webnovel

Bab. 16. Cari Rumah.

Setelah pulang kantor, aku berniat menjenguk adikku di Rumah Sakit. Meminta Kinanti untuk mengantar, karena Motorku di pinjem Ayah. Aku ingin mengambilnya, udah tiga hari di pinjem Ayah, tak mungkin berangkat naik ojek online terus. Pemborosan itu namanya. Setiap akan berangkat kerja Ridho ingin selalu mengantarnya sih, tapi sikap Arini membuatku males. Ia menatap tajam padaku seakan ingin menelan hidup- hidup.

Kami berdua berjalan melewati lorong Rumah sakit.

Seseorang menyapaku, aku terdiam sejenak. Ku perhatikan wajahnya, seperti mengenalnya? Indra? Orang itu tersenyum dengan memperlihatkan gigi putihnya. Melihat senyum itu, ku pastikan itu Indra.

"Indra?" tanyaku sembari menilisik wajahnya, tak jauh beda saat masih SMA, hanya terlihat lebih dewasa, juga ada jambang tipis di pipinya. Lengannya bertato. Wajah seorang perempuan, Tapi aku seperti mengenal Tato itu? Dahlah, bukan urusan saya. Tato itu hanya setengah yang terlihat tertutup dari kemeja, Mungkin itu pacarnya. Batinku.

"Iya Rania ini aku, gimana kabar kamu? Baik- baik saja kan!"

"Aku baik, alhaSetelah pulang kantor, aku berniat menjenguk adikku di Rumah Sakit. Meminta Kinanti untuk mengantar, karena Motorku di pinjem Ayah. Aku ingin mengambilnya, udah tiga hari di pinjem Ayah, tak mungkin berangkat naik ojek online terus. Pemborosan itu namanya. Setiap akan berangkat kerja Ridho ingin selalu mengantarnya sih, tapi sikap Arini membuatku males. Ia menatap tajam padaku seakan ingin menelan hidup- hidup.

Kami berdua berjalan melewati lorong Rumah sakit.

Seseorang menyapaku, aku terdiam sejenak. Ku perhatikan wajahnya, seperti mengenalnya? Indra? Orang itu tersenyum dengan memperlihatkan gigi putihnya. Melihat senyum itu, ku pastikan itu Indra.

"Indra?" tanyaku sembari menilisik wajahnya, tak jauh beda saat masih SMA, hanya terlihat lebih dewasa, juga ada jambang tipis di pipinya. Lengannya bertato. Wajah seorang perempuan, Tapi aku seperti mengenal Tato itu? Dahlah, bukan urusan saya. Tato itu hanya setengah yang terlihat tertutup dari kemeja, Mungkin itu pacarnya. Batinku.

mdulilah." ucapku.

"Syukurlah."

"Ini kenalin temenku satu kantorku, Kinanti."

Kinanti mengulurkan tangannya. Indra menyambutnya.

"Indra, temen SMA Rania." ucap Indra tersenyum.

"Kinanti," ucap Kinanti memperkenalkan diri. Kinanti memperhatikan cara Indra memandang Rania. Sepertinya Indra menyukai Rania?

"Oh ya, Indra aku duluan jenguk adikku dulu,"

"Sebentar Rania! boleh aku ikut jenguk Adikmu?" tanya Indra.

"Boleh," ucapku tersenyum pada Indra. Indra menatap lekat senyum itu, waktu seakan berhenti berdetak. Ia terpana melihat senyuman Rania.

"Ayoo.... " ajak ku.

Aku, Indra dan Kinanti melangkah ke kamar rawat Inap adikku, Andre.

"Ceklek! Assalamualaikum," sapa ku di ikuti Kinanti dan Indra. Raut wajah Ibu tak suka ada laki- laki datang bersamaku selain Ridho.

"Ridho mana? tanya Ibu lalu menatap tak suka pada Indra.

"Mas Ridho kerja Bu, aku ke sini

Jenguk Andre sekalian ambil Motor?

"Ini siapa?" tanya Ibuku.

"Kenalin Saya Indra Bu, temen SMA Rania." kata Indra mengulurkan tangan. Tapi Ibu tak menanggapinya, Membiarkan tangan Indra menggantung. Indra menelan ludah melihat penolakan Ibunya Rania lalu menurunkan tangannya.

Aku malu dengan sikap Ibu, sepulang dari sini akan meminta maaf pada Indra.

Suasana mendadak canggung. Ku alihkan menanyakan keadaan Andre.

"Gimana keadaan kamu, ndre? Udah baikan kakinya?

" Udah mendingan mbak,"

"Syukurlah."

Indra mencoba berbasa basi dengan Andre memecah kecanggungan.

"Rania! Tadi kamu ke sini pamit sama suami kamu kan?"

Menurut Ibu seorang istri keluar rumah harus ijin dulu, terus kenapa Ridho nikah lagi nggak ijin padaku? Aah miris kalau nggak di anggap. Aku hanya istri di atas buku nikah.

"Pamit Bu," jawabku singkat. Tak ingin berdebat panjang dengan Ibu.

"Ooh ya Nak Indra, Rania itu sudah menikah, jadi jangan terlalu dekat berteman dengannya ya, nanti Suaminya marah." ucap Ibuku.

Jeduerr.

"Eehm... Iya Bu."

Aku sekuat tenaga menyembunyikan malu. "Ya Tuhan gitu amat sih!" batinku.

"Bu, aku sama Indra cuma temen, tadi kami tak sengaja ketemu di Rumah Sakit ini," Aku beri penjelasan pada Ibu, agar tak salah paham ada Indra di sini.

