Booommmmm!~ ...
"Apa kau sudah selesai?" tanya Kevan dengan wajahnya yang terlihat seperti sebentar lagi mungkin ia akan tertidur.
Benedict menyentuh bahunya sendiri dengan satu tangan sedangkan tangan yang lain ia putar ke belakang, "Kulit makhluk lemah sialan itu ternyata sedikit lebih keras dari yang kuduga."
Benedict melangkah mendekati Kevan dan menunjukkan sebuah batu permata berwarna ungu di tangannya. "Lihat apa yang kutemukan di kepalanya."
Kevan meliriknya dan melontarkan pandangan malas para Benedict, "Apa hanya ini?"
"Aku juga tak tahu kenapa zombie mutant sepertinya hanya memiliki batu permata sekecil ini. Mengingat kekuatannya yang biasa-biasa saja, mungkin memang hanya ini yang dia punya."
"Ambillah," ucap Kevan yang lalu melangkah pergi meninggalkan Benedict.
Benedict mengikuti langkahnya, "Apa kau yakin tak mau? Biar bagaimanapun ini adalah batu permata dari dalam kepala zombie mutant yang telah bermutasi. Jika kau membiarkanku memakannya, apa kau tak takut aku bisa mengalahkanmu dalam satu pukulan jika kita bertarung nanti?"
"Coba saja kalau kau memang bisa." balas Kevan, meneruskan langkahnya.
Benedict menyeringai, "Kau terlalu meremehkanku. Tunggu sampai aku menyerap batu ini. Mengalahkanmu bukan hanya mimpi lagi."
Mereka berdua berencana untuk keluar dari desa itu dan kembali ke tempat di mana Benedict memarkir mobilnya tadi. Namun, Kevan merasa bahwa desa yang telah lama tak ditinggali ini tak akan sesederhana itu.
Meski memang ada satu zombie mutant laba-laba yang telah bermutasi, namun hal itu tak akan cukup untuk bertahan sampai saat ini, mengingat betapa lemahnya zombie laba-laba yang bertarung dengan Benedict tadi.
"Hey, haruskah kita ke tempat perburuan selanjutnya? Aku masih memiliki beberapa tempat yang berpotensi terdapat zombie mutant di sana. Aku yakin kau juga tak puas dengan perburuan kita malam ini, bukan?"
Kevan tak menanggapi pertanyaan Benedict. Kedua matanya masih terus mengamati keadaan di desa itu selagi kakinya terus melangkah.
"Pada akhirnya aku selalu berbicara sendiri." keluh Benedict lalu menaruh batu permata itu ke dalam saku celananya.
Sampai keluar dari desa itu, Kevan tak menemukan apapun. Dalam hatinya ia berpikir, apakah ia hanya terlalu waspada?
***
Satu malam telah berlalu. Ini adalah pertama kalinya Kevan, Kayla, Yurisa, Nadine dan Rea bermalam di base camp yang dulunya merupakan tempat di mana organisasi yang dibangun oleh Benedict bermarkas. Seditaknya itu sebelum Kevan membantai mereka semua sendirian.
Meski mentari belum terlihat, namun langit telah mulai berwarna kebiruan. Seorang lelaki yang hanya mengenakan celana jogger panjang berwarna hitam tanpa atasan terlihat sedang meninju rangka mobil rongsok yang sepertinya telah meledak saat pertarungan kemarin.
Suara rongsokan rangka baja yang terus dipukul hingga reyot itu membangunkan Rea dari tidurnya.
Dengan wajah khas baru bangun tidurnya, Rea mengenyritkan matanya, mendapati Kevan yang sedang meninju rangka baja mobil rongrok di halaman depan base camp itu.
Rea melangkah mendekatinya.
Kevan menyadari kehadiran Rea, namun ia memilih untuk mengabaikannya.
Hingga pada akhirnya sebuah tangan melingkar di pinggangnya dari belakang. Kevan juga merasakan Rea sedang menyandarkan kepala di punggungnya.
"Apa yang kau lakukan?" tanya Kevan sembari berhenti meninju rangka baja mobil rongsok yang sudah ditinjunya sedari tadi.
"Memelukmu." balas Rea singkat dengan suara seraknya.
"Lepaskan."
