webnovel

Jangan pernah diulangi

~selamat membaca~

"Fatur lu duduk di bangku gue!" perintah Pandu kepada teman sebangku Lukman, suapaya bertukar tempat duduk dengannya.

Fatur mengerutkan kening, menatap heran ke arah Pandu, "kenapa emangnya?"

"Nggak usah banyak nanya, tinggal nurut aja." Ketus Pandu yang langsung membuat Fatur mengambil tas miliknya lalu berdiri, dan berpindah di tempat duduk Pandu. Kalau Pandu sudah memerintah, tidak ada yang berani membangkang.

Wajah Aden terlihat murung melihat aksi perpindahan tempat duduk yang dilakukan Pandu dengan Fatur. Aden merasa sangat heran dengan perubahan sikap Pandu hari itu. Ia terdiam sambil memutar memori otaknya, mencoba mengingat kesalahan apa yang sudah ia perbuat sehingga membuat Pandu tak acuh kepadanya. Bahkan hari itu Pandu sampai tidak ingin duduk satu bangku dengan Aden. Saat berangkat sekolah pun Pandu lebih memilih berangkat menggunakan ojek online, daripada berboncengan dengan Aden.

Menurut Aden semua baik-baik saja. Bahkan tadi malam Pandu seperti biasa, selalu tidur dalam pelukannya, dan tidak lupa memberi kecupan di kening Pandu.

Apa iya sola ciuman bibir yang belum diberikan? Tapi sejak Aden belum memberi tahu sampai kapan batas hukuman yang diberikan agar bisa mencium bibir, Pandu memang tidak pernah membahas soal itu. Menurut Aden semuanya baik-baik saja, Aden mengira jika Pandu sudah melupakan soal itu.

Tapi Aden yakin sekali, sikap acuh Pandu padanya saat ini, itu bukan karena soal hukuman. Aden mencoba berpikir keras, tapi sama sekali ia tidak menemukan jawaban, karena ia merasa tidak pernah melakukan kesalahan. Apa yang ia lakukan selama ini semata-semata hanya untuk membuat Pandu bahagia.

Menarik napas dalam-dalam kemudian Aden menghembuskan secara perlahan. Banyak sekali pertanyaan yang berkecamuk di pikirannya. Perubahan Pandu hari itu benar-benar membuat hati dan perasaannya menjadi sangat gelisah dan serba salah.

Aden memutar tubuhnya, menatap Pandu yang sudah duduk dengan Lukman di belakang. "Hari ini jadwal kamu chek up, nanti aku anterin kan? Kayak biasanya." Kata Aden selembut mungkin, sambil memegang pergelangan Pandu.

Dengan kasar Pandu menepis tangan Aden supaya menyingkir dari pergelangan nya. Hal itu tentu saja membuat Aden tersentak.

"Nggak usah sok perhatian sama gue!" Ucap Pandu dengan ketusnya. Pandu menoleh ke arah Lukman yang sedang duduk di sebelahnya, wajahnya yang ketus saat berhadapan dengan Aden, berubah menjadi sangat ramah kala ia tengah berbicara dengan Lukman. "Luk, ntar lu mau kan antar gue chek up?"

Tanpa berpikir panjang, Lukman langsung menjawab. "Boleh, lu kan sohib gue." Ucapnya sambil menepuk pelan pundak Pandu. "Nggak lu minta gue pasti mau."

Aden membasahi bibir bawah dengan lidahnya, kemudian ia menelan salivahnya susah payah, sambil mengkerjap-kerjapkan mata, untuk menghalau air yang akan keluar, agar tidak membuat bola matanya menjadi berkaca-kaca. Enathlah, sikap Pandu padanya, seperti jarum yang sedang menusuk hatinya, ada rasa nyeri yang tiba-tiba bersarang di sana.

Terlebih saat Aden mendengar, Pandu lebih memilih Lukman untuk mengantarnya chek up, daripada harus diantar olehnya seperti biasanya. Aden juga melihat langsung perubahan ekspresi wajah Pandu saat sedang berbicara dengan Lukman, sangat berbeda saat Pandu berbicara dengan Aden. Perasaan sedih yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata muncul di hatinya.

