Kejadian itu benar–benar membuatnya terpuruk. Ia seolah jatuh ke sebuah lembah yang dikelilingi tebing tinggi dan tak tau lagi harus berbuat apa. Hatinya hancur berkeping-keping. Tangguh yang amat ingin membahagiakan orang tuannya dengan prestasi di sekolah, justru harus dikeluarkan dari sekolah. Cita-citanya untuk menjadi ilmuan hebat jatuh dan menghilang seiring derai air mata yang menetes dari sudut matanya. Ini betul–betul kenyataan yang tak bisa ia terima. Ia mencoba berpikir tentang apa yang terjadi dan siapa yang memfitnahnya hingga membuatnya dikeluarkan dari sekolah, "Pasti mereka bertiga," pikir Tangguh menduga Badrun, Jamal, dan Tohir yang memfitnahnya.
Namun ia tak bisa berbuat apa–apa. Ibarat daun yang jatuh tertiup angin. Ia hanya bisa memendam kebencian yang tak terungkap pada mereka tanpa pernah bisa meluapkannya.
***
Siang itu, setelah resmi dikeluarkan dari sekolah, ia berjalan menelusuri jalan tanah berbatu, pulang dengan rasa galau yang begitu berkecamuk dalam hatinya. Di tengah perjalanan, langkah kakinya melemah, ditundukkan kepalanya. Ia bingung apa yang harus ia katakan pada orang tuanya. Bagaimana ia harus menjawab pertanyaan orang tuanya ketika ia pulang sekolah, bagaimana ia harus menyembunyikan kesedihannya. Ia tak ingin melihat wajah ayahnya yang selalu bersahaja walaupun lelah bekerja berubah menjadi kekecewaan, ia tak sanggup melihat wajah ibunya yang penuh harap akan dirinya berubah menjadi wajah yang penuh kesedihan. Akhirnya ia urungkan niatnya tuk pulang ke rumah. Tangguh mengalihkan jalannya tak tau ke mana arah. Yang pasti ia enggan pulang ke rumah.
Langkah demi langkah dijalaninya, hingga ia berada di pantai. Ia memanjat batu karang di tepi laut dan duduk merenung sembari melihat ombak yang terus menghempas batu itu. Biasanya di tempat ini ia berdiri tuk meyakinkan dirinya adalah anak yang Tangguh.
Ia berdiri di atas batu karang, rasanya ingin teriak sekeras-kerasnya, di hadapan lautan yang terbentang luas, di hadapan langit biru yang terhampar tanpa satupun tiang yang menyangga. Dan membiarkan angin yang berdesir membawa kata-kata dalam teriakannya. Ia melihat ke bawah sana. Masalah yang berkecamuk dalam batinnya membuatnya sempat berpikir untuk mengakhiri cerita ini dan melebur bersama ombak yang deras. Namun ia mengurungkan niat gilanya itu.
Waktu berganti waktu, dan ia masih duduk merenung di sana. Membiarkan angin yang membawa butiran-butiran air laut menerpa wajahnya. Ia duduk di atas batu karang hingga matahari mulai tergelincir dan terlihat seperti tenggelam bersama lautan. Ia berdiri di ujung karang, memandangi mentari senja yang tenggelam dengan pikiran yang kosong. Pandangannya perlahan kabur dan tubuhnya melemah. Kemudian ia terjatuh tak sadarkan diri dari batu karang setinggi atap rumah itu ke lautan. Seketika itu ia menyatu dengan bui dan deburan ombak.
Mentalnya saat ini tak seperti batu karang yang kuat diterpa ombak. Masalah yang menimpanya telah mengalahkannya hingga ia tak berani pulang ke rumah, kemudian terjatuh ke dalam deburan ombak yang deras. Ombak membawanya terombang–ambing sampai ke tengah lautan. Ia tak sadarkan diri. Namun ajaibnya, ia tetap terapung di lautan.
***
Di tempat yang lain, Tono dan Tini mondar mandir di ruangan rumahnya. Mereka kebingungan karena hingga jam 10 malam, Tangguh, anak mereka satu-satunya, tak pulang juga. Biasanya siang hari ia sudah pulang dari sekolah. Mereka berdua sangat khawatir.
Mereka keluar rumah di tengah hujan rintik–rintik. Berbekal payung dan senter untuk menerangi jalan, mereka keliling kampung mencari anaknya, lalu ke sekolah tempat Tangguh menuntut ilmu. Namun tak ada siapa-siapa di sana, seluruh ruangan sekolah telah gelap gulita. Kemudian didatanginya rumah Bu Weni, guru yang mengajar Tangguh di sekolah. Tapi Bu Weni pun tak tau di mana Tangguh berada. Ia hanya menyampaikan bahwa Tangguh telah dikeluarkan dari sekolah karena diduga mencuri soal dan jawaban ujian.
Mendengar kabar itu, Bu Tini dan Pak Tono semakin khawatir. Mereka tak tau di mana Tangguh, namun mereka terus menelusuri desa di gelapnya malam seraya memanggil–manggil nama anaknya, "Tanggguh... tangguh.... di mana kamu, Nak???!!!" Namun hanya suara gemercik air hujan yang menyahut di gelapnya malam.
"Sudahlah Tin, sebaiknya kita tunggu saja sampai besok. Sekarang udah malem, lebih baik kamu istirahat dulu," ucap Tono menenangkan istrinya.
"Tapi nasib anak kita gimana, Mas? Dia pasti belum makan, terus kalo kehujanan gimana?" pekik Tini dengan rasa cemas yang menyesakkan dada.