"Tidak mau." Rea tetap memeluk erat tubuh Kevan dari belakang.
"Tubuhku penuh keringat. Kau tak mau menjadi lengket karena hal itu."
"Aku tak keberatan."
Mendengar Rea terus membantahnya membuat Kevan terkekeh pelan. Ia meraih kedua tangan Rea yang memeluk tubuhnya dari belakang, melonggarkan sedikit pelukan dari adik kesayangannya itu hingga memiliki sedikit ruang untuk berbalik.
Setelah Kevan berbalik, Rea kembali mengeratkan pelukannya pada tubuh Kevan. Kini kepala gadis itu bersandar pada dada Kevan.
"Jadi, kapan kau akan melepaskanku?"
Rea tak menjawabnya. Kevan tersenyum dan mengelus lembut kepala Rea.
Dari dalam bangunan base camp, Kayla melihat hal itu dengan jelas. Namun yang gadis itu lakukan hanyalah berdiri di tempatnya sekarang, merasa tak ingin mengganggu kedua kakak beradik itu yang sedang mengekspresikan rasa sayang mereka kepada satu sama lain.
Setelah memandang Kevan dan Rea selama beberapa saat, Kayla menggelengkan kepalanya. "Tidak. Mereka adalah saudara. Untuk apa aku cemburu? Lagi pula, kenapa juga aku harus cemburu? Apa hakku untuk merasakan hal itu?"
"Ya, memangnya apa hakmu?" tanya seseorang yang entah sejak kapan berdiri di belakang Kayla.
Kayla yang terkejut berbalik dan hampir terjatuh. Saat ia berbalik, ia mendapati Benedict berdiri di hadapannya.
"Huaaaaahhhhmmmmm~ ... Apa kalian selalu bangun sepagi ini?"
"O-oh ... Tidak."
Benedict mengarahkan pandangannya pada Kevan dan Rea. Ia bisa melihat bahwa Rea masih belum melepaskan pelukannya pada tubuh Kevan. "Jika mereka bukanlah adik dan kakak, aku akan memaksa Kevan menikahi Rea cepat-cepat."
"Huh?"
Benedict menoleh ke arah Kayla. "Tentu saja. Di zaman yang sudah kacau seperti ini, aku bahkan tak bisa memikirkan tentang hal-hal romantis sama sekali ... Mungkin aku masih bisa tertolong, tapi tidak dengan Kevan. Bajingan itu sudah tak bisa lagi diobati."
Kayla mengerutkan keningnya, "Apa maksudmu?"
"Apa Kevan tak pernah menceritakan masa lalunya kepadamu?"
Kayla menanggapinya dengan gelengan pelan.
"Kau bahkan tak tahu bahwa Kevan belum pernah berpacaran sebelumnya?"
"Tidak mungkin ... Tunggu ... Mungkin memang begitu." balas Kayla.
"Kau memercayainya? Kalian satu kampus, bukan? Bagaimana Kevan di kampus?"
Kayla menoleh kembali ke arah Kevan. "Awalnya aku tak percaya orang semenakutkan dan sesadis itu bisa menunjukkan kasih sayang yang sangat dalam untuk adiknya."
Mendengar apa yang Kayla katakan membuat Benedict tak bisa menahan tawanya. "Hahahahaha~ ... Dia memang selalu seperti itu dari dulu. Orang yang tak mengenalnya pasti tak tahu betapa lembut dan hanganya hatinya. Di luar dia memang terlihat seperti zombie mutant tampan yang telah bermutasi ke level tertinggi. Namun aku belum pernah menemukan orang dengan hati sehangat dan selembut Kevan sebelumnya."
Kayla terus memandang ke arah Kevan sambil mendengarkan apa yang Benedict katakan.
"Dia hanya tak bisa memercayai siapapun lagi setelah kejadian itu."
Kayla menoleh, "Kejadian apa?"
Benedict berbalik dan berjalan pergi. "Aku tak memiliki hak untuk menceritakan hal itu kepada siapapun. Jika kau penasaran, cobalah bertanya padanya sendiri."
Mendengar hal itu, Kayla tak bisa berbohong. Ia sangat penasaran dengan kejadian apa yang membuat Kevan menutup hatinya untuk semua orang kecuali adiknya sendiri.