webnovel

Surat Peringatan Dan Sebuah Ancaman [2]

Aku hanya bisa tersenyum masam, sementara kakak melihatku dengan ekspresi terkejut, "Sial! Orang itu, harusnya aku melubangi kepalanya juga," umpatku dalam hati.

"Iya, aku memang membunuh salah satu dari mereka," aku menatap ibuku dalam-dalam, "Sama seperti mereka membunuh Zie. Gigi dibalas gigi, darah dibalas darah. Aku bukan remaja empat belas tahun yang bisa dijadikan mainan oleh kelompok penyihir ayah," ibu bangun dan hendak menampar ku, namun aku mampu menahan tangannya. Sebelum kakak ingin melerai kami, aku memberinya isyarat untuk berhenti, "Ibu boleh menyukai pria itu, aku sama sekali tidak keberatan dengan hubungan kalian, tapi jangan korbankan kami," aku mengalihkan tatapanku pada laki-laki yang di dalam tubuhnya mengalir darah yang sama denganku, "Bu, jangan menghakimiku dengan hanya mendengar pendapat satu orang, tanpa mengetahui kejadian sebenarnya. Bu, statusmu bukan hanya istri laki-laki itu, tapi juga adalah ibu kami. Tolong, jangan mengorbankan anak-anakmu lagi," ucapku mantab, lalu melepaskan tangan ibuku.

Tak berapa lama berselang, seseorang datang menghampiri tempat duduk kami. Dia adalah ayahku, menatapku dengan tatapan meremehkan dan mengejek. Kakak yang mengetahuinya, memilih menunduk dan segera diam seribu bahasa.

"Tha, bagaimana kabar temanmu?," aku tahu pertanyaan ini hanya basa basi semata, "Tubuhnya masih utuh, bukan?!,".

Aku tersenyum, bukan untuk menyambut ayah atau pertanyaannya, melainkan meyakinkan diriku bahwa aku bisa menghadapi iblis ini, "Dia sangat baik sekarang," mataku menatap beliau tanpa takut, "Aku yakin, kelompok yang ayah perintahkan merasa sangat kesulitan untuk mencarinya sekarang," aku masih menunjukkan senyum palsuku, "Ayah, bagaimana kabar pelacur itu? Apa jasadnya sudah ayah makam kan?!," ibu yang sepertinya tidak paham, terlihat kebingungan menatap kami berdua yang membicarakan hal yang sepertinya belum ayahku sampaikan, "Dia cantik, tapi sayang harus mati tragis,".

Aku menyeringai, ketika mendapati ayah terlihat geram. Beliau berdiri, hendak memukulku, tapi pertanyaan ibu menghentikan tindakannya, "Apa maksudmu, Tha,".

"Apa ayah tidak mengatakan pada ibu, kalau dia bersama, em," aku sengaja menjeda kalimat ku, sembari mataku melirik ayah.

Ibu menatap tajam ayah, mencari kebenaran, "Apa maksudnya? Kau tidak mengatakan apapun,".

"Dia sudah bersama dengan orang lain," ucapku terang-terangan, "Bu, aku memang menemui ayah, aku sangat berharap sebagai seorang anak, beliau akan membantuku. Tetapi yang aku dapatkan justru sebaliknya, bahkan kelompok ayah hampir membunuhku," ucapku, sambil menunjukkan bekas luka di lenganku.

"Karena kau pencuri!," tuduh ayah padaku, "Dia mengambil objek yang menjadi bahan penelitian, lalu membawanya kabur bersama dengan dua binatang sihirnya," beliau berkata berkata seolah aku adalah penjahat.

"Bukan aku yang mencuri," tukasku, "Ayah menginginkan Zie agar diterima di kelompok itu lagi. Kerberos yang mengetahuinya, segera memintaku pergi dari rumah ayah. Dan mulai saat itu, kalian terus mengejarku. Tapi karena dirasa boneka itu tidak bersamaku lagi, sepertinya, saat ini mereka kebingungan," aku berusaha menjelaskan kejadian sebenarnya pada ibu, "Ayah tidak pernah berubah, masih mengharapkan kepercayaan semu belaka,".

"Tha!," ibu menginterupsi pertikaian kami, sementara kakak hanya terdiam di kursinya.

"Sekarang aku mengerti, maksud ibu mengajakku bertemu adalah untuk membantu ayah mendapatkan boneka itu," aku melirik ayahku, "Tapi dia sudah tidak bersamaku, Kerberos telah membawanya ke alam Roh. Kami sudah menemukan cara untuk memisahkan jasad kayu itu dengan roh yang ada disana," ibuku terlihat kebingungan, tapi aku tak mau menjelaskan lebih detail tentang hal ini, "Bu, saat ayah mendapatkan boneka itu, dia akan memperoleh kepercayaan dari kelompoknya, lalu akan meninggalkan ibu bersama dengan wanita lain. Tapi sayangnya, aku lebih dulu membunuhnya," aku tersenyum penuh kemenangan, ketika mendapati ekspresi marah dari ayah.

