webnovel

Begin again

Juwita menarik pelatuk pistol di genggaman tangan, tak lama kemudian sebuah peluru melesat keluar bersamaan dengan terdengarnya suara tembakan. Gadis itu tersenyum senang ketika matanya mendapati pelurunya tepat mengenai objek tembakan.

"Good Juwita, akhirnya setelah sekian lama," Yuki tersenyum lebar, bertepuk tangan dengan heboh, "Sekarang objek bergerak,"

"Susah deh kayaknya,"

"Coba aja dulu,"

"Oke,"

Brakkk

Pintu ruangan terbuka secara kasar, menampakkan sosok Arjun dengan napasnya yang terengah-engah, "Girls,"

Juwita dan Yuki menoleh pada saat yang bersamaan.

"Apa?"

"Yeri, Bima, sama Yuda di pindahin ke markas 5,"

"Damn, kenapa nggak ada yang ngasih tau gue," jerit Juwita kesal, "Apa-apaan banget, nggak! Nggak setuju gue, main pindah-pindahin aja,"

"Kelompok udah di bagi, dan sebagian besar anggota kelompok mereka ada di markas 5, jadinya mereka pindah ke sana," Arjun segera mencekal lengan gadis itu.

"Mereka udah berangkat?"

"Udah Ki, barusan, gue kira kalian udah tau,"

"Shit, biar gue nemuin ketua markas," sungut Juwita.

"Udah, jangan emosi gitu, weekend kita masih bisa ketemu mereka sebelum misi di mulai,"

"Masih 3 hari lagi! Kelamaan,"

"Cukup buat lo latihan nembak," acuh Yuki, "Gue mau cek anggota kelompok dulu,"

"Kita berempat, satu kelompok,"

"Oh?" gadis itu menoleh menatap sepupunya, "Not bad,"

"Lo cek aja anggota yang laen, kayaknya mereka udah sampe sini," balas Arjun.

"Jumlah anggota kelompoknya kan 10, nah dari markas 1 cuma kita berempat, kok sisanya yang ke sini?" tanya Juwita mengernyit dalam.

"Markas dua sampe lima udah ke pake semua,"

"Berapa sih jumlah kelompoknya? Ribet amat," gerutu Yuki.

"Jumlah semuanya ada 5 kelompok,"

"Cuma segitu?"

"Yang ikut misi ini cuma remaja umur 17 sampe 20, lo bayangin aja dengan kebanyakan orang jadi zombie masih ada berapa remaja umur segitu dari kota kita?" Arjun mendesah berat, "Gue bahkan nggak yakin jumlahnya bisa sampe 50,"

"Gue masih nggak habis pikir sama bom nya, dasar the horse nggak ada akhlak," gerutu Juwita, melemparkan pistolnya asal, lalu merebahkan tubuhnya di lantai lapangan indoor.

"Nah eta, yang gue nggak habis pikir, coba aja bayangin Om Alan sama Pak Andri nggak evakuasi mereka? Habis udah manusia di kota kita," sinis Yuki, "Dahla gue keluar dulu, jangan melakukan hal nggak senooh kalian,"

"Emang gue lo,"

"Sorry aja pantang gue mah,"

***

"Mereka anggota kelompok kita?" tanya Yuki berjalan mendekati Lucas dengan tangan terlipat di depan dada.

"Iya,"

"Hmm," gadis itu menatap satu per satu sosok asing di hadapannya, "Ada yang bisa pake pistol?"

Hening.

Tidak ada barang satu pun diantara mereka yang bergerak bahkan hanya sekedar mengangkat tangan.

Yuki mendengus sebal, "Oke gue ganti pertanyaannya, ada yang bisa pake senjata?"

"Saya kak, saya bisa pakai samurai," salah satu pemuda dengan tinggi menjulang menjawab.

Yuki menunduk, "Mark,"

"Jangan nangis, rusak image lo ntar di depan junior," bisik Lucas.

"Shut up," balas gadis itu tanpa menoleh, "Oke ada lagi?"

"Saya, saya bisa pakai panah,"

"Panah? Menarik," Lucas mengangguk, "Selain itu? Ada lagi?"

"Nggak ada," tukas Yuki, "Sekarang perkenalkan diri kalian dulu, sebelum itu perkenalkan nama saya Yuki, dan dia, Lucas,"

"Halo," Lucas tersenyum singkat, "Silahkan perkenalkan diri kalian,"

"Perkenalkan saya Felicia, 17 tahun,"

"Saya Felix, 17 tahun,"

"Saya Bintang, 17 tahun,"

"Saya Juna, 17 tahun,"

"Saya Nancy, 17 tahun,"

"Glen, 17 tahun,"

"Oke, sebelum ini apa kalian sudah mengikuti latihan menggunakan senjata?"