Apakah Pandu sudah berubah dan tidak membutuhkan Aden? Apa perasaan sayang Pandu kepada Aden sudah hilang? Jika benar begitu, berarti Pandu sudah mau menjalani pengobatan tanpa harus ada Aden di sampingnya? Itu artinya, Aden bukan lagi kelemahan bagi Pandu, Aden bukan lagi cowok yang menjadi semangat hidup buat Pandu. Dengan begitu secara otomatis, tugas Aden menjadi pacar bohongan untuk Pandu sudah selesai.

Kalau memang benar demikian, sharusnya Aden merasa senang, karena dengan begitu perasaannya tidak akan lagi terbebani dengan berpura-pura menyayangi Pandu. Bukankah hal itu yang Aden inginkan diawal, Pandu tetap sehat tanpa harus ada Aden bersamanya.

Tapi anehnya perasaan senang yang harusnya Aden rasakan, itu sama sekali tidak muncul di hatinya. Seharusnya Aden juga bisa bernapas dengan lega, tapi kenapa yang ia rasakan malah menjadi sesak dan takut. Kenapa Aden takut jika Pandu benar-benar berubah? Kenapa Aden gelisah jika nantinya Pandu benar menjauh darinya. Bukankah jika Pandu mau menjalani pengobatan Aden masih tetap bisa dekat dengan Pandu sebagai sahabat, seperti yang diinginkan oleh akal sehatnya?

Teman. Entahlah, tiba-tiba saja hati dan otaknya berjalan singkron, sangat tidak ikhlas jika hubungannya dengan Pandu akan berakhir seperti itu. Desiran-desiran aneh yang sering muncul lewat perasaannya, semakin hari semakin kuat bersarang di hatinya. Kebersamaan nya dengan Pandu selama ini, membuat Aden merasa bahagia, dan menjadi takut jika akan ada perpisahan.

Perubahan sikap Pandu saat ini, membuat otaknya menyadari jika yang dirasakan hatinya selama ini, bukanlah sekedar rasa sayang sebagai teman. Melainkan lebih.

Aden menoleh ke arah Lukman, sorot matanya teduh, tersirat di matanya sebuah pertanyaan tentang perubahan sikap Pandu kepadanya hari ini.

Sadar dengan tatapan Aden yang sepertinya sedang meminta penjelasannya, Lukman hanya mengedikan bahunya. Tanda jika Lukman juga tidak tahu apa-apa.

Helaan napas lembut keluar dari mulut Aden guna mengusir rasa sesak yang mengumpul di hatinya. Tapi tetap saja, rasa sesak itu tidak mau pergi dari hatinya, sebelum ia tahu alasan apa yang membuat Pandu menjadi tak acuh padanya.

Aden baru menyadari, ternyata diabaikan sama Pandu, rasanya benar-benar gelisah, dan sangat sakit.

Pandu tidak pernah seperti itu sebelumnya. Pandu kenapa?

Aden memutar arah pandangannya ke arah Pandu, wajahnya datar, tergambar rasa gelisah di sana. "Kamu kenapa sih Ndu? perginya sama aku aja ya?" Bujuk Aden dengan kelembutan yang luar biasa.

Sorot mata Pandu lurus menatap tajam mata Aden. "Lu bisa diem nggak sih? Lu nggak denger gue mau chek up sama Lukman? Ada masalah?"

"Iya tapi kenapa kamu jadi kayak gini? Aku punya salah apa sama kamu?"

"Introspeksi!"

"Introspeksi gimana? Aku__"

"Anak-anak simpan semua catatan kalian di tas. Hari ini kita kuis!"

Suara seorang guru membuat Aden menghentikan ucapannya. Aden membuang napas berat seraya memutar tubuhnya kembali ke arah depan.

~♡♡♡~

"Adaw..." Aden mengaduh kesakitan lantaran tidak sengaja tangannya menyentuh panci panas, di atas kompor yang masih menyala.

Saat jam istirahat Aden banyak melamun. Pikirannya masih tentang Pandu, sampai ia tidak fokus saat sedang membantu Anis melayani murid yang membeli ciloknya. Alhasil kerjanya jadi berantakan, dan tangannya yang kekar terkena imbasnya.

"Kenapa Den?" Tanya Anis tanpa menoleh ke arah Aden. Ia sedang sibuk melayani murid-murid yang sedang memesan ciloknya.

