webnovel

"DASAR GAY...!!!"

"Apa kau mau mandi? Biar ku panaskan air." Tawar Tio pada Bian sewaktu keduanya baru saja memasuki rumah.

"Tidak." Perhatian Tio yang malah di balas sewot.

"Ku pikir kau akan tidur nyenyak jika sudah bebersih."

"Masa bodo."

Tio yang menghela napas, menepis sepatu kotor yang melayang nyaris mengenai wajahnya. Makin risih saat tubuh penuh keringat yang mengendal di kulit itu naik ke atas ranjang. Sangat jorok.

"Bi-" Tio menghentikan ucapannya yang berusaha menasehati. Cukup tau jika raut memberenggut dari wajah kecil itu masih terus meluapkan kekesalannya sejak tadi.

Dengan penuh kesabaran, memunguti pakaian Bian yang di lempar sembarangan, bantu meletakkannya di keranjang kotor. Pria mungil yang nampak malas-malasan itu menyembunyikan tubuh polosnya di balik selimut. Memejamkan mata terlalu erat, memaksanya menghentikan segera percakapan satu pihak mereka. Tak bodoh juga untuk Tio mengulik alasan mood buruk Bian saat ini.

"Kau lapar? Mungkin aku bisa mencarikan mu sesuatu-"

"Tidak, aku hanya ingin tidur."

Tak melepas bentuk rutinitas perhatiannya begitu saja. Sampai Tio yang masih tak bisa mengabaikan satu pertanyaan yang mengganggunya dari cerita Bian kemarin. Bibirnya gatal.

"Ehmm... Bi, apa aku boleh tanya sesuatu?"

"Erghh... Apa?!" Bian yang frustasi, selimut yang seperti berkibar akibat kedua kakinya yang menendang-nendang.

"Orang yang paling kau benci, karena kau tak sanggup untuk menyainginya, kan?"

Seketika pandangan Bian menyasar tajam. Pertanyaan yang terlalu sensitif, Tio yang jelas tak tau seberapa sakit hatinya Bian menghadapi kenyataan yang terlalu di perjelas itu.

Bughh

Melempar guling dengan mata melotot tajam. "Errghh...! Apa aku terlihat bersedia untuk menjawab pertanyaan mu?!"

"Ehm... I-tu-"

"Diam. Jangan menambah buruk suasana hati ku. Bukan tak mungkin kau akan ku benci karena mulut mu yang terlalu berisik. Sangat mengganggu."

Deg

Jantung Tio yang seketika berdentum begitu kencang, dadanya yang sampai terasa sakit.

Bian dengan suara yang begitu rendah. Pandangan berkobar-kobar sampai di detik-detik sebelum berpaling, Tio jelas-jelas melihat bola mata itu sayu, nampak berkaca-kaca.

Salah, rupanya niatannya untuk makin mempererat kualitas persahabatan mereka masih tak menemukan jalan. Bian masih terlalu tertutup untuk menceritakan segala perih yang di milikinya. Enam tahun seolah hanya angka tanpa arti. Kehidupan mereka yang bahkan kini di katakan seatap masih tak menjadi pertimbangan betapa ia bisa di percaya.

Tio hanya tau jika Bian sosok yang begitu kuat, bermulut pedas, merepotkan, juga mudah terangsang terhadap pria tampan kaya raya. Meski akhir-akhir ini mereka tak berada di lubang perselisihan di mana dirinya menjelma sebagai seseorang yang begitu suci sampai mengomeli Bian yang akan menjual diri, situasi baik di kehidupan sehat rupanya tak ada bedanya. Bian malah seperti makin kalut dalam permasalahan masa lalu. Bertambah sensitif seolah merasa diri cacat dalam segala hal.

Walaupun Tio juga tak membenarkan jika seks bebas adalah pengalihan Bian yang cukup efektif menarik keuntungan. Pada dasarnya Bian butuh seseorang yang tulus untuk menjadi milik sahabatnya itu satu-satunya.

"Ya, tapi jika kau bisa membuka hati untuk menerima seseorang dengan sepenuh hati." Pikir Tio.

Perkara sulit jika hati masih tak mampu menghapus bagian-bagian tak penting dari yang lalu-lalu.

Sedikit tak ada bedanya dari seorang pria yang terbelit luka lama yang nyaris mustahil di sembuhkan. Definisi hidup seolah hanya di artikan sebagai hari-hari yang membosankan sampai menunggu habis masanya jadi penghuni bumi.