"Tidak,"

"Dari markas berapa kalian?" sentak Arjun kesal cukup membuat 8 sosok di ruangan itu terlonjak kaget, "Saya tanya sekali lagi dari markas mana kalian?"

"Markas 3,"

"Markas 3? Kok belum dapet pelatihan?" Juwita menatap Yuki penuh tanya.

"Ah gue tau," Arjun tersenyum miring, "Mereka termasuk warga evakuasi dini,"

"Oh? Anak-anak keluarga konglomerat? Gue bahkan nggak yakin mereka bakalan bisa balik hidup-hidup setelah misi ini selesai," Juwita menyeringai, "Misi ini berbahaya, yang kita lawan nggak cuma manusia inget?"

"Tahan emosi kalian," Dirga memasuki ruangan dengan berkacak pinggang, "Masih ada waktu tiga hari, cukup buat sekedar ngajarin mereka nembak,"

"Bang, Juwita aja butuh waktu hampir sebulan penuh buat tembakannya ngenai objek diam," sungut Arjun.

"Iya tapi dia nggak pernah meleset kalo matanya di tutup,"

"Gue nggak bakalan segila itu biarin Juwita nembakin para zombie di saat dia di tutup matanya," Arjun membuang muka.

"Seenggaknya gue nggak meleset kalo nembak zombie,"

"Ya karena insting lo bagus," Dirga menepuk bahu gadis itu pelan, "Ayolah, gimanapun mereka sekarang kelompok kalian,"

Arjun mendengus, "Jumlah latihan kita 5 hari sama weekend, gue tau kalian anak-anak manja yang suka berlindung di ketek nyokap, jadi tolong buang sifat kalian itu oke?"

"Maksud lo apa ngomong gitu," Glen menarik kerah baju Arjun dengan emosi, lalu mendorong pemuda itu hingga tersudut tembok, "Kalo ngomong nggak usah seenaknya,"

Arjun menyeringai, menatap pemuda itu tanpa gentar, "Emang kenyataannya begitu dude, kalo enggak, kenapa kalian nggak belajar senjata? Takut? Nggak di bolehin? Cih dasar manja,"

"Jaga omongan lo fuck,"

Bugh

Juwita merjengit kaget melihat Arjun yang tersungkur setelah mendapat bogeman mentah dari Glen.

"Oh gitu? Boleh juga,"

Bugh

Arjun balas memukul pemuda yang lebih muda darinya itu hingga terhempas beberapa meter.

"Udah! Ini bukan arena tubir!" Lucas memekik kesal, menarik kerah baju bagian belakang milik temannya keluar ruangan, "Yang lain, tolong obatin dia, kasian,"

Yuki menghela napas, "Kompres dulu memarnya!"

"Iya gue tau," Juwita menjawab dari luar ruangan, "Nah oke Glen, lo ikut gue ke ruang kesehatan,"

"Nggak perlu, gue bisa obatin sendiri," pemuda itu dengan dingin menjawab.

"Ini bukan masalah lo bisa apa nggak! Udah buruan ikut aja susahnya apa sih?" sentak Yuki kesal, "Gue lagi nggak mau marah-marah, jadi jangan bikin mood gue makin jelek,"

"Biar gue sama Felix ya bawa dia kak," Juna menyahut, "Dia agak keras orangnya,"

"Oke, bawa aja," Yuki mempersilahkan, segera melangkahkan kaki keluar ruangan.

"Yuki!"

"Kak Maurine? Kenapa kak?"

"Gara, dia demam tinggi!"

"Hah?" Yuki melotot, "Sekarang dia di mana? Astaga kok bisa,"

"Tenang Ki tenang," Profesor Alan berjalan mendekati gadis itu, "Demam itu wajar bagi anak kecil,"

"Tapi om--"

"Gara nggak papa, kakak cuma mau ngasih tau aja, maaf malah bikin kamu khawatir,"

"Nggak papa kok kak, makasih udah ngasih tau,"

"Iya sama-sama, sekarang mending kamu obatin dia dulu, baru ke Gara," Maurine menunjuk Glen dengan dagunya.

"Oh astaga iya lupa, Yuki pergi dulu ya Kak, Om,"

"Iya,"

Chapitre suivant