[ KISAH INI TERDAPAT UNSUR KEKERASAN DAN PEMBUNUHAN. DILARANG KERAS UNTUK DITIRU ]
"Ada deh. Lihat aja nanti," jawabnya. Aku melihat Ray membawa daging-daging itu dan menaruhnya di atas sebuah meja kecil yang ada di taman belakang. Lalu di sampingnya ada sebuah ember besar dan beberapa bumbu-bumbu yang tidak aku ketahui. Perasaanku mulai tak enak Ray membersihkan daging-daging itu dan membumbuinya layaknya tengah membumbui daging sapi. Seteleh selesai, dia pun memanggang daging itu di panggangan. Entah apa yang tengah Ray pikirkan, dia memanggang daging manusia itu.
"Lu mau memakan daging manusia ini?" tanyaku curiga. Ray menunjukkan giginya sambil mengangguk.
"Iyalah. Sayang kalo gak dimakan. Lagian gua laper setelah bunuh orang," jawab Ray dengan santai. Aku pun menatap jijik daging yang sudah mulai berubah berwarna kecoklatan itu. Ini daging manusia, dia memanggangnya tanpa pikir panjang. Aku yakin kalau anak ini sudah terbiasa melakukan hal tersebut.
"Udah jadi! BBQ ala Ray," kata Ray sambil menyajikan daging tersebut ke dua piring. Ia menatanya dan mencampurkan daging tersebut dengan saus tomat.
"Nih." Ray memberikan sepiring daging manusia itu kepadaku. Hooekk ... aku sedikit mual dengan apa yang ku lihat. Walaupun warna coklatnya seperti warna daging sapi sungguhan dan baunya pun sama, tapi ini daging manusia. Seandainya ini daging sapi, aku akan memakannya. Aku menggelengkan kepala tak mau memakan makanan aneh itu.
"Kenapa? Enak kok. Kayak beef." Ray melahap daging tersebut dengan nikmatnya. Aku menatap Ray jijik. "Anggap aja steak yang biasa lu makan, terus taruh saus tomat di atasnya. Udah kayak BBQ," lanjutnya. Aku menatap daging di atas piring yang terletak di meja. Seriuskah seperti daging sapi? Ya, aku memang sangat penasaran dengan daging manusia ini. Namun aku merasa mual apalagi mengingat saat Ray memakan daging itu secara mentah-mentah.
Oke, sudah ku putuskan! Aku akan mencobanya sendiri daripada aku harus dilanda penasaran. Aku pun sedikit memotong daging manusia itu dan secara perlahan aku memasukkan daging itu ke mulutku. Ray menatapku.
"Ayo makan. Enak tau," ucapnya. Daging tersebut sudah menyentuh lidahku. Aku mengunyahnya secara perlahan. Emm ... ada rasa manis, sedikit asin dan gurih. Benar kata Ray, daging manusia ini sama rasanya seperti daging sapi. Aku pun kembali mencoba suapan yang kedua dan benar-benar sedap. Ray tak bohong padaku.
"Enak kan?" tanya Ray. Aku mengangguk. Sungguh! Ini nikmat sekali. Tunggu! Bagaimana rasanya daging ini kalau dimakan langsung tanpa dipanggang terlebih dahulu? Apa rasanya seenak itu?
"Emm ... Ray, kalo gak dipanggang tetap enak?" tanyaku. Ray menoleh.
"Iya enaklah. Apalagi kalo langsung dari mayatnya. Sensasinya beda sama makanan italia lainnya, Yo. Kali-kali coba deh," balas Ray. Ck menjijikan! Aku tak mau memakan makanan mentah yang masih berdarah-darah dan berbau anyir.
"Nih! Daripada dilanda penasaran mending sekarangcobain. Sekalinya makan, lu bakalan ketagihan habis-habisan." Ray memberikan daging manusia mentah kepadaku, aku menatapnya. Daging yang begitu terlihat seperti daging sapi, berwarna merah maron, dipenuhi darah dan lembek. Bagaimana bisa aku memakannya? Ray melanjutkan, "Ayolah! Lu jangan pikirin ini daging manusia, anggap aja daging sapi dan lu bakalan merasakan sensasi yang beda."
Mendengar ucapan Ray membuat tanganku mengambil daging itu. Huh! Rasanya tubuhku gemetaran dan jantungku berdegup cepat. Entah mengapa aku menjadi ketakutan seperti ini? Mungkin efek saking penasarannya dengan rasa daging manusia mentah.
