webnovel

RAHASIA

Pemandangan pertama yang bisa di lihat setiap harinya adalah kebun milik tetangga, entah tetangga yang mana, tapi kedua orang tua Venus selalu mengatakan jika semua kebun yang menghimpit rumahnya ini milik tetangga mereka. Suara adzan yang selalu bersahutan itu membuat Venus juga kebingungan tiap kali ingin menjawab, dia selalu saja menunggu, dan memilih suara adzan mana yang paling cepat, dan yang paling jelas.

Namun, adzan yang bersahutan itu hanya untuk beberapa waktu. Subuh, dzuhur, dan maghrib saja. Yang lainnya masih bisa menunggu giliran seperti adzan ashar, di tempatnya ini, tepat di belakang rumahnya yang ada masjid itu selalu adzan terakhir. Tepat jam setengah lima atau jam empat adalah waktu tercepatnya.

Gadis itu menghembuskan napas panjangnya dengan langkah yang berhenti di depan rumah. Tepatnya di tengah jalan yang masih belum di aspal, perhatiannya sekarang terfokus pada jalanan di depan saja, begitu luas kebun milik tetangganya, dan hanya ada beberapa rumah dengan jarak yang cukup jauh. Kabar baiknya mereka adalah orang baik, dan selalu memberikan makanan lezat.

"Ven?"

"Iya?" sahut Venus, menoleh ke arah rumahnya, menatap Naratama yang sekarang berjalan mendekat.

Kaos hitamnya yang sudah kumal karena terlalu sering di cuci, dan di pakai itu masih menjadi kesayangan. Padahal Venus sering mengejeknya, dan menyuruh Naratama untuk membuang kaos hitam kumal itu. Membeli yang baru pun tak ada salahnya, tapi Naratama selalu menolak dengan berbagai macam alasan yang tidak bisa Venus pahami.

"Gue tadi denger nyokap sama bokap lagi ngomongin sekolah lo tau. Iri gue jadinya," ucap Naratama, berdiri tepat di belakang pagar.

"Ngapain iri?"

"Iya soalnya sekolah lo di kota anjir, cukup elit lah ya menurut gue."

"Kita kan cuman ada dalem dusun Kak, dari desa ke dusun, terus sekolahnya di kecamatan kan?"

Naratama mengangguk, "Iya, tapi kan cukup elit buat orang di sini, gue masih gak tau juga sama sekolah gue sendiri. Pengennya dapet yang elit kaya lo, misalnya ada di kabupaten."

"Bilang dong sama nyokap!"

"Gak mau, gak berani," sahut Naratama dengan gelengan kepalanya, "Gapapa deh gue sekolah di mana aja, lagian semua sekolah sama aja sih menurut gue. Yang penting mah otak gue aja."

"Idih! Mentang-mentang pinter kan?"

"Ahahah! Iya, btw lo dari mana sih?"

Venus membuka pintu pagarnya, berjalan memasuki pekarangan rumahnya, dan Naratama mengikuti di belakang. Mereka berdua duduk di teras rumah, memperhatikan pemandangan taman, dan halaman yang cukup bersih.

"Abis olahraga gue mah, biar badan sehat."

"Eh! Gue ada gosip tau, tapi kayanya lebih ke rumor deh."

Kening Venus bertaut ketika menoleh, "Rumor? Rumor soal apa?"

"Rumah kita, jadi tuh gini. Kemarin gue sempet denger pas nyokap sama bokap lagi ngobrol bareng tetangga di teras sambil ngopi. Mereka ngomongin rumah kita ini yang dulunya emang rumah nenek kan, mereka bilang kalau rumah ini tuh istana jin."

"Seriusan? Tapi... bukannya lo gak suka sama hantu? Bukan-bukan, maksudnya tuh bukannya lo gak percaya hantu?"

"Aduh! Gimana ya? Ini kalau warga asli yang bilang gue jadinya percaya sih, aneh banget gue emang." Naratama menepuk kepalanya sendiri karena pusing, "Tapi lo gak ngerasa aneh apa ya waktu pindah ke sini?"

