webnovel

JoydaG

Dengan sebilah pisau, perempuan berambut cokelat itu menikmati setiap tubuh yang ditikamnya. Darah Org yang muncrat sampai ke rambut, wajah, dan tubuhnya seperti pewangi yang sengaja disemprotkan. Org di depannya berjatuhan. Kecepatan tempurnya tak terlihat oleh mata biasa. Dia bisa berdiri di atas kepala Org yang baru saja dijatuhkannya, lalu segera menerjang puluhan Org yang bermunculan di depannya. Matanya merah menyala, kedua tangannya berlumuran darah Org.

"JoydaG menikmati peperangan," seorang lelaki beradu punggung dengan rekannya sempat melirik setiap gerakan JoydaG.

"Madhu, kamu takkan pernah bisa menandinginya, kamu sudah menerima kenyataan itu?"

"Ayyy.... Nija. Aku masih akan menantangnya."

Madhu dan Nija masing-masing bicara sambil menghabisi setiap Org yang keluar dari Hole.

"Ngomong-ngomong sudah berapa jam kita begini?" Nija baru saja menebas leher Org. Dia mengambil nafas lalu menebas lagi.

"Entah" Madhu menjawab sambil menumbangkan satu Org.

"Hoi! JoydaG! kapan kau mau menutup Holenya! apa kau tidak lelah!"

Perempuan yang dipanggil JoydaG sedang sibuk menghabisi beberapa Org di depannya.

"Apa kau tak lihat aku sedang sibuk? aku sedang berusaha menuju pusatnya! kulihat kalian santai-santai saja! mana yang kalian sebut kerja tim hah?!"

Madhu terkekeh.

"Wah, mulut perempuan itu benar-benar."

Nija sampai tak mengerti, rekannya ini mengeluh atau sudah jatuh cinta pada JoydaG sehingga mengkritik sambil tersenyum.

"Haish! siapa lagi yang menelpon! tidak tahu aku sedang sibuk begini!?"

Nija protes sambil terus menebas leher Org. Dia merasakan handphonenya bergetar di kantong depannya, membuat dadanya terasa digelitiki.

"Angkat saja! siapa tahu itu benar-benar penting!" Madhu memberi saran sambil menginjak kepala Org.

"Ngomong-ngomong, aku sudah menghabisi sekitar 100 Org."

"Aku 101 Org," jawab Nija sambil mengambil handphonenya. Kemudian dengan satu tangan terus bergerak memangkas leher Org, Nija menjawab telepone.

"Ya! apa kau tak tahu aku sedang sibuk! brengsek! markas pusat kenapa bertindak seenaknya! apa?!"

Nija menebas leher satu org, lalu berhenti. Sementara dia mendengarkan orang yang bicara di telepone, Madhu menjadi perisainya agar tak tertebas oleh Org. Laki-laki dengan tubuh sixpack yang sengaja dipamerkan itu tidak senang dengan kabar yang didengarnya.

"Oke, tiga puluh detik, kau bisa bicara dengannya setelah itu."

Setelah mengatakannya dia menutupnya.

"Hoi! JoydaG! aku akan urus jalannya, kau segera tutup lubang pusatnya! ada orang yang ingin bicara denganmu!"

"Aku sedang pesta!" JoydaG menjawab dari kejauhan.

"Haish, perempuan liar, membunuh dianggap pesta olehnya," Madhu terkekeh lalu menebas Org lagi.

"Melianor ingin bicara denganmu!"

Nija tahu pasti, jika menyebut nama itu, JoydaG akan lebih serius dan lekas menyelesaikan misi. Persis seperti dugaannya, satu tebasan JoydaG membuat 10 Org tumbang dan dia berdiri menatap Nija dengan mata merah nyalangnya dari kejauhan. Itu tanda dia tidak bisa menolak panggilan dari Melianor.

"Oke," jawab JoydaG seraya mengusap darah Org yang hampir masuk ke mulutnya.

"Tiga puluh detik!"

JoydaG menyeringai. "Aku hanya butuh lima detik."

Nija dan Madhu saling berpandangan.

"Kita juga, lima detik," Madhu mengatakannya karena tak ingin kalah dari JoydaG.

Tepat seperti yang mereka katakan. Hole tempat Org keluar dari bawah tanah tertutup rapat. Nija dan Madhu menunggu JoydaG menghampiri mereka. Keduanya duduk di atas tubuh Org yang sengaja ditumpuk. Nija dan Madhu menikmati pemandangan matahari tenggelam. Nija dan Madhu melihat asap membubung ke langit.

"Kita juga harus membakar mereka."

Madhu lalu mengajak Nija turun dari tumpukan jasad Org itu.

"Bukan membakar, tapi mengkremasi," Nija menolak sebutan membakar jasad karena menurutnya itu kasar.

"Haish! terserah!"

JoydaG mendekati Nija dan Madhu ketika Nija menyalakan api untuk mengkremasi jasad para Org.

"Semoga mereka dikirim ke kehidupan selanjutnya dan hidup sebagai manusia," bisik Nija di depan api.

"Ah, dasar! tidak usah mendoakan mereka!" Madhu menendang bahu Nija. Draft yang ditendangnya itu terjatuh ke samping. Dia tidak bergeming dan kembali berdoa.

"Haish dia masih melakukannya?" JoydaG juga tidak suka dengan kebiasaan Nija.

Tepat tiga puluh detik, handphone Nija berbunyi. Dia menyerahkannya pada JoydaG sambil protes, "Lain kali kalian harus bawa handphone!"

"Untuk apa handphone ke medan perang, itu mengganggu," kata JoydaG sambil menerima telepon. Setelah itu, dia duduk di atas batu. Latar belakangnya api yang membakar tumpukan jasad Org.

