"Kenapa?" Suaraku parau, entah kenapa.
"Kamu tahu hal yang menyakitkan di dunia ini?"
"Diselingkuhi?"
"Bukan. Tapi, menjalani hubungan dengan orang yang nggak kamu cintai sama sekali. Dan pada saat dia sudah mencintaimu, kamu harus melepaskannya karena nggak ingin menyakiti dia lebih lama." Anisa menatap mataku. "Itulah yang telah aku lakukan," lanjutnya.
Pada detik yang sama, tiba-tiba ingatan tentang Neti merasuki kepalaku. Apa Neti meninggalkanku karena sebenarnya fia juga tidak mencintaiku. Apa dia dulu menerimaku hanya karena tidak tega menolakku?
"Kenapa kamu mau menceritakan itu kepadaku?"
"Entahlah. Ada hal yang aku nggak mengerti tentang kamu."
"Maksudmu?"
"Aku nggak ngerti, kenapa aku sampai di sini saat ini. Padahal, aku bukan orang yang mudah untuk dekat dengan orang baru. Apalagi bercerita seperti ini." Matanya menatap bunga yang ditinggalkan kupu-kupu.
"Tapi nngk apalah, tenang saja, aku orang yang bisa menjaga rahasiamu."
Anisa hanya tersenyum. Kupu-kupu yang tadi mengisap sari bunga, kini terbang ke tangkai bunga yang lain.
Aku tidak meneruskan, dia membuatku merasa terkunci. Namun, semua itu membuatku semakin jadi penasaran kepadanya. Tak banyak perempuan yang bisa seperti dia. Setahuku, perempuan tidak suka menceritakan hal-hal yang dia alami pada masa lalu, apalagi kepada orang yang baru saja dia kenal. Namun, ternyata Anisa tidak seperti itu. Ia bahkan menceritakan orang yang pernah ada di dalam hidupnya.
Tak terasa, dua jam sudah berlalu. Itu artinya, Anisa harus segera pulang.
"Sudah malam Yogi. Aku harus pulang," ucapnya.
"Ya sudah. Aku antar ya, terima kasih sudah mau bertemu denganku Anisa."
"Nggak usah diantar. Aku bisa pulang sendiri. Terima kasih juga untuk hari ini Yogi." Dia tersenyum.
Aku tidak memaksakan diri untuk mengantarnya. Aku tahu, dia sedang tidak berdrama seperti kebanyakan perempuan yang menolak hanya agar lelaki memohon untuk mengantarkannya.
Aku melambaikan tanganku saat Anisa menjauh dari taman. Dia menatapku dan meninggalkan senyumnya di taman ini. Senyum yang akhirnya menemaniku menikmati pergantian senja menuju malam.
"Yogi..., di mana?" Suara Panjul terdengar panik di balik ponsel yang baru saja kuterima panggilannya.
"Aku di taman sekolah. Ada apa?"
"Pulang ke kos sekarang! si Doli digebukin."
"si Doli digebukin? Maksudnya?" Belum sempat menjawab pertanyaanku, Panjul sudah mematikan teleponnya.
Aku segera meninggalkan taman. Pikiran yang tadinya sedang merona merah jambu, sekarang menjadi cemas tak menentu. Sepanjang perjalanan menuju tempat kos, aku menerka-nerka, apa yang sebenarnya terjadi pada Doli.
Aku akhirnya sampai di tempat kos ketika Panjul sedang mengobati luka di wajah Doli. Bibirnya berdarah dan beberapa bagian pipinya terlihat lebam. Sepertinya bekas pukulan. Santi pun juga sudah berada di sini.
"Kau kenapa, Doli?" Aku menaruh tasku di atas kursi, mendekat kepada lelaki yang wajahnya sedang dibersihkan dengan alkohol.
"Ck! Biasa anak muda!" Doli malah tertawa.
"Anak mudasih, anak muda. Tapi, nggak gini juga, Dol. Ini namanya konyol!" Santi geram. "Nih, kasih Betadine!" Santi membantu Panjul mengobati Doli.
Aku masih mencari jawaban penuh atas apa yang sedang terjadi kepada Doli.
"Ada apa, sih?" Aku duduk di antara mereka.
"Tahu nih, temanmu. Bini orang dipacarin juga. Gini kan jadinya. Dipukulin. Untung nggak dimasukin penjara." Santi terlihat kesal.