"Nggak papa teh, tangan Aden nyenggol panci." Jawab Aden, kemudian ia meringis, menikmati rasa perih dibagian pergelangannya. Setelah itu mulutnya meniup-niup bagian luka untuk mengurangi rasa sakit.

"Astaga!" Anis terkejut saat menoleh ke arah Aden, ia melihat adiknya sedang meringis seperti sedang kesakitan. "Hati-hati Den, Kamu teh kenapa? Teteh perhatiin Dari tadi ngelamun terus." Heran Anis sambil menatap iba pada pergelangan adiknya yang sudah melepuh. "Apa kamu lagi ada masalah?" Tanya Anis. Kemudian ia berjalan cepat ke arah P3K untuk mengambil salep luka bakar yang sudah tersedia di sana.

"Nggak kok teh," jawab Aden. Lalu Ia mendongak ke arah tempat dimana Pandu dan teman-temannya biasa berkumpul di waktu istirahat. Sepi, tidak ada siapa-siapa di sana. Hanya ada murid-murid dari kelas berbeda, menempati tempat yang biasa digunakan Pandu dan teman-temannya berkumpul.

Hari ini memang jadwal Pandu melakukan check up, sehingga wajar jika Pandu tidak berada di tempat biasa. Sementara Lukman diminta Pandu supaya mengantarnya ke klinik, tempat dimana Pandu biasa melakukan chek up.

Lalu di mana Aldo dan yang lain? Kenapa mereka tidak ada di tempat itu? Apa iya, mereka juga ikut marah berjamaah untuk membuktikan rasa solidaritasnya sebagai sahabat Pandu. Sekuat itukah pengaruh Pandu di mata teman-temannya? Entahlah, Aden hanya bisa menduga. Yang jelas ia sedang merasa gelisah karena sejak pagi Pandu terlalu mengabaikannya.

Bahkan pada saat Pandu berangkat ke klinik bersama Lukman, Pandu tidak menerima switer yang diberikan Aden untuk Pandu. Pandu dan Lukman pergi tanpa menghiraukan Aden.

Aden membuang napas lembut, tatapan matanya kembali tertuju ke arah pergelangan nya. Masih sakit.

"Ini diobatin lukanya," titah Anis sambil memberikan obat luka bakar yang baru saja ia ambil dari kotak P3K. "Olesin sendiri bisa kan Den? Teteh masih sibuk. Kamu duduk aja di situ, kalo kamu masih sakit nggak usah bantu teteh nggak papa."

Aden mengangguk pelan, sambil menerima obat luka bakar yang disodorkan Anis kepadanya. Setelah ia duduk di kursi yang sudah tersedia, dengan sangat pelan Aden mengoles obat luka bakar di atas pergelangan nya yang sudah melepuh. Sementara mulutnya tidak berhenti meniup-niup luka yang sudah diolesi salep luka bakar.

"Si Pandu kemana Den?" Tanya Anis setelah ia baru menyadari tidak melihat keberadaan Pandu dan teman-temannya. "Biasanya teh pada kumpul di kantin." Ujar Anis yang masih sibuk dengan dagangannya.

Mendengar nama Pandu disebut sama Anis, membuat wajah Aden kembali murung, dadanya terasa sesak lantaran ia teringat akan perubahan sikap Pandu. Membuang napas lembut sebelum akhirnya Aden menjawab. "Ke klinik teh, sekarang jadwalnya Pandu cuci darah." Suara Aden terdengar lemas. Wajahnya datar dan tatapan matanya kosong.

Di sela-sela kesibukannya, Anis menoleh sekilas ke arah adiknya, "lho kok kamu enggak nganter? Biasanya kan sama kamu."

"Iya teh katanya Pandu mau diantar Lukman. Aden suruh bantu teteh aja katanya kasihan sama teteh." Jawab Aden terpaksa berbohong. Ia tidak ingin memberitahu Anis alasan yang sebenarnya.

Anis berdiri mematung, ia memandang lekat-lekat wajah adiknya. Melihat Aden yang murung Anis merasa seperti ada sesuatu yang sedsng disembunyikan dari Aden. Lantaran sudah tidak melayani pembeli, Anis berjalan mendekati Aden, lalu duduk disebelah nya.

"Beneran Pandu ngomong gitu?" Tanya Anis penuh selidik.

