webnovel

Kamu akan Tahu Nanti

"Jakarta Barat," kata Melina. "Ke Palmerah," tambahnya.

"Siap!" jawab Randi.

Mereka pun berangkat ke alamat yang disebutkan Melina. Randi menahan mulutnya untuk bertanya. Ia tidak mau banyak bertanya lagi.

Mengusir kesunyian, kemudian dipencetnya tombol musik di dasboard. Segera mengalun nyayian ceria dari penyanyi Barat. Meski tidak kenal siapa penyanyinya, ia suka mendengarkannya. Melina pun menikmatinya lagu tersebut. Terlihat kepalanya bergerak mengikuti irama lagu. Ia memukul-mukulkan tangan di atas paha.

"U2 kan?"

"Mungkin," jawab Randi yang tidak tahu siapa penyanyinya. Ia hanya suka mendengarkan lagu. Tapi tidak pernah tahu atau tak mau tahu siapa yang menyanyikan.

Apalagi sekarang susah mengenali para penyanyi. Lag-lagu mereka tersimpan dalam flashdisk kecil yang tanpa cover. Tidak ada keterangan samasekali.

Tiga atau empat lagu didengarkan Melina dengan asyik. Randi tidak mengusik. Ia pun menikmati nyanyian itu seraya tetap menjaga konsentrasi melewati jalan yang padat.

Hingga kemudian Melina menghentikan gerakkan kepalanya seraya menunjuk ke seberang jalan sebelah kanan. "Itu kantornya," tunjuknya. "Berhenti dulu." Randi menepi dan berhenti.

Kemudian menoleh mengikui arah yang ditunjuk Melina. Sebuah bangunan gedung berlantai lima. Cukup besar dan tampak mentreng. Bangunan depan gedung berdinding kaca warna putih metalik. Di bagian tengah, lantai dua, tertulis Moyona Group. Merek kecil dan tidak tampak menyolok.

"Kantor siapa?" tanya Randi setelah mengitari gedung itu dengan matanya.

"Hanjo."

Randi terkesiap. Ia samasekali tidak menyangka Melina akan berbicara tentang Hanjo. Semula dikiranya gadis ini tidak mau lagi berbicara tentang pria itu. Meski masih ragu namun Randi merasa tidak perlu memastikannya.

"Perusahaan apa itu?" selidiknya.

"Banyak usahanya."

Randi mengangguk maklum. Jelas pengusaha sukses yang banyak usahanya punya kantor mentereng begitu. Dan dia CEO di sana. Tentu bukan orang sembarangan pula Hanjo itu.

"Apa yang mesti kulakukan terhadap dia?"

Melina mengalihkan matanya dari gedung itu. "Pantau aktitiftasnya. Ikuti kegiatannya bila ke luar kantor. Ke mana saja. Catat dan laporkan ke aku."

"Siap! Besok aku mulai?"

Melina mengiyakan. "Perlu tahu rumahnya?"

"Tinggal di daerah mana?"

"Tanjung Priok."

"Wah, jauh. Biar akan sendiri yang mencarinya nanti. Mudah itu," kata Randi pula.

Melina sangat setuju. Ia merasa capek. Berangkat pagi dari Batam hingga sekarang masih berada di atas mobil. Badan dan kaki terasa pegal-pegal bila harus melanjutkan duduk dalam mobil berjam-jam lagi.

Randi menelusuri lagi gedung dengan tampilan maskulin itu dengan matanya. Di halaman parkir tampak belasan mobil tersusun rapi. Ada pos sekuriti disamping gerbang masuk. Bisa dengan mudah mengingat kantor ini, pikirnya. Segera disimpannya dalam memori kepala.

Sebelum mobil bergerak kembali, Randi merasa perlu memastikan suatu hal. Hal itu juga perlu sebagai bahan penyelidikannya. "Maaf, boleh aku tahu apa kaitan kamu dan pria itu?" tanyanya.

"Aku perlu tahu itu guna kelancaran penyelidikan juga," ulasnya.

Melina menggeleng. Beberapa kali. "Tidak perlu kujelaskan sekarang. Kamu akan tahu sendiri nanti," elaknya.

Melina merasa berat hati mengatakan bahwa orang itu adalah suami Mamanya. Meski ia tidak suka dan tak pernah mengakui, namun secara hukum pria itu adalah orang tuanya. Karena ia suami sah dari Mamanya.

Namun Melina dan mungkin juga Lucya, selalu berupaya tidak berbicara hal apa pun yang berhubungan dengan pria itu. Kerongkongan seperti tercekat. Dadanya terasa nyeri. Bila berbicara tentang dia.

