webnovel

Hadiah yang Tak Biasa

Ruri mendekati ke arah meja. Ia semakin bingung melihat benda-benda yang berjajar di atasnya. Ada rompi usang dengan banyak sobek di bagian depannya. Ada pisau kecil dan sedikit berkarat, benda panjang seperti tali pinggang dan masih ada benda lainnya.

"Sebagai orang baru, kamu boleh memilih lebih dulu!" ucap ayah dengan senyuman bangganya.

Dino dan Sesilia hanya bisa menatap cemas. Sepertinya mereka sudah memiliki benda incaran dan mereka terlalu takut kalau sampai benda itu jatuh ke tangan Ruri.

"Aku? Aku enggak tau benda apa ini, aku jadi bingung harus milih yang mana."

Ucapan lugu Ruri membuat semua orang tertawa geli. Terutama Sesilia dan Dino, mereka tertawa begitu kuat hingga memegangi perutnya.

"Kau kalah dengan Dino," ledek Sesilia yang masih saja melanjutkan tawanya.

"Ini rompi anti peluru, sedangkan ini gasper karet yang bisa melar cukup kuat. Kalau ini pisau angkatan yang bisa dengan mudah menghilangkan nyawa orang hanya dengan satu sayatan."

Ruri terbelalak, jakunnya bergerak naik turun. Seketika matanya mengatami wajah-wajah yang ada di sekitarnya.

"Apa kau takut, Ruri?" ledek Sesilia kembali. Ia tersenyum nakal layaknya psikopat yang menemukan mangsanya.

"Aku yakin, kamu enggak tau. Makanya aku membiarkanmu memilih lebih dulu. Baiklah, kalau kamu bingung biar aku yang memilihkan."

Ucapan Ayah kembali membuat suasana tegang. Sesilia dan Dino menatap serius ke arah meja, guna memastikan ayah tak memilih benda kesukaan mereka.

"Ini saja. Kamu lebih membutuhkan ini," ucap Ayah sembari membantu Ruri mengenakan rompi anti peluru. "Bagian dada kanan sudah sobek, tapi aku yakin Ibu bisa membantumu."

"Tapi, Yah. Pasti pengaman bagian dalamnya sudah rusak. Aku bisa ganti dengan lempengan besi tipis yang aku punya. Ayo!" seru Dino meminta Ruri mengikutinya.

Kini Ruri diajak mendekati meja. Ia mengira Dino menyimpan banyak alat di dalam lacinya. Tetapi Ruri salah. Ternyata saat laci dibuka terlihat cahaya hitam seperti menghadap ruang nan gelap.

"Ayo ikuti aku!" pinta Dino. Ia seketika masuk ke dalam laci yang berukuran cukup besar dan "Jleb!" Dino hilang. Ruri yang masih merasa bingung hanya memasukkan tangannya dan mulai merasa. Ia baru sadar ternyata itu pintu rahasia. Penasaran, Ruri sedikit membungkukkan tubuhnya dan mulai mengikuti Dino.

"Sssrreeeeet!"

Ruri melaju di atas sebuah prosotan dan kini ia mendarat di atas lantai semen dalam kamar kecil berukuran 2x2 meter.

"Wah!" seru Ruri dengan mulut menganga lebar. Terlihat jelas ada lemari berisi peralatan, di sebelahnya terdapat banyak robot buatan tangan Dino tersusun rapi di atas meja. Ruang itu lebih mirip bengkel ketimbang kamar.

"Apa kau tidur di sini?" tanya Ruri meragu.

"Yuhu!" jawab Dino sambil menunjukkan wajah sombongnya. Ia pun menekan sebuah tombol dan "Gresek, gresek, gresek" sesuatu bergerak, namun tak sampai menggoncangkan ruangan.

Dari arah dinding sebuah papan bergerak turun layaknya meja lipat. Di bagian atas papan terdapat tilam tipis dan sebuah bantal.

"Apa kau yang membuatnya?" tanya Ruri kian takjub. Tak henti-hentinya Ruri memandang ke arah Dino dan semua benda yang ada di sana. Sepertinya ia tak menyangka kalau Dino yang menciptakan ini semua.

"Aku sedang membuat proyek baru. Aku pastikan kau orang pertama yang melihatnya!" jelas Dino dengan senyum penuh keangkuhan.

Ruri masih saja takjub, ia tak mampu berkata-kata saat ini. Matanya terus menunjukkan kekaguman, terlebih setelah ia melihat dari dekat semua benda ciptaan Dino. Beberapa alat terlihat tak asing, namun banyak pula yang sepertinya buatan tangan.

Ruri begitu asik tenggelam dalam barang ciptaan Dino, sedangkan Dino sibuk memasang benda untuk melindungi bagian dada kanan yang sobek.

"Ctak!"

Ruri tanpa sengaja menekan sesuatu dan sebuah layar menyala ke arah dinding.