Aden mengangguk pelan seraya menjawab, "iya teh."

"Kamu nggak lagi berantem sama dia?"

"Enggak teh, Aden sama Pandu baik-baik aja." Jelas Aden.

Menarik napas dalam-dalam sebelum akhirnya Anis hembuskan secara perlahan. "Yaudah kalo gitu, teteh seneng dengernya. Tapi inget jangan dibikin sedih Pandunya, kasihan." Ucap Anis sambil mengusap puncak kepala Aden. "Ibunya teh udah baik banget sama kamu."

Tatapan Aden teduh memandang Anis, bibirnya melengkung, menghasilkan senyum tipis. "Iya." Ucapnya.

Tangan kekar Aden merogoh kantong celana abu-abunya, lantaran pahanya merasakan ada getaran yang berasal dari HP. Setelah ia berhasil mengeluarkan HP dari saku celananya, Aden melihat ada pesan whatsapp yang tertera di layar HP itu.

Layar HP Aden.

Alex

Den... lu dimana? Kok lu nggak anter Pandu chek up sih. Gara-gara lu Pandu pingsan. pas nyebrang jalan Pandu ke srempet motor. Sekarang kondisinya kritis. Sekarang lu harus tanggung jawab. Buruan ke sini ke tempat biasa Pandu chek up. Kalo sampe ada apa2 sama Pandu. Awas lu!

Deg!!

Rasanya seperti ada petir yang menyambar tubuhnya, saat Aden tengah membaca pesan yang dikirim sama Alex barusan. Wajahnya mendadak pucat, tubuhnya langsung terasa sangat lemas.

"Astaga ...!" Suara Aden terdengar gemetaran. Tidak hanya suara tangannya yang sedang memegang HP pun terasa gemetaran dan tidak bertenaga.

Praak!!

Tanpa sadar Aden melepaskan HP dari genggaman nya, hingga jatuh ke lantai dan berakhir mengenaskan. Layar HPnya pecah dan batrenya terlepas dari tempatnya. Maklum saja HP yang dipakai Aden masih keluaran type lama, jadi batre nya bukan batre tanam seperti HP keluaran terbaru.

"Aden kenapa?!" Anis juga terkejut kala ia melihat Aden yang sedang panik hingga menjatuhkan HPnya.

"P-Pandu teh," gugup Aden masih terdengar gemetaran.

"Pandu kenapa?"

Tanpa menjawab pertanyaan Anis, dengan raut wajah ketakutan Aden bangkit dari duduknya, mengambil langkah cepat, ke arah keluar kantin.

"Aden kamu mau kemana? Pandu kenapa?" Teriakan Anis pun tidak di dihiraukan oleh Aden. Aden sudah benar-benar sangat gelisah.

Aden berharap ini cuma mimpi, tapi sayang semua terasa begitu sangat nyata.

Bruug!! Praaak..!!

Sial. Aden terlalu panik, larinya sangat tergesa-gesa hingga ia menubruk pedagang mie ayam kantin yang sedang membawa beberapa mangkuk sisah mie ayam yang baru saja dibereskan oleh pedagang mie ayam tersebut. Parahnya tiga mangkuk sisah mie ayam semuanya tumpah mengenai seragam Aden, lalau jatuh berserakan di lantai bersamaan dengan tubuh Aden yang ikut jatuh tersungkur, dan berakhir mengerikan. Berantakan. Kondisi mangkuknya pun sudah terpecah belah, tidak berbentuk lagi.

"Aaaw...!" Aden mengadu, saat merasakan telapak tangan nya terkena pecahan mangkuk.

Luka yang terkena panas panci saja masih terasa sangat perih, sudah ditambah lagi dengan luka baru. Rasanya luar biasa.

"M-maaf," ucap Aden sambil mengibas-ngibaskan tangannya yang tertusuk pecahan mangkuk untuk mengurangi rasa sakit. Dengan sisah tenaga yang ada, Aden bangkit susah payah, "marahnya nanti aja." Pinta Aden kepada pedagang mie ayam yang baru saja ia tabrak.

Aden melanjutkan larinya, mengabaikan pedagang mie ayam yang sudah memasang raut wajah marah. Aden juga tidak perduli dengan rasa perih di tangannya, dan seragam nya yang sudah penuh dengan noda kuah mie ayam. Ia terus berlari ke arah parkiran sekolah, untuk mengambil motornya.