Di sebuah ruangan besar, perabot mewah, temaram, dengan ranjang besar yang di isi dua insan penuh napsu.

Satu per satu lapis pakaian sang wanita di kupas habis sampai hanya menyisahakan celana dalam mini yang tak mampu menyembunyikan garis miss v nya.

Di dorong supaya telungkup, dengan garis punggungnya yang di kecup. Sampai garis batas terbawah, sang pria yang kemudian menarik turun kain tipis itu, menggigit bokong sintal dengan keras sampai membuat wanitanya terpekik kegirangan.

"Ahh... Eungghh... Di sana, sayang..."

Bagian-bagian yang tak ingin di lewatkan seinchi pun. Sang wanita kembali di sentak untuk telentang, kali ini payudaranya yang di remas-remas, di isap kuat berharap air susu keluar dari putingnya.

"Eunghh... Remas... Remas lebih keras... Erggh!"

Sang wanita yang melenguh kenikmatan setiap prianya menggerayah. Terkungkung erat, serta jemari besar yang terasa begitu mencekik habis pertahanannya.

Sentuhan kasar, menyasar titik-titik sensitif kewanitaannya dengan begitu agresif. Menyerahkan diri sepenuhnya untuk di sakiti dalam artian ternikmat.

Membuka kaki lebar-lebar saat merasakan sesuatu yang begitu besar terasa mengguncang inti terdalamnya. Mengangkat pinggul dan menggosok-gosokkan tanda gairah keduanya. Siap untuk di rojok habis-habisan.

"Ahh... Eungghh... Ya-ya, Tuan...!"

Sampai titik di mana sang wanita frustasi. Prianya terlalu lama bermain-main. Tangannya yang malah di tepis saat merasa jengah harus terus-terusan mengira-ngira tubuh atletis di balik kain pakaian itu. Sementara usahanya untuk sedikit mengimbangi malah di abaikan.

"Cium aku, sayang- akh!"

Tak di kira jika sang pria sampai harus sekasar itu, tangannya yang coba bantu mempertemukan bibir keduanya malah di cengkram erat sebelum di hempaskan.

Tubuh yang awalnya begitu menempel, mendadak di hadapkan pada jarak yang terlalu lebar saat pria itu buru-buru bangkit dari atas ranjang. Buang muka, mengacak surainya seolah begitu menyesali nyaris tiga puluh menit kemesraan mereka.

"Kau boleh pergi."

Dan kali ini, pria itu secara frontal meluapkan rasa jijiknya? Apa sebegitu buruk dirinya?

Masih berusaha tersenyum, sang wanita kemudian bangkit, coba meraih lengan sang pria untuk membujuk.

"Kenapa? Bahkan anda belum sempat mencoba vagi** saya yang sudah sangat basah."

"Maaf, tiba-tiba saja aku tak bergairah."

Plakk

Tamparan keras pun di layangkan pada sang pria.

"Ucapan anda benar-benar melukai perasaan saya, tuan."

"Sepertinya kau terlalu ambil hati, merasa bisa mendapatkan ku hanya karena dua kali ku sewa."

"Kau-!"

Sampai sang wanita di buat bungkam. Pria kaya itu sudah menunjukkan jelas posisi rendahannya.

"Tak perlu menggunakan suara tinggi. Tenang saja, bayaran mu untuk ini pasti ku kirim."

Sebelum makin di injak-injak, tak ingin pula rugi lebih banyak, mau tak mau mengemasi pakaiannya yang berserakan. Harga dirinya hancur berkeping-keping. Pergi dengan bersungut-sungut.

"Hei!"

"Iyah...?" Sampai di ambang pintu, wanita itu berpaling, berubah ekspresi begitu cepat. Masih begitu mengharapkan malam dahsyat bersama pria yang pernah menggempurnya habis-habisan.

"Apakah kau punya kenalan pria manis? Ku rasa, aku ingin mencoba variasi baru."

Bukan, bukan sebuah permintaan atas desakan gairah yang kembali timbul. Bukan pula sebuah ucapan perpisahan yang manis karena telah menggoreskan luka di hatinya beberapa menit lalu. Yang tak di sangka-sangka, melainkan pengakuan yang membuat sang wanita tertipu mentah-mentah.

"DASAR GAY...!!!"

Chapitre suivant