"Apa ini proyektor?" tanya Ruri. Matanya sibuk mencari alat yang tak sengaja tersentuh kakinya.

"Yah, begitulah! Itu proyekku yang baru. Aku tidak yakin kau tau benda apa itu," ucap Dino dengan angkuhnya. Ia hanya tersenyum tipis, namun matanya begitu asik melanjutkan pekerjaan.

"Ini, ini bukannya ...."

Ucapan Ruri terhenti setelah sebuah dinding terbuka. Ternyata itu Ayah yang sengaja datang melihat keadaan keduanya.

"Itu pintu?" tanya Ruri bingung.

"Yah, ini hanya kamuflase buatan Dino. Aku tidak bisa masuk jika melalui laci. Kau lihat sendiri kan, tubuhku yang besar ini," ucap Ayah dengan senyum bangganya.

"Tetap saja, ini keren. Aku ingin Dino mengajariku. Meskipun aku tidak tahu apa kemampuanku," ungkap Ruri dengan nada yang melemah.

"Kau bisa meminta bimbingan salah satu dari kami. Kau hanya belum mengetahui apa kelebihan kami. Iya kan, Dino?" ucap Ayah.

Dino tersenyum dan mengangguk. Keduanya saling bersahutan dengan kedipan mata. Membuat Ruri semakin bingung dan penasaran.

"Ayah tau, kau pasti menginginkan ini!" ucap pria itu sembari menyerahkan gasper karet kepada Dino.

"Iyes!" seru Dino riang. Ia segera mengambil gasper itu dan mulai melilitkan pada badan dan ia meminta Ruri mengikutinya untuk melakukan uji coba.

"Apa yang akan kau lakukan?" tanya Ruri cemas, kala melihat Dino berdiri di atas loteng sembari menyangkutkan bagian besi gasper pada sebuah kayu tua.

"Lihatlah!" pintu Dino yang seketika melompat.

"Hei!" teriak Ruri kaget. Ia segera mendekati ujung loteng dan melihat Dino asik bersantai tergantung dengan gasper yang menahan erat tubuhnya.

"Apa hanya itu fungsinya?" tanya Ruri kesal. Ia yang sedari tadi merasa kagum kepada Dino pun mulai sadar kalau Dino hanyalah anak kecil yang suka bermain dan menciptakan sesuatu.

"Kau hanya belum tau betapa hebat alat ini!" teriak Dino yang mendadak merasa kesal dengan ucapan Ruri.

Ruri memutuskan untuk kembali turun dengan menggunakan tangga dan meninggalkan Dino begitu saja. Tetapi yang membuat Ruri kaget, Dino sudah lebih dulu tiba di dalam ruangan. seakan ia bisa timbul dan menghilang seperti hantu.

"Kau?" tanya Ruri dengan bibir menanjak tinggi.

"Kan sudah aku bilang, kau hanya belum tau fungsi alat ini," jawab Dino penuh kesombongan.

Malam itu Ruri memutuskan untuk kembali ke rumah sakit. Ia tidak ingin suster Lita dan Dokter Leo menghawatirkan keadaannya. Masih banyak hal yang harus ia selidiki dari rumah sakit itu. Tanpa sepengetahuan penghuni rumah, Ruri memutuskan pergi secara diam-diam.

Saat berada di perjalanan menuju rumah sakit, Ruri yang kini berjalan kaki melihat keberadan suster Lita. Ia bersama dua orang pria berjas hitam terlibat pembicaraan serius. Merasa penasaran akan pembahasan mereka, Ruri memutuskan untuk mendekatkan diri. Ia sengaja berjalan memasuki lorong dan bersembunyi dibalik paggar salah satu rumah.

"Aku akan melakukan apapun, tapi aku mohon jangan sakiti ayahku!" ucap suster Lita. Nada suaranya parau, sepertinya ia tengah memohon sambil menahan tangis.

"Jangan pernah kabur dari kami, karena itu akan sia-sia. Kau harus menurut dan bekerja sama, jika tidak ingin terjadi hal buruk pada ayahmu!" ucap salah satu pria.

Suster Lita hanya bisa mengangguk sendu. Kedua pria berjas hitam itu lantas pergi meninggalkan suster Lita dengan mobil sedan warna hitam. Berniat menghampiri suster Lita dan menanyakan apa yang terjadi, Ruri kaget melihat sebuah mobil melaju kencang ke arah wanita baik itu.

"Suster!" teriak Ruri. Namun, sayang mobil itu lebih dulu menghantam tubuh suster Lita. Lalu memutuskan kabur begitu saja.

"Sus, bertahanlah!" pinta Ruri dengan tatapan cemas. Ia berniat menelpon rumah sakit tempat dimana suster Lita bekerja. Namun, suster Lita menahannya. Ia menunjukkan sebuah kartu nama yang bertuliskan alamat sebuah klinik keci.

Chapitre suivant