Iya, sayang. Hati-hati nanti di jalan, ya. Sampaikan salamku kepada keluarga Om Faizal."
Gadis pun mengantarkan suaminya sampai ke teras. Ia menunggu sampai mobil Xabiru menjauh, baru kemudian melangkah masuk kembali.
"Kau mau menjenguk Om Faizal?" tanya Kirana.
"Iya, Bu. Oya,pertanyaanku kemarin belum ibu jawab. Kenapa Om Faizal keluar dari perusahaan dan bahkan menghilang bersama istri dan anaknya? Sekian taun ayah mencarinya, tapi Ibu bisa berkomunikasi dengan beliau."
Kirana menghela napas panjang, "Semua itu karena ibu tirimu. Om Faizal memang tidak mau Ayahmu menemukannya atas perintah ibu tirimu. Itulah sebabnya, Om Faizal pergi dan tidak memberi kabar. Tapi, beliau tetap berkomunikasi dengan ibu. Sevia sakit, sudah beberapa tahun terakhir ini. Om Faizal kehidupannya sekarang tidak begitu baik. Jadi, mereka kesusahan untuk membawa Sevia berobat."
"Memangnya, Sevia sakit apa sih, Bu?" tanya Gadis.
"Nanti, kau akan tau sendiri saat melihatnya."
"Baiklah, Bu."
**
Tiba di rumah Faizal, Gadis hanya bisa menghela napas panjang. Rumah kontrakan Faizal hanya rumah bedeng kecil. Bahkan lebih kecil dari rumah kontrakannya dulu.
"Ini benar rumahnya, Pak?" tanya Gadis pada Slamet.
"Betul, bu. Kemarin saya mengantarkan beliau ke sini."
"Ya sudah, Bapak tunggu saya, kan?" tanya Gadis.
"Iya, Bu. Bapak sudah berpesan untuk menunggu Ibu."
Gadis pun segera turun, sambil membawa parcel berisi buah-buahan yang tadi sempat ia beli. Melihat kedatangan Gadis, Faizal tentu saja menyambut dengan gembira.
"Loh, Gadis kok bisa kemari?" sambut Sarina, istri Faizal.
"Kan kemarin, Om Faizal pulang diantarkan oleh supir suamiku, Tante. Jadi, aku minta Pak Slamet yang mengantarkan. Sevia mana, Tante?"
Faizal dan Sarina pun saling berpandangan, dan mereka membawa Gadis ke kamar. Namun betapa terkejutnya Gadis saat melihat kondisi Sevia yang sedang duduk dengan tatapan mata kosong sambil bicara dalam bahasa mandarin. Seperti sedang menghapal kata per kata.
"Ni hao sama dengan halo, ni itu kamu, wo adalah saya, ai itu cinta. Wo ai ni aku cinta padamu."
Gadis menghampiri Sevia dan membelai rambut gadis cantik itu.
"Via, kau ingat padaku kan? Ini aku Gadis anaknya Pak Hans. Kita dulu selalu bermain bersama sejak kecil. Kau ingat padaku?"
Sevia menghentikan hapalannya dan menoleh kepada Gadis.
"Gadis, kau Gadis? Anaknya Pak Hans? Kau Gadis? Benar?"
"Iya, Via aku Gadis. Apa yang kau lakukan? Kenapa tangan dan kakimu diikat seperti ini?"
"Aku sakit, penyakitku sangat parah, ibu bilang kalau aku tidak diikat nanti aku akan kabur dan membuat Ibu dan Ayah susah."
Gadis menoleh pada Faizal dan Sarina seolah meminta jawaban.
"Enam tahun yang lalu, Sevia hamil. Kami membawanya pergi jauh supaya tidak merepotkan ayahmu. Dan, ketika berusia 3 bulan, putranya Sevia sakit panas. Tapi, karena kami tidak punya uang, kami tidak bisa membawanya ke rumah sakit dengan cepat. Anak itu terlambat mendapatkan pertolongan dan akhirnya meninggal dunia. Sejak anak itu meninggal, Sevia menjadi seperti ini. Terkadang, ia sadar dan bicara seperti orang normal. Tapi, jika obatnya habis dia akan kumat seperti ini. Dia akan bicara sendiri dan terkadang membentur-benturkan kepalanya ke dinding. Itulah sebabnya kami mengikat tangan dan kakinya seperti ini," jawab Sarina menjawab pertanyaan yang ada di benak Gadis.
"Siapa Ayahnya? Ayah dari anak yang dilahirkan oleh Sevia?" tanya Gadis.
Wajah Faizal menegang seketika mendengar pertanyaan Gadis.
"Om tidak mau membahas soal lelaki itu, Nak Gadis."
"Biarkan saja, kami tidak mau memikirkan soal itu. Yang paling penting bagi kami, Sevia bisa sembuh," kata Sarina.
Gadis mengembuskan napasnya. Perlahan dia membelai rambut Sevia. Mereka tumbuh bersama, Sevia dulu sering bermain bersamanya dan juga Dara. Air matanya menetes, malang sekali nasibmu, Via, batin Gadis.
Gadis membuka tasnya dan mengeluarkan beberapa lembar uang, kemudian memberikannya kepada Sarina.
"Tante,tolong terima uang ini. Untuk membeli obat dan biaya pengobatan Sevia," kata Gadis.
"Tapi Nak, ini banyak sekali. Tante tidak bisa menerimanya," kata Sarina.
"Tante, suamiku memberikan uang bulanan yang lebih dari cukup. Jadi, aku mohon Om dan Tante bisa menerimanya. Mas Biru berpesan untuk menggunakan uang pemberiannya dengan bijak. Jadi, tidak ada salahnya jika aku gunakan sedikit untuk membantu Sevia."
Sarina dan Faizal saling berpandangan sebelum akhirnya menerima uang pemberian dari Gadis.
"Terima kasih, Nak," kata Faizal.
"Sama-sama Om. Kalau ada apa-apa, Om telepon aku atau Ibu, ya. Jangan sungkan," kata Gadis.
"Iya, Nak. Semoga rumah tanggamu baik-baik saja, ya."
"Amin, Tante."
Setelah puas berbincang-bincang dengan Faizal dan Sarina, Gadis pun pamit pulang.
"Kita langsung pulang, Bu?" tanya Slamet pada Gadis.
"Iya, Pak. Kita langsung pulang ya. Kasian ibu di rumah. Lagi pula kasian jika Mas Biru mau pergi menemui klien atau ada urusan yang lain."
"Baik, Bu."
Slamet pun langsung membawa Gadis pulang. Setelah mengantar Gadis pulang, ia segera kembali ke kantor Xabiru.
"Bagaimana kondisi Sevia, Nak?" tanya Karina saat Gadis pulang.
"Ibu, kenapa dulu Om Faizal dan Tante Sarina meninggalkan Ayah?"