Aku jadi ikut tertawa. Miris. Aku tahu, Doli adalah lelaki yang gila kalau untuk urusan perempuan. Dia bisa memacari beberapa perempuan dalam waktu yang bersamaan. Namun, kali ini aku benar-benar tidak pernah menduga kalau dia akan senekad itu memacari istri orang.
"Ini serius, kau sampai jadi selingkuhan tante-tante?" Aku menatap geli kepada Doli.
"Heh! Siapa bilang dia tante-tante. Masih muda dan cantik gitu juga." Doli membela diri, tak terima kalau perempuan yang baru saja menyebabkan wajahnya babak belur itu dikatai tante-tante.
"Terus, oma-oma?" ledekku, semakin tidak bisa menahan tawa.
"Kau cuman belum lihat saja, Yogi," timpalnya. Dia melepaskan diri dari tangan Santi yang sedang mengobatinya dan mengucapkan terima kasih. "Jadi, namanya Susan, dia adalah istri simpanan pejabat. Masih muda dan cantik bangeeeeeet! Lagian, aku mana pernah punya pacar jelek."
"Sejak kapan kau main sama istri pejabat?"
"Bukan istri pejabat, tapi istri simpanan. Ya, semacam kekasih ada, tapi nggak pernah dianggap ada gitu."
"Maksudmu apaan?" Santi merasa ucapan terakhir itu ditujukan kepadanya sebab Dolii melirikkan matanya ke arah Santi. "Aku udah move on, ya, dari Bambang!" tegasnya.
"Iya, percaya. Tapi, aku cuma mau mastiin. Aku nggak sembarangan macarin perempuan." Doli tetap mencoba membela diri.
"Ya sudah. Tersarah kau sajalah, Dol. Lagian, aku juga nggak pernah masalahin kau mau pacaran sama siapa. Asal jangan ulangi kekacauan seperti ini." Aku mencoba mencari jalan tengah.
"Kau dari mana tadi, omong-omong?" Panjul bersuara, sepertinya dia mulai mengalihkan topik pembicaraan yang sudah tidak sehat lagi.
"Aku tadi abis ketemu seseorang," jawabku dan tak bisa menyembunyikan senyum.
Sontak kekepoan sahabatku dimulai. Aku memutuskan untuk tidak memberi tahu mereka dulu. Aku takut, kalau sikap misterius Anisa kepadaku hanya akan membuatku merasa kecewa nantinya. Kan bisa saja patah hati itu akan datang lagi. Namun sungguh, aku tidak pernah benar-benar merasa takut untuk mengenali Anisa lebih dalam lagi.
"Yah, udah pakai rahasia-rahasiaan, nih, sekarang." Putri berpura-pura kecewa. Aku tahu, dia hanya sedang memancingku untuk mengatakan kepadanya siapa yang kutemui sore tadi.
"Nanti juga kalian akan tahu, kok. Ya udah, aku mau pergi mandi dulu, ya. Gerah banget nih. Makasih udah bikin panik sore tadi." Aku berdiri.
"Aku juga mau nganterin Santi pulang dulu, deh." Panjul ikut berdiri.
"Lah, trus aku ngapain?" Doli kebingungan.
"Kamu ke rumah tantemu itu aja. Ck!" Santi melangkah, diiringi Panjul, meninggalkan tempat kos.
Pada akhirnya, setiap pertemuan adalah awal dari sebuah perpisahan. Pertemuan yang dibangun dengan kisah-kisah yang kuat akan menjadikan perpisahan terasa begitu berat. Begitulah kisah kami berempat. Banyak hal yang telah kami lalui bersama. Bagiku, Santi adalah "ibu" untuk kami bertiga. Sosok perempuan yang bisa menyeimbangkan laki-laki, terutama aku, Doli, dan Panjul.
Santi adalah sahabat yang paling cerewet kalau kami lupa mengerjakan tugas. Juga kalau kami tidak masuk sekolah karena malas bertemu dengan guru tertentu. Bagi Doli, Santi malah menjadi orang yang selalu menjadi andalan dia dalam menyelesaikan tugas, juga teman yang bisa diajaknya berdiskusi serius.
"Kami akan merindukanmu, Santi!" Aku berusaha mengeluarkan kalimat itu. Terasa amat begitu berat. Belum apa-apa, aku sudah merasa, ternyata seberat ini rasanya melepas sahabat yang selalu bersama kita. Melepaskannya mengejar impiannya.
Ada masanya kita memang harus membiarkan orang yang kita cintai pergi. Namun, aku tidak pernah menyangka akan seberat ini.