Venus menggeleng.

"Yah! Gak asik banget padahal kan gue pengen denger cerita. Waktu pindah ke sini gue gak pernah ngerasa apa-apa selain rumahnya yang agak gelap meskipun papa pasang lampu philips. Cahayanya kan terang banget ya, tapi tetep aja gue ngerasa kaya... gelap."

Venus menatap Naratama dengan serius, sejujurnya dia juga merasakan hal aneh di dalam rumah barunya. Sayangnya nyali untuk mengatakan hal itu yang belum dia punya, dia tidak bisa langsung bercerita, dan membuat teori aneh sebelum sesuatu yang dia rasa benar memang terjadi.

Venus tak tahu dengan persis apakah yang dia rasakan kehadiran hantu atau mungkin bukan, tapi dia selalu ketakutan. Bulu kuduknya selalu berdiri, dan sekarang mendengar cerita dari Naratama pun membuatnya cukup yakin dengan adanya hantu di rumah ini.

"Gue pernah denger orang lagi mandi, lo tau kan kamar gue deket toilet. Di situ ada suara air, ada suara orang mandi, sayangnya gue langsung minum obat tidur biar gak takut."

Kening Venus semakin bertaut dalam, dia baru tahu jika kakaknya ini benar-benar aneh, "Lo gila ya? Gimana kalau ada apa-apa? Lo kan tau sendiri kalau dokter nyaranin buat minum obat tidur pas butuh."

"Kan gue lagi butuh Ven, lo gak tau gimana gue waktu itu. Ini namanya darurat, lo kenapa dah malah marah-marah?" sahut Naratama yang ikut kesal karena Venus yang tidak tahu situasi.

Gadis itu menghembuskan napas panjangnya, percuma berdebat dengan Naratama. Tak akan ada ujungnya, dan selalu berakhir dengan saling diam, "Iya-iya, maaf gue salah."

"Nah! Itu baru bener. Oh iya, gue ngerasa kalau nenek sama kakek juga di ganggu deh, tapi anehnya waktu kita liburan ke sini kenapa gak di ganggu?"

"Kan masih kecil banget, gue masih umur lima atau enam tahun, sementara lo udah SD waktu itu. Kita masih gak tahu hantu atau manusia kan? Gimana kalau misalnya dulu pernah liat, tapi ngiranya manusia?"

Naratama terdiam sejenak, dia mencoba untuk berpikir dengan kening bertaut. Menimang-nimang lagi tentang pernyataan Venus barusan, "Bener juga sih, anak kecil kan sensitif banget ya, gue yakin dulu pernah main sama penunggu di sini. "

"Lo ngerasa kalau nyokap sama bokap nyembunyiin sesuatu gak?"

Cowok itu menggeleng, mengubah posisi kakinya menjadi selonjor sekarang, "Pas gue nguping bokap sama nyokap malah gak percaya, mereka bilang kalau gak pernah liat atau denger apa-apa di sini."

"Bener juga sih, tapi lo pernah liat kris punya bokap gak sih? Yang ada di kamar, tiap kali ke kamar bokap, gue suka liat kris itu di dalem lemari pakaian. Ada di laci pakaiannya, satu tempat sama bola golf."

"Oh ya?"

Naratama nampak terkejut, dan Venus yakin jika cowok ini tak pernah tahu tentang adanya kris. Padahal Naratama sering ke kamar orang tuanya, tapi ternyata tak seperti Venus, "Iya Kak, tapi gue gak tau gunanya apa. Pernah nanya ke bokap terus katanya kalau itu hadiah dari temennya gitu. Di simpen doang, gak pernah di pake. Lagian bokap gak percaya katanya."

Cowok itu kembali menganggukkan kepalanya, semakin membuatnya bingung untuk semua penjelasan dari Venus, dan apa yang dia alami pun terasa seperti mimpi, "Gue jadi takut tinggal di sini, gue tidur sama lo boleh gak?"

"Eh, ogah!"

"Ya Allah Ven jahat banget."

"Bodo."

Chapitre suivant