"Cepetan!" suruh Ray. Aku pun mendekatkan mulutku dengan daging itu, lalu lidahku menjulur keluar mencoba meresapi rasa daging. Ku sentuh daging itu dan … rasa darah. Tentu saja karena aku baru menyentuh daging itu dengan lidahku. Lalu ku buka mulutku lebar-lebar dan langsung memasukkan daging itu ke dalam mulut. Aku belum mengunyahnya, aku ingin merasakannya terlebih dahulu. Ya … maksudku mencoba merasakan apa yang berbeda dengan daging sapi. Kau tahu? Di dalam mulutku, seperti ada sesuatu yang bergerak-gerak, kenyal, rasa darah dan pastinya aku merasa sesuatu yang aneh. Sesuatu yang mungkin tidak bisa aku jelaskan. Aku mulai mengunyah daging itu dengan perlahan. Saat digigit, sangat terasa darah di dalam daging itu keluar, aku pun mengunyahkan dengan cepat dan langsung menelannya. Aku menatap Ray.
"Rasanya aneh!" komentarku. Lalu Ray malah tertawa kecil.
"Aneh kan? Ya, emang begitu rasa daging manusia, tapi lama kelamaan lu bakalan ketagihan kok. Anggap aja daging ini kayak narkoba, sekali lu nyobain, pasti bakalan ketagihan," balas Ray. Aku hanya menganggukkan saja kepalaku, lalu kami pun terdiam.
"Oh ya, Yo, lu ngebunuh temennya orang-orang tadi? Siapa namanya? Asin? A lot ? Akin? Alvin ... nah, iya Alvin?" Aku melirik Ray. Sudah kepalang tanggung, Ray sudah mengetahui ini. Aku harus memberitahunya.
"Iya. Seperti yang lu dengar," kataku. Ray menoleh dan menyimpan piring sisa makannya di meja, lalu menghadap ke diriku.
"Kok lu gak bilang sama gua?" tanya Ray. Aku tersenyum tipis.
"Apa harus? Awalnya gua takut kalo gua kasih tau ke orang lain. Gua takut mereka sebarkan semua ini ke polisi dan dipenjara. Setelah gua tau lu ternyata pembunuh juga, gua yakin lu gak akan sebarkan ini semua. Begitupun gua, gak akan pernah," jawabku. Ray mengangguk. Adikku yang cerewet ini pun menanyakan beberapa pertanyaan tak penting. Mau tak mau aku menjawab dan menjelaskannya agar dia mengerti. Aku tahu pasti kejadian tadi membuatnya mematung. Bagaimana tidak? Dia mungkin tak menyangka kalau kakaknya seorang pembunuh, sama sepertinya. Ray juga memiliki ketakutan saat tak sengaja ketahuan orang lain saat membunuh. Dia takut dipenjara, ayah dan bunda tahu apa yang dilakukannya ataupun takut akan hukuman yang nanti menantinya di pengadilan. Semua ketakutan itu selalu dia rasakan saat malam. Walaupun begitu, dia sama sekali tak merasa menyesal, justru dirinya ingin terus melakukan hal tersebut sampai hatinya puas. Aku dan dia juga tidak tahu sampai kapan kami akan terus seperti ini. Aku bilang padanya, biarkan waktu yang akan menjawab pertanyaan kami.
"Nama samaran lu siapa?" Tanya Ray seteleh beberapa menit kami terdiam.
Aku pun menjawab, "Rio Vicious." Ya, nama samaranku saat membunuh adalah Rio Vicious. Pembunuh lumayan terkenal yang berkeliaran di Beverly Hills dan paling diburu polisi adalah diriku, Rio Vicious si pembunuh berdarah licik.
"Wow! Jadi ini yang namanya Rio Vicious? Ternyata dia kakak gua sendiri," kata Ray. Aku terkekeh pelan mendengar ucapannya. Rasanya lucu juga saat tahu ternyata adik dan kakak menjadi pembunuh terkenal di kota ini. Kalau publik mengetahuinya, aku yakin nama kami akan semakin dikenal. Walaupun begitu, aku tak ingin menunjukkan identitasku kepada orang lain. Aku tidak mau aksiku diganggu oleh para pria dewasa berseragam itu. Aku yakin Ray pun satu pemikiran denganku.
Bersambung …