webnovel

Perpisahan

Beberapa menit sebelumnya, sesuai rencana Akiko, Anton, Aris dan Anna bersiap di posisi mereka untuk memberi tembakkan bantuan pada grup Sutris.

Dedaunan kering menjadi alas bagi Akiko tengkurap, memperlakukan senapan sniper seperti guling kecil kesayangan. Dia mengeker gerak-gerik Sutris melalui teropong senapan.

"Belum mulai?" tegur Anna, singgah tengkurap di sebelah Akiko, tak mendapat tanggapan yang dia inginkan. 

Sementara itu suara cekakakan kecil Anton dan Aris mengusik mereka. Dua pemuda gagal berpaling dari dua pasang pantat menggoda di depan mereka. Sebagai lelaki normal mereka mengagumi bentuk menantang punya Anna dan punya Akiko, yang berukuran lebih kecil.

"Nah, tetap indah yang terbalut celana jeans. Pas ditangan," bisik Anton, terdengar begitu akrab dengan Aris. 

"Keduanya perfect," gumam Aris sambil duduk mengelus dagu. "Aku suka yang besar daripada yang mungil."

"Aku suka dua-duanya, tapi kalau disuruh memilih. Damn, yang kecil lebih nikmat."

Obrolan menjijikkan membuat gatal telinga Akiko, hingga dia menoleh ke belakang memasang wajah geram, memaksa keduanya menutup raoat bibir kotor mereka.  "Eh Babi boncel, diam." lalu kembali fokus ke target.

"Boleh kubunuh mereka sekarang?" gurau Anna, tak mendapat tanggapan Akiko. "Dengar, aku minta maaf karena menyerang kalian tempo hari. Ini perlombaan nyawa, lumrah jika aku melakukannya kan? Aku berterima kasih karena kalian tidak meninggalkanku begitu saja di sana. Bagaimana caraku meminta maafmu?"

"Terserah," jawab Akiko, bernada dingin. Dia mengerti dalam game billionaire, 'kau membunuh atau dibunuh', tapi ada jalan ke-tiga. Kau bertahan untuk tidak membunuh dan tidak dibunuh.

"Apa kamu benar-benar cemburu padaku?" sambung Anna, sambil fokus memakai binokular mengawasi target. "Oh Tuhan, kau benar-benar cemburu rupanya."

Bagaiman bisa Akiko mengaku di depan Anna. Mau ditaruh mana wajahnya kelak. "Fokus ke misi."

"Misimu dan Anton, aku hanya menjaga kalian. Ingat?"

"Apa mereka sudah sampai?" tanya Anton, tengkurap di sebelah Akiko dengan senapan snipernya. 

"Yup. Mereka mulai beraksi," jawab Anna, menarik binokular merangkak mundur ke sebelah Aris yang bersandar pohon besar. "Selamat bersenang-senang kalian." Dia berpaling pada bocah di sebelah. "Bagaimana keadaan sekitar, aman?"

Aris mengutak-atik laptop kesayangannya. Jari-jari lentik seperti berdisko di keyboard, suaranya ketukan terdengar nyaring. "Ada yang aneh. Beberapa titik mendekati kita dari utara, tapi sudah sepuluh menit mereka diam di sana."

"Biar kulihat." Anna memangku laptop Aris, fokus pada layar.

Terdapat tiga titik di dekat titik mereka, berjarak kira-kira dua ratus meter dari lokasi mereka saat ini. Memang aneh, jika mereka berniat menyerang harusnya bergerak sekarang, tapi tidak. Apa alasan mereka?

Anna berusaha menggerakkan kamera, tapi gagal. "Bagaimana menggunakan alat ini?"

"Kau mau apa? Perlu kode untuk menyuruh satelit USA bergerak." Aris memindah laptop ke pangkuan, mulai bekerja. 

"Sorot ke posisi Sutris."

"Tidak perlu," ucap Akiko. "Aku bisa mengawasi mereka. Kalian awasi saja sekitar kita. Aku tak ingin ada monyet yang menyerang kita dari belakang."

Beberapa menit berlalu, suara tembakan terdengar keras dari arah target menakuti beberapa burung, tapi suara keluh Akiko tak kalah keras. 

"Sialan, mereka lincah. Aku susah membidik mereka!"

"Kau bisa melihat mereka?" tanya Anton, sembari menembak.

"Ya, lihat siluet seorang dari mereka, fokus ke sana. Jadikan dirimu sebagai dirinya dan terka apa yang akan kau lakukan ketika berada dalam posisinya. Yes, mati satu!"

"Woah, lihat  Amerika datang pakai robot!" ujar Anton dengan hebohnya menepuk lengan Akiko. "Tembak robot itu!"

