webnovel

Ajian Panyirep Manusa

Pada saat itu, di hadapannya hanya ada dua orang saja. Tapi kemudian bertambah pula enam orang lainnya sehingga jumlahnya pas menjadi delapan. Mereka semua langsung waspada, orang-orang itu tahu kalau pemuda serba putih tersebut bukan berada di pihaknya.

Hal ini dapat diketahui dari caranya pada saat bicara. Begitu datar. Terkesan dingin dan mengandung sebuah ancaman.

"Siapa kau?" bentak salah satu orang di antara mereka.

"Siapapun aku tidaklah penting,"

"Tentu saja penting. Aku ingin tahu kenapa kau berada di sini? Apakah kau ingin mampus?"

Raka Kamandaka hanya tersenyum dingin mendengar ucapan orang itu. Ancaman yang diberikan olehnya bagaikan celoteh anak kecil yang tidak bisa apa-apa.

"Kenapa kau diam saja? Lekas pergi sebelum golok milikku ini membacok kepalamu," bentaknya semakin bengis lagi.

Senyuman pemuda itu semakin jelas. Senyuman ejekan. Senyuman yang merendahkan orang-orang di hadapannya.

"Kalau benar kau mampu membunuhku, kenapa tidak segera kau bunuh?"

Mendengar tantangan itu, delapan orang tersebut semakin marah. Dengan serentak mereka mencabut senjatanya yang berupa golok yang ditaruh di pinggang sebelah kiri.

Sringg!!!

Delapan batang golok tajam sudah terhunus. Sinar perak tampak begitu seram di tengah rumah yang remang-remang itu.

Wuttt!!!

Sambaran golok mulai terasa. Satu orang memilih untuk menyerang lebih dulu. Bacokan itu cepat dan keji. Arah serangannya adalah kepala.

Raka masih berdiri dengan tenang. Dia belum bergerak sedikitpun dari tempatnya semula.

Wushh!!!

Kepalanya miring ke kiri begitu golok tadi menyambar dari sebelah kanan. Gerakannya sangat cepat sekali, padahal golok itu sudah setengah jengkal dari kepalanya.

Melihat serangan pertama gagal, orang tadi semakin marah. Seluruh kekuatan dan tenaga dalam segera dia kerahkan dalam serangan berikutnya.

Tujuh orang rekannya tidak tinggal diam, menyaksikan usaha rekan satu timnya sia-sia, serentak mereka maju ke depan lalu mengirimkan sejumlah serangan yang tidak kalah kejamnya.

Delapan orang itu bekerja sama untuk membunuh Pendekar Pedang Pencabut Nyawa. Delapan sambaran golok itu semakin lama semakin cepat. Sinar-sinar golok laksana kilat menyambar di tengah malam.

Gempuran serangan mereka tidak pernah berhenti. Dalam hatinya, Raka Kamandaka memuji kelihaian orang-orang itu. Sepertinya mereka sudah terbiasa dalam hal bekerja sama seperti sekarang ini.

Terbukti sekarang, bacokan dan tusukan golok terus berdatangan susul menyusul silih berganti.

Raka tidak bisa tinggal diam lagi. Sudah sepuluh jurus dirinya hanya menghindar tanpa membalas serangan sedikitpun. Sekarang sudah saatnya untuk beraksi.

Sringg!!!

Cahaya putih menyeruak ke seluruh ruangan. Hawa kematian mendadak terasa pekat. Nafsu membunuh menyelimuti tubuh Raka. Sekarang di tangannya sudah ada sebatang pedang. Pedang hitam yang membawa hawa menyeramkan.

Pedang Pencabut Nyawa!

Pedang sakti yang tidak pernah mengecewakan pemiliknya. Pedang pusaka yang menggetarkan kolong langit ini sekarang sudah berada di hadapan delapan orang musuhnya.

Pertarungan mendadak berhenti. Delapan orang itu langsung terpaku di tempatnya masing-masing. Setiap orang yang melihat Pedang Pencabut Nyawa pasti akan mengalami hal yang sama.