Pikiran Aden terus tentang Pandu, ia membayangkan kemungkinan-kemungkinan buruk yang pasti akan terjadi kepada Pandu.

~♡♡♡~

Setelah memarkirkan motornya di depan klinik, Aden langsung berlari cepat menuju tempat di mana Pandu biasa melakukan terapi cuci darah. Beberapa kali ke tempat itu, membuat Aden sudah hapal dengan seluk-beluk klinik itu.

Langakah cepat Aden, membawanya sampai di depan pintu. Pintu ruangan di mana Pandu selalu melakukan chek up di sana. Dengan perasaan takut, Aden mengulurkan tangan, memegang knp pintu, lalu memutar sambil sedikit mendorong.

Saat pintu sudah terbuka lebar, Aden berdiri mematung. Punggungnya naik turun, terdengar suara napas keluar dari mulutnya yang terbuka. Kondisi Aden terlihat sangat memprihatinkan, rambutnya acak-acakan, butiran-butiran keringat menetes di bagian pelipisnya. Seragamnya juga terlihat sangat kotor, penuh dengan noda akibat dari tumpahan kuah mie ayam. Tidak hanya itu, seragam putih Aden sudah basah akibat keringat yang terus mengalir.

Wajah Aden terlihat sangat panik dan cemas, bola matanya yang sudah berkaca menatap satu persatu wajah Lukman, Aldo, Jonatahan, Alex, Roby, dan ada Tristant di sana. Dengan raut wajah yang terlihat sedih, mereka berbaris menutupi tempat tidur yang Aden yakini ada Pandu sedang berbaring di sana.

Semua pasang mata tertuju ke arah Aden yang masih terlihat kelelahan, seperti habis berlari 100 meter.

Aden menelan ludahnya susah payah, membasahi tenggorokan nya yang sudah kering. Ludahnya sudah habis ia telan, sehingga ada rasa sakit di tenggorokan saat ia berusaha menelannya.

Suasana ruangan begitu hening, tidak ada yang membuka suaranya. Hanya terdengar deru napas Aden yang memburu.

"P-Pandu mana?" Aden membuka suaranya, memecah keheningan.

Tidak ada satupun yang menjawab, Lukman dan teman-temannya merundukan kepala.

"Pandu...!" Ulang Aden. Wajahnya yang penuh dengan keringat terlihat semakin ketakutan. Bola matanya yang tadinya cuma berkaca, sekarang air mata itu ia biarkan lolos begitu saja. Dengan kasar Aden mengusap air matanya menggunakan kedua telapak tangan, namun air mata itu tidak mau dibendung.

"MANA PANDU!!" kali ini Aden menaikan nada suaranya, sebagai bentuk rasa ketakutannya akan keadaan Pandu. Tangis sesenggukan pun keluar dari mulutnya, Aden tidak mampu menahan lagi.

Perlahan Aden berjalan mendekati Lukman dan yang lainnya, ia ingin melihat sendiri keadaan Pandu, cowok yang baru ia sadari ternyata betapa sangat ia menyayanginya.

"Pandu...!" Rengek Aden seraya berjalan mendekati teman-temannya.

Saat Aden sudah semakin dekat, Lukman dan yang lainnya bergeser, memberikan akses untuk Aden mendekati tempat tidur rawat yang mereka tutupi.

Deg!!

Aden menghentikan langkahnya, saat semua teman-temannya bergeser menjauh, ia mematung, matanya melebar, dan mulutnya menganga. Aden tercekat dan tida mampu berkata apapun, saat melihat kondisi Pandu ternyata baik-baik saja. Tidak ada luka sedikitpun di tubuh Pandu.

Pandu tersenyum nyengir, menatap Aden yang masih bingung dengan apa yang sedang ia lihat sekarang.

"Happy birthday to you, Happy birthday to you...."

Nyanyian ucapan selamat ulang tahun keluar dari mulut Pandu, seraya ia berjalan mendekati Aden dengan membawa kue tart di mana ada lilin berbentuk angka 17 di atasnya.

"Happy birthday to you."

"Happy birthday to you."

Lukman dan yang lainya pun serentak menyanyikan lagu ucapan selamat ulang tahun disertai dengan tepuk tangan.