"Bukan kamu sendiri yang bilang kalau anak kita anak yang hebat, anak yang tangguh, anak yang perkasa, yakin dan percayalah kalau Tangguh pasti baik–baik saja," desis Tono merangkul istrinya dan menenangkannya.
Tini sedikit lebih tenang walau di dalam batinnya masih berkecamuk rasa khawatir akan anak satu-satunya itu. Mereka berdua pulang kembali ke rumah dan akan meneruskan pencarian keesokan harinya.
***
Keesokan harinya, Cahyo, Solihin dan Lica telah mendengar kabar hilangnya Tangguh. Mereka yakin Tangguh tak pernah mencuri soal jawaban ujian itu. Mereka bertiga bertekad untuk membuktikan dan melawan siapa saja yang memfitnah Tangguh.
Di hari itu juga, seluruh warga kampung dikumpulkan untuk menelusuri hutan, perkebunan, juga ke setiap sudut kampung untuk menemukan Tangguh. Mereka berangkat dari pagi dan dibagi menjadi beberapa kelompok. Semua wilayah di desa Pasirputih ditelusuri. Namun di waktu petang setelah semua tim kembali ternyata tetap tak ada hasil sama sekali.
Pencarian dilanjutkan esok harinya. Seluruh tim dikumpulkan dan berpencar dari balai desa.
"Tangguh... Tangguh....!!!" Semua memanggil–manggil nama itu. Namun tetap tak ada jawabnya.
Sore pun kembali tiba, kabut yang turun diiringi hujan yang cukup lebat mengganggu pencarian, sehingga pencarian lagi-lagi ditunda.
Telah beberapa hari ini Tangguh menghilang seolah ditelan bumi. Gunung sudah didaki, hutan sudah ditelusuri, danau sudah dijelajahi, desa–desa sudah didatangi, namun anak itu tak juga ditemukan. Entah di mana lagi harus mencari anak itu. Rasa cemas dan khawatir semakin bergumul dan menyeruak dalam batin Pak Tono dan Bu Tini. Mereka tak bisa membayangkan bila terjadi sesuatu pada anak mereka satu–satunya yang selalu mereka banggakan, yang selalu mereka harapkan. Sang ibu pun seringkali mengucurkan air mata dari sudut matanya sewaktu mengingat anaknya itu.
"Pantai .... pantai.... ya, pantai!!!!" Tono tiba-tiba mengatakan pantai dengan riang.
"Mas ini gimana, anak kita hilang, kok malah mikir liburan ke pantai," ucap Tini mengusap air matanya.
"Bukan Tin, kita belum nyari ke pantai kan, siapa tau Tangguh pergi ke sana." Pak Tono menyampaikan idenya.
Tini menatap suaminya dengan pandangan yang lirih. Bertahun-tahun hidup dengannya, tak sekali pun suaminya berniat ke pantai. Pengalaman semasa kecil yang pernah hampir tenggelam tersapu ombak membuat Tono tak berani ke Pantai. Namun kali ini, demi mencari anaknya ia memberanikan dirinya melawan rasa trauma itu. Mereka berdua pun pergi ke pantai mencari anak mereka yang hilang. Kali ini mereka hanya mencarinya berdua.
Mereka menelusuri bibir pantai yang membatasi daratan dan lautan. Namun secara kasat mata tak menunjukkan keberadaan putranya itu. Yang mereka lihat hanyalah pasir putih yang terhampar membatasi lautan dan daratan, pohon kelapa yang berderet dan melambai, serta batu karang yang selalu berdiri kokoh walau dihantam ombak.
"Sudahlah Tin, anak kita tak ada di tempat ini, lebih baik kita pulang saja. . .!" desis Tono yang menundukkan muka dan mulai berpasrah diri.
"Tapi Mas, anak kita ada di mana? sudah beberapa hari nggak pulang, ia pasti kelaparan, lalu bagaimana keadaannya?" Tini diliputi rasa khawatir.
Ketika mereka hendak pulang, Tini mengajak suaminya untuk memanjat batu karang yang ada di hadapannya. Lantas mereka pun mendekati batu karang setinggi atap rumah itu tuk melihat lebih jelas hamparan lautan, siapa tau ada petunjuk di sana.
Rupanya benar, di atas batu karang itu pandangan mereka tertarik pada sebuah kalung yang terbuat dari tali berwarna hitam. Gantungannya terbuat dari kayu berbentuk persegi dan ada ukitan berbentuk huruf T. Kalung itu tergeletak begitu saja di atas batu karang yang mereka pijak.
"I....ini kan kalung anak kita, Mas," ujar Tini sembari memegang kalung itu di tangan kanannya.
"Iya Tin, benar, ini kalung anak kita, berarti anak kita sebelumnya ada di sini," Tono menerka.
"Aku takut sekali Mas, kalau anak kita melompat ke lautan dan dimakan hiu atau tenggelam di lautan."
"Sudahlah Tin, tenang, percayalah anak kita akan baik–baik saja.
Mereka kembali meminta bantuan pada warga desa untuk mencari Tangguh yang kemungkinan hilang di lautan. Tim yang terdiri dari beberapa orang menaiki kapal nelayan yang berbaik hati untuk meminjamkannya. Mereka berangkat menelusuri hamparan lautan luas. Tono dan Tini pun berharap anak mereka satu-satunya bisa ditemukan dalam keadaan baik-baik saja.
***
Like it ? Add to library!
Your gift is the motivation for my creation. Give me more motivation!