webnovel

Part 2.6

Setelah beberapa kali mengetuk pintu dan tidak ada hasil, Bella kembali melakukan panggilan pada nomor telepon Ryean.

Terdengar samar dari luar, irama nada dering dan getar pada sebuah smartphone yang berada tepat dari dalam ruangan yang sedang tertutup itu.

"Kau dengar itu!" tukas Bella, ia menunjuk pintu kamar indekos Ryean, mengisyaratkan jika smartphone yang sedang dipanggilnya berada di dalam ruangan tersebut.

"Ya, aku mendengarnya walau samar!" ujar Hanna membenarkan pernyataan Bella.

"Permisi ... !" teriak Bella sekali lagi sembari mengetuk pintu ruangan tersebut.

"Ryean apa kau di dalam?" tambah Bella, ia sedikit menaikkan intonasi suaranya.

"Bagaimana ini, apa mungkin ia sedang keluar?" Bella menatap Hanna, ia tidak ingin hari ini kembali dengan hasil yang nihil, sementara perasaan bersalah masih terus bersarang di hatinya.

"Tunggulah sebentar di sini, aku akan mencoba menanyakannya pada pemuda yang berada di teras tadi!" Hanna pun bergegas kembali menemui pria yang berada di teras barusan.

Hanna pun berlalu, meninggalkan Bella yang sesekali masih berusaha mengetuk pintu ruangan indekos tersebut sembari terus memanggil nama Ryean.

Bella yang masih penasaran mencoba mengintip dari lubang kecil pada gagang pintu ruangan tersebut, tak banyak yang ia bisa lihat, namun ia yakin jika saat itu ada seseorang yang sedang duduk di tengah ruangan membelakangi pintu tersebut. Ia tahu itu dengan melihat pundaknya dari lubang tersebut, walaupun tidak begitu jelas terlihat.

"Hey, Ryean aku tahu kau di dalam, kumohon bukalah. Ada sesuatu yang ingin aku sampaikan padamu!" mohon Bella sembari mengetuk-ketuk pintu tersebut dari luar.

Namun Ryean tidak menjawabnya sama sekali.

"Hey, bukalah. Kumohon!" pinta Bella sekali lagi.

"Maafkan aku mengenai kejadian waktu itu!" ujar Bella lagi, ia berusaha meyakinkan Ryean untuk membuka pintu itu untuknya.

Namun sekali lagi Ryean tidak menjawab sedikit pun, ia bahkan tidak beranjak atau bergerak dari tempatnya.

Hanna yang baru saja tiba setelah menanyakan perihal Ryean pada pemuda sebelumnya, segera menanyakan apa yang sedang Bella lakukan.

"Ada apa, apa dia ada di dalam?" tanya Hanna.

"Ya, aku yakin ia ada di dalam, aku bisa melihatnya dari lubang kunci itu, walaupun tidak dapat melihatnya sepenuhnya, namun aku yakin ada orang di dalam sana!" tukas Bella.

"Menurut pemuda yang berada di teras, ia mengatakan sempat melihat Ryean pulang ke tempat ini beberapa hari yang lalu, namun setelah itu ia tidak lagi melihat Ryean sampai saat ini!" terang Hanna.

"Jika benar ada orang di dalam ruangan ini, mengapa sedari tadi ia tidak menjawab panggilan kita!" Raut wajah Hanna mulai berubah, yang awalnya tenang kini lebih terlihat waswas.

"Lalu kita harus bagaimana?" tanya Bella, ia tahu jika saat ini Hanna sedang merasakan firasat yang tidak baik, begitu pula dirinya.

"Kita coba memanggilnya sekali lagi, jika ia tidak menjawab atau membuka pintunya ... ." Hanna terdiam sesaat, ia menimbang-nimbang sesuatu di otaknya.

"Kita akan membukanya secara paksa!"

"Aku yang akan bertanggung jawab akan hal ini!" ujarnya mantap.

Benar saja, setelah memanggil dan mengetuk pintu itu berkali-kali dan hasilnya tetap saja nihil, Hanna kini bersiap mengambil ancang-ancang untuk membuka pintu itu secara paksa dengan tendangannya.

"Bruuuukkk." Sebuah tendangan mendarat kuat di pintu tersebut, sialnya namun itu belum cukup untuk membuka pintu itu secara paksa.

"Biar kucoba!" ujar Bella, ia mengencangkan tali sepatunya dan segera mengambil ancang-ancang.

"Bruuuukk ... .!" sebuah back kick taekwondo dilancarkan Bella ke arah pintu tersebut, untungnya ia sedang mengunakan sneakers saat itu.

Hanna yang melihat hal itu sedikit tercengang, ia tidak tahu Bella sekuat itu, pintu itu kini telah terbuka karena back kick darinya.

"Sungguh, aku tidak akan mencoba mencari masalah denganmu!" ujar Hanna masih tidak percaya dengan apa yang dilihatnya.

Bella hanya tersenyum menanggapi perkataan Hanna barusan, ia tidak tahu harus menganggap itu pujian atau bukan.

Ruangan itu cukup remang, hanya cahaya televisi yang dinyalakan tanpa suara yang menjadi penerangan di kamar tersebut.

"Ryean ... apa itu kau?" tanya Bella, ia masih berdiri tepat di depan pintu yang saat ini telah terbuka sepenuhnya itu.