Dan itu bukan baru-baru mereka rasakan. Tetapi semejak Mama menikah dengannya. Dua tahun. Tiga tahun. Atau empat tahun lalu. Entahlah. Melina tidak mau menghitungnya.

"Dia bermasalah dengan aku," jelas Melina berikutnya.

Randi mengangguk. Keterangan itu sudah lebih dari cukup. Dengan penjelasan itu ia bisa segera mengetahui arah penyelidikan yang akan dilaksanakannya.

"Kembali ke Pusat. Menteng," jelas Melina ketika Randi bertanya ke mana lagi perjalanan mereka. "Cari jalan yang cepat. Ngantuk aku."

"Siip!"

Melina menyandarkan tubuhnya. Mencoba memejamkan mata. Istirahat. Melina paham sekali. Ia tidur bisa tidur bila tengah berada di atas mobil, di kereta api maupun di pesawat. Entah mengapa. Bagaimana pun capek atau mengantuknya ia tetap tidak bisa memejamkan mata bila berada dalam perjalanan.

"Sudah nyampe kita," jelas Randi kemudian.

Melina membuka matanya seakan ia benar-benar tertidur. Ia melengos ke samping kiri mencari tahu posisi. Melina menyebutkan sebuah nama kawasan apartemen. Randi kenal itu apartemen mewah.

"Kamu tinggal di sini?" tanya Randi begitu mobil sampai di sebuah apartemen berlantai 20.

Melina menjawab dengan anggukkan kecil.

Randi tidak bisa menyembunyikan rasa herannya. Ia belum pernah mengantar Melina ke apartemen ini. Biasanya hanya sampai di gedung, perusahaan yang dituju atau hotel. Randi tidak tahu kalau gadis itu tinggal di apartemen beruangan kecil dengan harga selangit.

Randi mengeluarkan travel bag berwarna merah di bangku belakang. Tidak diserahkannya kepada Melina. Melainkan dihelanya mengikuti langkah Melina. Tiba di ruang resepsionis, Randi menyerahkan travel bag itu.

Melina menyampaikan terima kasih. Randi mengerti itu artinya dia hanya bisa mengantar sampai di situ. Tidak boleh ikut naik ke atas.

"Besok mulai tugas. Jangan lupa," kata Melina mengingatkan seraya bergerak memegang handel travel bag.

Randi mengacungkan jempol. "Oke!"

Dengan pandangan matanya ia mengikuti Melina berjalan menuju lift. Sebelum pintu lift terbuka, Melina menoleh ke belakang. "Ntar kirim ke WA nomor rekeningnya," ujarnya.

Randi kembali mengacungkan jempol. Kali ini ditambah dengan senyum. Senyuman yang lebar. Ia bergegas menuju pintu kaca besar. Langkah kakinya terasa ringan. Randi melihat langkah kakinya terpantul di atas lantai apartemen yang berkilat dan licin. Tampak bergerak ceria.

Sementara Melina berhenti di depan pintu yang juga tampak berkilat dan licin. Berwarna krem cerah. Dipencetnya bel yang ada di samping pintu. Ditunggu beberapa menit. Pintu tidak terbuka. Diulangi lagi memencet bel. Juga tidak ada respon.

Dilirknya jam. Pukul 14.35 WIB. Tidurkah? Tidak mungkin kedua-duanya tidur. Jangan-jangan tidak berada di dalam. Melina segera mengeluarkan HP dari tas sandang berwarna merah hati.

"Di mana?" tanyanya setelah HP tersambung.

Melina mendengarkan.

"Aku sudah di depan pintu apartemen ni," ujarnya.

Melina diam kembali mendengarkan.

"Aduh, jauhnya. Lama kali itu. Aku capek betul. Mau tidur," katanya lagi.

Ia kembali mendengarkan suara di HP.

"Tidak. Tidak. Aku ke apartemenku. Ngapain menunggu lama," ujarnya seraya menutup pembicaraan.

Dengan wajah capek dan cemberut, Melina kembali menuju pintu lift.

Melina sampai kembali di lobi. Ia merasa perlu duduk dikursi empuk yang berderetan di tengah ruangan. Capek sekali ia. Ia menyesali kecerobohannya. Mestinya ia mengontak terlebih dahulu.

Melina meluruskan kaki seraya menengadahkan wajah. Mengambil nafas panjang dan memejamkan mata. Berulang kali dilakukannya. Melina membuka mata. Keinginanannya untuk mengulang relaksasi terhenti oleh pemandangan di depan mata.

Dua orang yang berjalan bergandengan menarik perhatiannya. Pria muda dengan pasangannya. Melina merasa kenal dengan keduanya. Namun ia ragu juga. Tak bisa memastikan siapa mereka?

Chapitre suivant