"Yah, pokoknya kamu tidak berteman dengan laki- laki titik!"

Geram mendengar ultimatum Ibu, gegas aku ingin meninggalkan ruangan ini.

Aku menatap Ibu tidak suka, tapi Ibu malah memalingkan wajah ke arah lain. Kesal aku melihatnya.

"Bu, Mana kunci motornya? Aku ingin pulang! tanganku menengadah berharap kunci segera mendarat di tanganku.

" Di kantongi Ayahmu,"

"Terus di mana Ayah?"

Mungkin di taman, katanya mau merokok tadi.

Aku kemudian mencium punggung tangan Ibuku, lalu keluar dari ruangan Indra. Padahal ingin ngobrol banyak dengan Ibu, tapi entahlah. Protektif terhadap pernikahanku sangat berlebihan. Tak bisa membayangkan kalau Ibu tau, Mas Ridho nikah lagi.

Indra juga pamit, tak mau di curigai berpacaran dengan Rania. Padahal dirinya sudah dari dulu menyimpan cinta untuk Rania. Ingin mengenal keluarga Rania, berharap suatu hari nanti bisa memiliki Rania karena ia tau suaminya tak setia. Menduakan Rania dengan wanita lain.

Di lorong koridor tak sengaja bertemu Ayah.

"Ayah, aku mau ambil Motor mana kuncinya?"

Ayah mengambil kunci motor dari saku kemejanya. Melihat ada Indra di belakangku, ia bertanya.

"Itu temen kamu, Rania?

"Iya, Ayah." Tubuhku menegang seketika takut reaksi sama seperti Ibu. Tapi untungnya Ayah lebih lunak.

"Ini kunci motornya, Hati-hati di jalan jangan suka ngebut." ucap Ayah kemudian menepuk pundakku lalu berlalu dari hadapan kami, ia sempet tersenyum tipis pada Indra.

Aku lega melihatnya.

Saat keluar dari Parkiran, Kinanti heran dengan sikap orang tuaku

"Rania, kayaknya orang tua kamu sayang banget sama Ridho, mereka sampai nggak boleh temenan sama Indra.

" Yah, begitulah." ucap Rania pasrah.

"Indra, aku minta maaf. Atas sikap Ibuku tadi,"

"Nggak apa- apa santai aja Rania. Aku ngerti ko."

"Aku pamit dulu Rania, Kinanti." ucap Indra sambil melambaikan tangan dan berlalu dari hadapan kami.

"Hati-hati Ndra! ucapku sedikit lantang.

Aku dan Kinanti berpencar ke rumah masing- masing. Tak lama kemudian sampai di Rumah. Terlihat Arini dan Ridho akan keluar rumah. Mereka berpakaian rapi. Tangan Ridho mengandeng lengan Arini. Mereka terlihat mesra. Aku mencoba biasa saja melihat pemandangan ini. Toh emang sudah terbiasa melihat Arini memamerkan kemesraan nya di depanku. Aku juga tak ingin bertekad menautkan hati pada Ridho. Agar terhindar sakit yang lebih dalam lagi. Walau saat ini Ridho bersikap baik padaku.

"Rania, kami mau ke klinik dulu mengantar Arini periksa." pamit Ridho kepadaku, heran masih basa- basi denganku? Padahal ada istri muda di sampingnya

"Iya." jawabku singkat. Arini langsung masuk mobil dengan angkuhnya. Tak pedulikan sikap dia. Bagiku sudah biasa melihat sikap Arini yang ketus.

Brakk! Ia menutup pintu mobil dengan keras.

"Kenapa sih Mas, pamitan segala dengan Rania!"

"Dah, yuk berangkat ke klinik aja, udah sore nih!" Arini langsung terdiam. Ridho langsung melajukan mobilnya ke Klinik bersalin. Tak ingin berdebat dengan Arini. Sejenak ia berpikir untuk memindahkan ingin Arini rumah baru. Tak ingin setiap hari melihat Arini ngomel nggak jelas. Pusing dengarnya.

"Ayoo, Mas jalan. Malah benggong!" tegur Arini. Ridho terkesiap kemudian melajukan mobilnya.

Di ruangan dokter Arini di perutnya olesi Gel untuk di periksa keadaan janinnya. Gambar janin bergerak di terpampang di layar monitor.

"Semua sehat, tapi kurangi stres ya Bu, biar janin di dalam kandungan tidak ikut stres," ucap Wanita cantik berpakaian putih itu.

Dokter menulis resep vitamin untuk Arini.

Setelah menerima resep mereka pulang.

"Arini, kita jangan langsung pulang ya,"

"Kita mau kemana Mas?" tanya Arini penasaran.

"Kita lihat- lihat rumah dulu, kalau ada yang cocok aku langsung kasih Dp dulu,"

"Kita mau pindah Mas?"

"Iya, apa kamu nggak denger ndak boleh stress! Pusing liat kamu ketus terus sama Rania? Itu yang buat kamu stres! dah masuk mobil kita cari rumah,"

Arini masuk mobil duduk di samping Ridho. Agak kurang senang pindah rumah, itu berarti Ridho jadi kesempatan berdua dengan Rania. Arini tak rela.

"Aku nggak mau pindah! Nanti Mas sering berduaan sama Rania lagi!" Arini mencebikan bibirnya. Ridho mematikan Starter mobil tak percaya dengan ucapan istri keduanya.

Bersambung.

Chapitre suivant