Hanna segera menarik tangan Bella, ia tidak membiarkan kekasihnya itu sembarangan memasuki ruangan remang itu, sementara sang pria yang terlihat sedang duduk di sebuah kursi itu hanya memperlihatkan punggungnya dari sudut pandang mereka belum menjawab sepatah kata pun.

"Bella, tetaplah di belakangku, aku punya firasat buruk tentang ini!" titah Hanna, kali ini ia mulai memasuki ruangan remang yang hanya diterangi pantulan cahaya televisi itu, sedang Bella menguntitnya dari belakang.

"Hey, bisakah Anda menjawab saya?" tanya Hanna, sembari terus mendekati pria tersebut.

Betapa terkejutnya Hanna mendapati pria itu ternyata bukan sekedar duduk di kursi, pria itu terikat di sana. Hanna dapat melihatnya karena jarak mereka sudah cukup dekat saat itu.

"Sial!" maki Hanna spontan. Ia tahu entah mengapa firasatnya tidak pernah salah.

Hanna segera mencari saklar lampu di kamar tersebut, ia butuh pencahayaan lebih terang untuk melihat kondisi pria yang sedang terikat itu.

Di sudut ruangan Hanna mendapatkannya, "Clack." lampu kini menyala menerangi setiap sudut ruangan. Kini Bella yang awalnya masih belum melihat dengan jelas pria tersebut pun seketika tercengang mendapati pria itu yang ternyata sedang terikat di kursinya.

"Astaga!" ucap Bella, ia menutup mulutnya dengan tangan kanannya, sedang tangan kirinya terus menggenggam erat lengan Hanna.

Hanna berusaha membuatnya tenang, ia sedikit mengusap lengan Bella. Mereka terus mendekati pria itu, jarak mereka kini hanya sekitar dua langkah saja. Bella membenamkan wajahnya di pundak Hanna, sementara Hanna terus berjalan untuk dapat melihat keadaan pria itu lebih dekat.

Kini mereka berhenti tepat di depan pria tersebut. Hanna mematung, tubuhnya kaku melihat pemandangan yang cukup mengerikan tepat di depan kedua matanya. Walaupun ia sudah cukup sering melihat hal-hal gila seperti itu, tetap saja sebagai sesama manusia ia masih merasa tidak nyaman akan hal itu.

Bella berteriak sejadi-jadinya setelah melihat keadaan pria yang kini berada tepat di depannya itu. Benar saja pria itu adalah Ryean, namun keadaannya benar-benar buruk. Ryean terikat di kursinya dengan mulut yang dijahit kasar, sedang tangan dan kakinya terikat erat pada sandaran dan kaki kursi tersebut. Ia hanya bertelanjang dada dan hanya mengenakan celana dalam saja.

Hanna segera menarik Bella dan membenamkan wajah kekasihnya itu di dadanya. Ia berusaha menenangkan Bella, walau kenyataannya saat itu ia juga masih sedikit syok dengan apa yang dilihatnya.

Setelah sedikit lebih tenang Hanna segera menghubungi Sersan Hendrik dan melaporkan apa yang ditemukannya. Sersan Hendrik dengan sigap segera melaporkan kejadian itu pada atasannya, sementara Hanna diminta menunggu di TKP selagi pihak Kepolisian menuju ke tempat tersebut.

Hanna segera mengambil beberapa foto lewat smartphonenya, ia tidak menyentuh apa pun yang ada di sana sebelum tim forensik dari Kepolisian datang ke tempat itu untuk melakukan olah TKP. Segala apa pun di tempat itu bisa saja menjadi petunjuk penting untuk pihak Kepolisian.

Hanna segera memerintahkan Bella untuk keluar dari ruangan itu, sedang ia masih terus mengamati kondisi Ryean yang telah tidak bernyawa saat itu. Tidak ada trauma fisik yang terlihat jelas selain luka jahitan kasar pada mulut pria tersebut, entah mengapa Hanna menaruh perhatiannya pada sebuah kipas angin yang saat itu seakan dengan sengaja diarahkan langsung pada sang korban yang sedang terikat tak berdaya itu. Hanna mencoba merasakan kecepatan angin dari kipas tersebut dengan tangannya, ia tidak tahu pasti berapa jumlah rpm dan kecepatan revolusi pada mesin kipas angin tersebut, namun yang pasti embusan angin yang dihasilkan oleh kipas itu cukup kencang untuk ukuran kipas rumahan.

Melihat kondisi mayat, Hanna juga menyimpulkan kemungkinan kematian klinis pada Ryean juga masih baru, tentu ia harus menunggu hasil forensik dari pihak Kepolisian yang bertugas untuk mengetahui informasi lebih detailnya.

Dengan tidak ditemukannya trauma fisik yang terlihat secara kasat mata selain luka jahitan tersebut, dan posisi kipas angin yang seolah dengan sengaja diarahkan langsung pada mayat korban, kali ini sang pembunuh sedikit menikmati aksinya, pikir Hanna. Ia telah tahu penyebab kematian korban, walau belum pasti, namun ia yakin jika ini adalah sebuah pembunuhan secara tidak langsung. Sekali lagi ia benar-benar tidak habis pikir, bagaimana ada seseorang yang terpikirkan dengan metode pembunuhan seperti itu, "Dia genius, namun di sisi lain dia juga gila!" maki Hanna dalam hati.

Saat itu Hanna menyimpulkan jika kematian Ryean bukan disebabkan oleh trauma fisik seperti korban-korban sebelumnya, melainkan karena dehidrasi berat yang dialaminya. Hanna sangat yakin akan hal itu.

Chapitre suivant