webnovel

Keluarga Yang Aneh

"Hei! Masuklah! Aku hanya bercanda," jelas pria besar yang digelari Ayah.

"Ayolah Ruri! Apa kau takut melihatnya? Dia Ayah yang baik. Kau pasti akan betah tinggal di keluarga ini," ucap Sesilia dengan bangganya. Berjalan meninggalkan Ruri yang masih berdiri mematung di depan pintu. Ia masih sangat tidak mengerti akan apa yang ia lihat.

Pria berkulit hitam berfisik tinggi tegap dan seorang wanita dewasa berkulit putih pucat layaknya kulit Asia dengan matanya yang cipit. Sedangkan Sesilia, kulitnya kuning dengan beberapa binting hitam di dadanya, berambut blonde dan sangat pirang.

"Apa menurutmu, seorang anak hollywood bisa terlahir dari ayah Afrika dan Ibu Asia?" gumamnya dengan mata yang menatap tak berkedip.

"Masuklah! Aku tau kau memiliki banyak pertanyaan. Kau bisa bertanya nanti setelah menikmati teh buatan Ibu," ungkap pria besar itu sambil merangkulkan tangan kanannya di leher Ruri.

"Ah, ya, oke," jawabnya kaku. Tak ada pilihan lain selain masuk dan menurut kepada mereka. Meski terlihat menakutkan, namun pria itu sangat ramah dan hangat. Setidaknya itulah yang Ruri rasakan setelah cukup kaget melihat pria itu membuka pintu untuk mereka.

"Duduklah sayang! Panggil saja aku Ibu," ungkap wanita Asia dengan rambut pendek yang melengkung ke dalam. Manis dan ramah, mereka begitu akrab meski tak terlihat seperti sebuah keluarga.

"Siapa namamu?" tanya pria kecil kira-kira berusia lima belas tahun.

"Dia lupa ingatan dan jangan mencandainya!" teriak Sesilia yang kini kembali bergabung setelah berganti pakaian.

Ruri hanya bisa menatap Sesilia dengan wajah terpanah, gadis itu sangat berubah. Ia kini terlihat cantik, anggun dan sangat manis. Berbeda sekali dengan Sesilia yang baru saja ia temui. Bergaya sangat tomboy dengan celana lea panjang dan jaket bahan lea. Bertopi dengan rambut yang disanggul ke dalam.

"Dia cantik bukan?" tanya Ayah dengan tatapan menggoda.

"Hati-hatilah! Dia iblis yang bergaun bagus. Jangan sampai kau tergoda," bisik pemuda kecil tepat di telinga Ruri.

"Dino! Pergi kau!" teriak Sesilia dengan kesalnya. Wajahnya memerah, dengan kedua tangan mengepal.

"Santai aja, mereka emang suka bertengkar. Kau tau, tanpa salah satu dari mereka, rumah ini akan terasa sepi," ucap Ayah sambil menyerahkan gelas kosong di hadapan Ruri untuk memudahkan Ibu menuangkan teh.

Ruri masih saja diam dan terus mengamati mereka. Sesaat ia terhanyut akan kedamaian yang diperlihatkan mereka. Semua itu terasa sangat menyentuh, hingga membuatnya tak merasa asing berada di antara mereka.

"Sesilia, biar Ayah yang menemani Ruri. Kau boleh pergi ke kamar untuk melanjutkan pekerjaanmu!" ucap Ayah dengan tegas. Sesilia terlihat menurut dan kembali melangkah pergi begitu saja. Ia menghela napas berat dari mulutnya sambil berucap, "Baiklah!"

"Eh, tunggu!" ucap Ruri yang masih tidak mengerti akan tujuan dirinya dibawa ke tempat ini.

"Tenanglah, bawa tehmu dan ikut aku!" pinta Ayah sembari merangkul leher Ruri. Lagi-lagi Ruri terpaksa berdiri dan melangkah mengikuti arah pria itu. Dengan tangan memegang secangkir teh, Ruri mencoba tenang dan terus memperhatikan sekitaran.

"Duduk dan lihatlah! Cantik bukan?" ucapnya sembari menunjukkan halaman dengan tumbuhan yang hijau. Rumput yang segar dan sinar matahari yang indah, namun tidak menyengat. Pepohonan dengan banyak buah yang tumbuh. Tidak banyak, namun beragam. Setidaknya ada pohon apel, jeruk, stawbery, pisang dan pepaya.