"Hoi Melianor," jeda, JoydaG mendengarkan penuturan Melianor.

"Kau yakin?" wajah JoydaG jadi serius ketika mendengar hal yang dikatakan oleh Melianor. Dia menatap kedua rekannya. Nija dan Madhu ikut waspada karena ekspresi JoydaG mengatakan, kita benar-benar akan menghadapi hal besar.

"Sudah kuduga. Oke. Kami ke sana," katanya, kemudian menutup telepon.

"Dia menelpon karena ada hubungannya dengan Org ini?" Madhu mencari tahu.

Nija mengangguk sambil menyimpan handphonenya kembali ke saku, kemudian memperjelas, "Padaku dia berkata Elia ada di mansionnya sekarang. Bagaimana denganmu?" Nija menatap JoydaG.

"Dia menambah informasi yang lebih buruk."

"Apa itu?"

Madhu dan Nija waspada.

"si Tanpa Wajah muncul"

"Apa?"

"Setelah 500 tahun dia muncul lagi."

Nija dan Madhu saling berpandangan.

"Apa yang sebenarnya dilakukan oleh Bibi?" Nija gusar. "Kupikir dia berhasil dalam misi terakhirnya."

"Pasti ada kesalahan yang tak disadari olehnya," Madhu merespon.

Api kremasi pada Org sudah menghilang.

"Hole semakin sering terbuka. Siapa yang merancang semua ini sebenarnya?" JoydaG bertanya tanpa menuntut jawaban. Pertanyaan itu sudah ada di benaknya sejak lama. Setiap kali dalam keadaan istirahat, kadang-kadang tanpa sadar dia menanyakannya lagi pada angin. Nija dan Madhu yang sudah terbiasa mendengar pertanyaan yang sama, tidak menjawab hal itu. Bagi mereka, pertanyaan itu jenis pertanyaan yang hanya bisa dijawab oleh sang waktu.

JoydaG lalu berdiri sambil menarik nafas dalam-dalam, kemudian menghembuskannya perlahan. Dia meraih sedikit ketenangan dari itu. "Kita langsung ke Javanesse," katanya sambil menepuk debu dari pakaian dan celananya.

"Sepertinya kematian Bibi membuka permainan baru. Sesuatu yang terlewatkan bahkan oleh para petinggi," Madhu bicara sendiri sambil jalan beriringan dengan JoydaG dan Nija. Ketiganya mendekati mobil. Masing-masing lalu mengambil pakaian baru yang mereka siapkan. Sementara pakaian yang sudah berlumuran darah langsung mereka bakar. Begitu pakaian-pakaian itu berubah jadi abu, mereka segera naik. Nija selalu diposisi yang sama, sopir. JoydaG duduk di kursi belakang dan Madhu di samping kursi kemudi. Mereka menaiki Jeep Wrangler Unlimited Rubicon. Nija menyalakan mesinnya dan segera meninggalkan medan perang.

"Aku penasaran, apa mansionnya sudah berubah?" Madhu bicara seolah nanti dia tidak akan melihat mansion Melianor secara langsung.

"Aku lebih penasaran seperti apa Elia," JoydaG menanggapi dengan dingin. "Kau tak khawatir padanya?"

"Tentu saja aku khawatir, tapi dia aman bersama Melianor, dan pasti juga ada Max."

"Tentu saja, selama dia di Mansion, ada ribuan tentara Melianor di sana. Masalahnya jika si Tanpa Wajah muncul dalam pikirannya, Tanpa Wajah ini berpihak pada siapa? begitu juga dengan Melianor, dia berpihak pada siapa? kita tidak tahu musuh kita siapa sebenarnya bukan? kita mengikuti apa kata organisasi, kita pergi ke tempat-tempat tertentu untuk berburu, untuk menutup Hole, sama seperti yang dilakukan Bibi, tapi pada akhirnya Bibi tewas dan sekarang anaknya tertarik pada dunia bawah, tidakkah kamu merasa ada sesuatu yang mempermainkan kita?"

Nija dan Madhu saling berpandangan. Ini pertama kalinya mereka mendengar JoydaG bicara sepanjang itu. Mau tak mau mereka akhinrya merenungkan kata-katanya.

"Untuk menemukan jawabannya, kita mungkin harus bergabung dengan Melianor. Yang ku tahu tugas kita sebagai Draft adalah menjaga keseimbangan, sesuai perintah Tuan kita. Hole yang lebih sering terbuka jelas bagian dari ketidakseimbangan," Nija menanggapi sambil menyalakan rokok. Tak ada mobil lain di jalanan terpencil itu sehingga dia bisa santai.

Madhu mengamati JoydaG dari kaca spion tengah mobil. Dia pikir, JoydaG tidak sedang menikmati pemandangan, dia pasti sedang memikirkan hal-hal yang tak diketahuinya tapi bisa dirasakan olehnya. Tubuhnya memperlihatkan kewaspadaan yang tinggi. Alam bawah sadarnya bicara lebih dulu daripada pikirannya. Madhu sebenarnya merasakan hal yang sama, tapi karena tidak tahu apa yang sebenarnya mengganjal, dia hanya menahannya sambil berharap dia punya kesempatan untuk melihat kejelasan dari intrik yang saat ini tengah bermain-main dengan mereka.

Madhu teringat juga dengan tatapan merah nyalang JoydaG sesaat sebelum mengakhiri pertempuran. Itu mengingatkanku pada saat pertama kali melihatnya, namanya waktu itu Renjana, gadis kecil yang liar. Sekarang dia jauh lebih liar.

Chapitre suivant