"Happy birthday to you...., selamat ulang tahun Aden." Ucap Pandu saat ia sudah berada persis di hadapan Aden.

Aden mengerutkan keningnya matanya menatap lekat-lekat wajah Pandu. Perasaannya bercampur aduk, hingga ia tidak mampu ber kata apapun. Marah, sedih, senang, bahagia bercampur menjadi satu di hatinya, hingga ia tidak kuat, lalu menjatuhkan lututnya di lantai, duduk bersimpuh dan merundukan kepalanya. Tangis sesenggukan memecah dari mulut Aden, bersamaan dengan punggungnya yang naik turun.

"Kok lu nangis sih?" Tanya Pandu heran. Tangannya masih memegang kue tart, dan lilin berbentuk angka 17 masih menyalakan api.

"Tangis bahagia," celetuk Alex.

"Aden, buruan berdiri, ini tiup dulu lilinnya," titah Pandu.

Tidak ada respon dari Aden, ia masih setia dengan tangis yang sesenggukan.

Membuang napas lembut, Pandu memberikan kue tart kepada Lukman yang berdiri di sampingnya. Pandu berjongkok, mensejajarkan tingginya dengan Aden. Perlahan telapak tangannya menyentuh pundak Aden yang masih merunduk.

"Den..." ucap Pandu lembut, sambil menggerakan-gerakan pundak Aden.

Dengan menggerakan pundaknya, Aden menepis telapak tangan Pandu, supaya menyingkir, dari pundaknya. Hal itu tentu saja membuat Pandu tersentak.

Terlihat Aldo berjalan mendekati Aden, ia berjongkok, tangannya ikut menyentuh pundak Aden. "Den... sory, kita bercandanya kebangetan. Kita cuma pingin kasih kejutan aja buat lu. Nggak ada maksud apa-apa kok. Buruan berdiri." Bujuk Aldo sambil membantu Aden berdiri.

Pandu juga ikut membantu supaya Aden berdiri.

"Sory," ucap Pandu setelah Aden sudah berdiri dan berhadapan dengannya.

Aden masih diam, ia menatap Pandu dengan tatapan yang sulit diartikan. Air matanya masih mengalir, meski suara sesenggukan sudah tidak lagi terdengar.

Suasana kembali hening, semua menatap heran ke arah Aden.

Tiba-tiba saja Aden mengulurkan kedua tangan meraih tubuh Pandu, lalu memeluknya erat. Sangat erat seperti tidak ingin melepaskannya lagi. Aden terlalu bahagia hingga suara isakan kembali terdengar dari mulutnya. Ia bahagia bukan karena kejutan ulang tahun dari Pandu dan teman-temannya, ia sangat bahagia lantaran apa yang ia takutkan ternyata tidak terjadi. Aden sangat bahagia karena ternyata Pandu baik-baik saja, dan tidak mengalami kecelakaan.

Sementara Pandu hanya diam dalam pelukan, ia masih heran dengan sikap Aden.

"Kamu keterlaluan, bercandanya enggak lucu. Kamu nggak sadar kalo ulah kamu itu udah bikin aku ketakutan. Kamu nggak ngerti gimana takutnya aku pas denger kamu kecelakan. Aku juga hampir ketabarak mobil tadi. Aku kuatir, aku panik, aku nggak mau kehilangan kamu. Aku sayang sama kamu, aku sedih pas kamu nyuekin aku." Cecar Aden panjang lebar sekaligus mencurahkan segala unek-uneknya.

"Iya sory, gue cuma mau kasih surprise doang. Gue nggak ada maksud buat bikin lu khawatir." Kila Pandu, sambil mendorong pelan tubuh Aden, supaya berhadapan dengannya. "Sorry ya." Mohon Pandu saat ia sudah berhadapan dengan Aden.

"Jangan diulangi, aku kuatir. Aku takut..." pintah Aden, sambil kedua telapak tangannya membingkai wajah Pandu, "aku sayang sama kamu," ucapnya sambil mendaratkan bibirnya di bibir Pandu, lalu mendiamkan selama beberapa detik di sana.

Pandu melebarkan matanya, seakan tidak percaya dengan apa yang dilakukan sama Aden. Apa itu artinya hukumannya udah selesai? Pikir Pandu.