"Kau tau, Sesilia sangat menyukai jeruk, Dino suka pepaya dan aku suka apel, sedangkan Ibu suka stawbery. Entah apa yang ia suka dari buah asam itu. Namun ... aku menanam semua pohon ini karena ini kesukaan kami," jelasnya sembari menatap pohon dengan tatapan bangga. Bibirnya tersenyum, ia terlihat begitu senang. Tetapi ada yang mengganjal, rona matanya menunjukkan kesedihan yang terpendam. Namun, Ruri terlalu takut untuk menanyakan perihal kesedihan itu.

"Tunggu, pisang. Siapa yang suka pisang?" tanya Ruri yang seketika tersadar akan keberadaan pohon pisang yang juga tumbuh di sana.

"Itu kesukaan Mimi."

"Mimi? Dimana dia?" tanya Ruri yang terlihat penasaran akan sosok itu.

"Dia ada di sampingmu," jelas Ayah sembari menunjuk ke arah kanan Ruri.

Ruri kaget dan segera melihat ke arah samping. Terlihat seekor monyet duduk di tangan kursi, menatap ke arahnya dengan tatapan berbinar, diikuti senyuman yang sangat terkembang, hingga memperlihatkan giginya yang rapat.

"Ya Tuhan ... ternyata kau Mimi!" ungkapnya geli, karna menyadari jika Mimi adalah seekor monyet.

"Dia monyet yang ramah dan baik, hingga kami memutuskan untuk menjadikannya bagian dari keluarga kami," jelas Ayah yang kemudian menjulurkan telapak tangannya, lalu seketika Mimi melompat ke atasnya dan kini sudah berada di pundak kanan Ayah.

Kebisingan terdengar dari arah dalam. Ternyata itu Dino yang tengah marah dengan suara tinggi. Ia berbicara cukup kuat, hingga mengganggu pembicaraan Ayah dan Ruri.

"Sampai kapan? Aku ingin tau semuanya. Sudah berapa lama aku di sini dan aku masih belum mendapatkan kabar tentang keluargaku!" teriaknya sambil terisak.

Ruri yang merasa penasaran pun mencuri dengar apa yang Dino katakan. Ia terdiam dan melirik ke arah Ayah dengan wajah kaku. Sikapnya membuat Ayah mengerti dan ia tersenyum tipis sambil menunjukkan wajah sedihnya.

"Aku tau apa yang ada di pikiranmu," ucap Ayah sambil menatap Ruri.

Ruri hanya diam dan menelan ludah, jakunnya bergerak turun dan naik sangat dalam.

"Dino! Kemarilah!" pinta Ayah sambil mengarahkan bibirnya ke dalam pintu.

Suara Dino terhenti, kini ia telah berdiri di pintu tepat di samping Ayah.

"Duduklah!" pinta Ayah dan segera dituruti oleh Dino.

Dino duduk di kursi kayu kecil buatan Ayah. Menunjukkan raut kesedihan berselimut rasa bersalah. Merunduk, sesekali ia menatap ke arah Ayah dan Ruri bergantian. Suasana yang canggung dan Ruri terjebak di dalamnya. Tidak tau apa yang harus Ruri lakukan. Hanya bisa diam dan menunggu mereka berbicara.

"Kami bukan keluarga," ungkap Ayah dengan nada yang sangat pelan. Namun, ucapannya itu begitu jelas, membuat Ruri kaget dan kembali merasakan takut. Ia menatap Ayah dengan mata yang membulat dan tubuh yang bergetar.

"Tenang saja ... kita semua sama. Sama-sama korban. Hanya saja bedanya, aku kehilangan anakku, sedangkan Ibu kehilangan suaminya, begitu pula Dino yang kehilangan kedua orang tuanya dan Sesilia kehilangan Kakaknya. Mereka semua hilang begitu saja, tanpa jejak, tanpa membawa barang, tanpa tanda apapun. Tidak ada pertengkaran dan kejadian buruk sebelum mereka menghilang. Itulah mengapa kami mengira bahwa keluarga kami hanyalah korban dari kejahatan, pembunuhan, penculikan dan sejenisnya. Namu, kami salah. Keluarga kami tidak pernah ditemukan, keluarga kami tidak pernah ada kabar meskipun kabar kematiannya. Yah, itulah mengapa kami berkumpul dan memutuskan untuk menjadi keluarga," jelas Ayah dengan kedua mata yang berkaca-kaca.

Chapitre suivant