Ibu menatap ayah seperti meminta penjelasan, "Siapa orang itu?!," tanyanya mengancam.

"Dia salah satu wizard di kelompok ayah," jawabku cepat, karena ayahku sepertinya tidak mampu menjawabnya.

Aku melihat arlojiku dan sudah menunjukkan pukul 1.30, itu artinya, lima belas menit dari seharusnya perkiraan aku akan kembali, " Maaf, tapi aku harus kembali bekerja," aku bangun dan berpamitan, tanpa menunggu persetujuan dari mereka.

Aku kembali ke toko dengan perasaan campur aduk, satu yang menjadi pertanyaanku, bagaimana ayah bisa mengatakan hal demikian pada ibu. Aku tidak mengerti, apakah beliau benar-benar sangat menginginkan Zie untuk mengembalikan kepercayaan kelompoknya lagi? Tapi, kenapa harus dengan memfitnahku.

Aku merasa sangat pusing. Sungguh, aku tidak bisa memahami jalan pikiran ayahku.

"Wajahmu terlihat sangat buruk, Nak," sindir Mickey, sambil duduk di depanku, "Bukankah kau baru saja bertemu dengan kedua orang tuamu? Harusnya kau merasa senang, karena kalian jarang bertemu," mendengar ucapannya, membuatku menghela nafas panjang. Iya, memang seharusnya seperti itu, tapi ini justru sebaliknya.

Aku mengelus si gembul abu-abu itu, dan dia terlihat senang, hingga suara dengkuran halus terdengar darinya, "Iya, seharusnya. Hari ini menjadi sangat buruk, dan aku tidak dapat membayangkan akan berjalan seperti apa pertemuan keluarga nanti," ucapku pasrah.

"Sepertinya, bukan hal baik yang terjadi di pertemuan mu hari ini," mata safir kucing itu menatapku menyelidik, "Apa yang dilakukan ayahmu?," tanyanya penasaran.

"Aku rasa, aku belum bisa menceritakannya sekarang," ucapku pelan sambil tersenyum, "Percaya lah, aku masih bisa mengatasinya sejauh ini," aku meyakinkan dia, dan semoga dia percaya padaku.

Hari ini, pembeli di toko memang lebih sepi dan aku sangat bersyukur karena harus mengganti tanaman hias di dua kantor sekaligus. Miko, supir Emma yang membantuku menyelesaikan pekerjaan seharian ini. Biasanya, kegiatan ini dikerjakan bertiga, jadi ketika hanya menggunakan tenaga dua orang, ini terasa sangat berat.

Kami memutuskan untuk mampir di sebuah restoran yang tak jauh dari tempat mengantar bunga. Sambil makan, Miko banyak bercerita mengenai hal-hal aneh yang tidak terlalu kupahami. Penyihir, mantra, ritual, hingga ketika dia menyebut nama Zarina, seketika itu juga aku menjadi sangat tertarik dengan semua ceritanya.

"Ada yang mengatakan dia sangat cantik, dia penyihir paling cantik yang pernah ada," ucapnya semangat.

Aku masih benar-benar mengingat saat Kerberos dan Mikey mengatakan bahwa Zarina memiliki luka yang mengerikan di wajahnya, 'Apakah ini Zarina yang sama?,' batinku.

Sambil menyuap makanan, aku masih terus mendengarkan Miko mengoceh dengan seksama. Ketika dia bercerita mengenai banyak hal, aku menjadi bertanya-tanya, darimana dia mendapatkan semua informasi ini.

Nyaris semua yang dia katakan benar, mengenai ritual dan nyawa yang harus dikorbankan, termasuk bunga lily api sebagai salah satu syarat yang wajib diberikan saat mengharapkan permintaan. Aku enggan untuk menanyakannya, takut Miko akan curiga jika aku mengetahui sesuatu mengenai hal tersebut, jadi aku memutuskan untuk diam dan menyimaknya sambil mengumpulkan informasi.

"Tha, apa kau tahu, bahwa lily api dulu dijaga salah satu dari para Manji?," aku menggeleng sebagai jawaban, "Dulu, ada tiga manji. Dua diantaranya tidak memiliki bola mata, sehingga tak bisa melihat lily api, tapi satu yang terakhir itu berbeda. Dia dapat melihatnya, dan menjadi satu-satunya makhluk yang bisa melihat bunga itu, serta memilih dengan tepat. Mungkin karena alasan itulah, Zarina sangat membencinya, sehingga dia membunuhnya. Tapi karena manji itu melawan, dia mengalami luka yang sangat parah di wajahnya," penjelasan Miko cukup bisa aku pahami.

Seperti ada yang menyebar sesuatu di dekatku, semuanya layaknya puzzle yang kemudian saling menyatu. Keterkaitan lily api dengan para manji dan Zarina, ritual yang mengharuskan memberikan bunga itu sebagai syarat permohonan, bahkan dari mana berasalnya luka di wajah yang didapatkan oleh wanita itu, aku merasa ini bukan hanya sekedar cerita yang bisa diceritakan orang biasa.

Chapitre suivant