"Hemmm...." Alex dan yang lain bergumam, sambil mengedarkan pandangannya ke mana saja, lantaran tidak ingin melihat adegan ciuman yang dilakukan Aden dengan Pandu.

~♡♡♡~

Aden dan Pandu sudah berada di kamar kos mereka, keduanya sudah selesai mandi, masing-masing hanya memakai kaos dan celana kolor saja. Luka Aden juga sudah diobati oleh dokter pribadi Pandh di klinik.

Saat ini keduanya sedang duduk berhadapan di atas kasur, dan di hadapan mereka ada tumpukan kado dari Aldo dan yang lainnya.

"Gue bantu bukain, penasaran pada ngado apa mereka." Ucap Pandu sambil mengobrak abrik tumpukan kado tersebut.

Aden hanya tersenyum simpul, ini pertama kalinya ia mendapat kejutan ulang tahun seperti itu. Sebelumnya ia tidak pernah, bahkan ia sampai melupakan tanggal lahirnya lantaran tidak pernah ada perayaan.

Aden dan Pandu membuka bersama-sama bungkusan kado pertama, yang ternyata dari Aldo. Aldo memberikan switer untuk Aden, dan ada ucapan selamat ulang tahun di sana.

Kado kedua dari Roby, ia memberikan sepatu untuk bermain futsal. Setelah itu Jonathan memberikan dompet, Alex memberikan jam tangan, sementara Tristant memberikan kado kaos bermerek mahal tentunya.

Setelah semua bungkus kado terbuka, Pandu mengambil sesuatu yang ia simpan di bawah bantal.

"Ini dari gue," ucapnya sambil menyodorkan kotak yang sudah dibungkus kado dengan sangat rapih.

"Apa ini?" Tanya Aden penasaran sambil menatap kado yang sudah di tangannya.

"Buka aja," titah Pandu.

Tanpa menunggu lama, Aden merobek kertas kado yang membungkus benda berbentuk segi empat itu, hingga nampaklah benda itu. Mata Aden berbinar, saat ia sudah tahu isi dari kado yang diberikan oleh Pandu untuknya.

"Hape?" Ucap Aden seakan tidak percaya.

Pandu tersenyum simpul sambil menganggukkan kepala, "hape lu jadul, musti di masukin musium." Goda Pandu.

Aden tidak henti-hentiinya menatap HP iPhone keluaran terbaru itu. Ia terlalu bahagia hingga lupa mengucapkan terima kasih kepada sang pemberi.

Semantara Pandu juga terlihat bahagia, melihat kebahagiaan Aden saat menerima kado darinya.

"Eh... Lukman nggak ngasih lu kado?" Tanya Pandu saat ia sadar tidak ada kado yang bertuliskan nama Lukman.

Aden diam seperti sedang mengingat-ingat sesuatu. "Ngasih kok," ucapnya.

"Mana? Nggak ada."

Aden meletakan HP iPhone barunya di atas, kasur kemudian ia berdiri dari duduknya. Ia merogoh kantong celana abu-abu yang menggantung di balik pintu.

"Ini dari Lukman." Ucap Aden sambil menujukan kotak kecil, yang dibungkus sama kertas koran.

Pandu mengerutkan kening, menatap heran pada benda yang katanya kado dari Lukman. Bentuknya sangat kecil, "apaan tu?" Tanya Pandu.

Aden menggelangkan kepala, lantaran ia juga belum tahu apa isi di balik bungkusan koran itu.

"Coba buka," titah Pandu. "Nggak modal banget itu anak." Ucapnya kesal.

Aden merobek koran yang membungkus kado tersebut, seraya berjalan kembali ke arah kasur, lalu duduk bersamanya.

Aden mengerutkan kening, membolak balikan benda yang ia pegang. "Inikan, kondom ya?" Ucap Aden setelah ia menyadari melihat gambar alat kontrasepsi pada bungkusan benda tersebut.

"Hah? Kondom?" Tanya Pandu seolah tak percaya. Kemudian ia menyipitkan mata, menatap lekat benda yang masih dipegang sama Aden. "Lukmaaaan!!!" Geram Pandu di dalam hati setelah ia yakin, jika kado yang diberikan oleh Lukman untuk Aden adalah, kondom.

Jamrud selamat ulang tahun

Chapitre suivant