"Ya, aku berusaha. Sialan, bahkan peluru AT  gagal menembus robot terkutuk itu."

"Diamlah kalian," ujar Anna, mencoba mendengar sesuatu. Dia memejam supaya indera pendengarannya lebih fokus. 

Suara mesin semakin mendekat dari utara. Mulai terdengar suara dedaunan kering dilindas sesuatu.

Tiba tiba di depannya dan Aris melintas mobil mainan berwarna hitam, berbelok parkir di antara Akiko dan Anton. Lampu merah kecil di atas mobil mainan berkedip semakin keras.

"Akiko awas!" teriak Aris, melompat mundur bersama Anna.

Akiko reflek menggelinding ke samping menjauh dari Anton, tapi pria itu terlambat bereaksi.

Ledakan besar membuat badan Anton terpental. Bagian kiri badannya menjadi potongan kecil bermandi darah. Dia meronta menebar teror pada yang melihat.

Tiga mobil mainan datang dari utara. Akiko mengambil pistol, menembak satu persatu mobil mainan hingga meledak. 

Drone beterbangan, menembaki mereka dengan mini-gun. Aris merangkak ke balik pohon, tapi tiada satupun benda terbang menyerangnya. Target mereka Akiko. 

"Anna, bantu--Anna?" Aris menyapu bersih sekitar, mendaoati Anna berlari ke dalam semak-semak. "Anna! Tega kau meninggalkan kami di sini, Anna kembali!"

Sementara itu suara mini-gun memberondong Akiko. Pelurunya membelah dahan-dahan muda seperti guyuran hujan menerjang pasir. 

Akiko melompat ke belakang pohon, menembaki drone tapi gagal. Dia mendapati Anna menghilang di balik semak-semak. "Keparat, sudah kuduga dia wanita jahat."

Akiko kaget ketika drone melayang di hadapannya, dia membungkuk menghindari terjangan peluru. 

"Boncel, bantu bego!"

Sati drone terbang rendah hingga menyandung kaki Akiko, membuatnya terjungkal ke depan. Pistol Akiko terlempar ke depan. 

Dia merayap hendak menggapai, tapi memilih berguling ke samping ketika drone menembakinya. Kaki kanan Akiko terkena dua peluru, karena utu kelincahannya berkurang drastis. 

Dia terlentang, merangsek maju hingga tersandar pohon. "Aku menyerah. Aku menyerah. Cukup."

Tiga drone di sekitar Akiko tak bergerak, membuatnya heran.

"Mati kalian mesin idiot!" Aris memakai senapan sniper Akiko, menghantam satu drone dari belakang. Seperti pemain kasti, dia memukul drone kedua dan tiga, lalu menjatuhkan senjata.

"A-Akiko, a-apa yang bisa kulakukan?" tanya Aris, berjongkok di sebelah gadis itu, bingung harus apa.

Dia menekan luka di kaki Akiko supaya darah berhenti mengucur.

Namun, Akiko melengking kesakitan. "Jangan seperti itu, boncel!"

Aris menjambak rambut dengan tangan yang berlumur darah. "A-aku harus apa?"

"Keluarkan peluru, lalu cuci, taburi morphine, ikat dengan--"

"Aku tidak tahu, aku hanya vocah bukan dokter!" Aris melipat kaki, menangis sambil menelungkup. "Maaf, aku tidak tahu, maaf maaf. Ibu, Ibu."

"Bocah biadab jangan cengeng, ambil pisau sana, cepat!"

Namun Aris tetap menangis. Badannya tak henti bergetar. 

"Aris tolong!" Akiko hendak menendang bocah itu, tapi rasa sakit di luka menghentikannya. "Biadab, Aris! Kau lelaki bukan? Ayo, cepat, nanti … nanti aku kabulkan satu keinginanmu. Cepat!"

"Iya, sebentar!" Aris bangkit berlari mengambil pisau lipat, kembali menghampiri Akiko. 

"Sekarang ambil peluru di dalam lukaku, pelan-pelan."

Tangan Aris bergetar bergerak lambat. Berkali-kali dia menjatuhkan pisau. "Jangan salahkan aku jika salah tusuk."

"Paling matamu ku congkel. Ayo, kamu pasti bisa Boncel." Suara Akiko semakin lemah. Keringat dingin semakin deras bercucuran. "Cepat, sepertinya arteriku kena."

Jakun kecil Aris naik turun, tak yakin akan keberaniannya sendiri. Tiba-tiba badan Akiko melemas, ambruk terbaring di dedaunan kering.

"H-hei, Akiko. Hei bangun, jangan bercanda bodoh!" Aris menggoyang badan Akiko, tapi tak ada reaksi. Suara tangisnya semakin menggebu. "Akiko!"

****

Chapitre suivant