Mereka akan merasa takut sekaligus ngeri. Sebab semua orang tahu, kalau pedang itu sudah keluar dari sarungnya, maka pusaka tersebut tidak bakal masuk kembali sebelum memakan korban jiwa.

Tidak peduli siapapun orangnya. Karena selamanya, Pedang Pencabut Nyawa tidak pernah pandang bulu.

"Kau …" orang yang tadi bicara lantang, sekarang mendadak gugup.

Nyalinya ciut. Keringat dingin dan panas sudah bercampur membasahi seluruh tubuhnya.

Raka tidak menjawab apapun. Dia lantas bergerak ke depan dengan kecepatan yang sangat luar biasa. Bayangan putih berkelebat. Hawa kematian semakin terasa menekan.

Srett!!! Srett!!!

Delapan kali dia bergerak cepat, delapan nyawa juga sudah melayang keluar dari masing-masing pemiliknya.

Darah kental membasahi lantai rumah. Bau amisnya mampu membuat siapapun merasa mual.

Begitu semuanya selesai, pedang pusaka itupun sudah masuk kembali ke sarungnya. Bahkan hebatnya lagi, pusaka tersebut sudah terbungkus rapi oleh kain putih seperti semula.

Raka Kamandaka segera membereskan mayat-mayat itu. Dia melemparkannya begitu saja ke dalam hutan yang rimbun. Pemuda itu sengaja tidak menguburnya, bukan lantaran dia tega, tapi karena alasan agar semua rekan yang lainnya tahu bahwa rencana mereka telah diketahui olehnya.

Wushh!!!

Pendekar Pedang Pencabut Nyawa segera melesat keluar ke tempat di mana dua orang tadi berdiri. Ilmu meringankan tubuhnya benar-benar telah sempurna, sehingga dalam satu kedipan mata, Raka sudah berada diluar.

Sayangnya dia terlambat. Ternyata dua orang tua yang dipanggil Golok Ular dan si Cambuk Maut telah tiada di sana. Mereka lenyap seperti dimakan oleh hantu.

Ke mana orang-orang itu? Apakah mereka berdua sudah mengetahui kalau ada orang lain yang datang mengganggu rencananya?

Raka tidak mau memikirkan persoalan apapun. Untuk sekarang dia, lebih baik mengamankan harta peninggalan Aki Uli dan keluarganya.

Saat ini tiada seorangpun yang dia dapat mintai pertolongan. Sebab setiap orang yang membantunya pasti akan mampus. Dan pemuda tersebut tidak mau hal seperti itu terjadi lagi.

Apalagi kalau mereka adalah orang yang tidak tahu menahu. Seperti Aki Uli misalnya.

Raka kembali masuk ke dalam. Dia mencari barang-barang berharga peninggalan Pendekar Tapak Bara itu. Semua harta yang bernilai tinggi, juga beberapa harta warisan keluarga Kamandaka yang sempat dititipkan kepadanya diambil kembali.

Pendekar Pedang Pencabut Nyawa memutuskan untuk menyimpan barang-barang tersebut di sebuah tempat yang paling aman.

Kebetulan, dulu ayahnya pernah bilang kalau dia pernah membuat ruangan bawah tanah yang mirip rumah besar. Letak ruangan tersebut persis berada di bawah pertapaan gurunya. Yaitu di dalam goa, di mana Raka menemukan mayat Eyang Pancala Sukma.

Rahasia ini tiada seorangpun yang tahu kecuali hanya ayahanya, dirinya, dan juga gurunya.

Teringat akan hal ini, dia juga mendadak berpikir suatu hal yang kemungkinan terjadi.

Apakah kematian gurunya, Eyang Pancala Sukma, juga karena harta ini? Dia tidak mau memberitahu di mana gudang harta Keluarga Kamandaka, sehingga orang itu bertindak kejam?

Entahlah. Raka tidak tahu jawaban pastinya, sebab hal ini butuh penyelidikan lebih lanjut lagi. Tali terlepas apapun itu, dia sangat yakin kalau hal diatas bisa saja terjadi.

Pemuda itu terus melakukan tugasnya tanpa pernah berhenti. Meskipun seroang diri, tapi dia sanggup melakukannya dengan cepat.

Dengan ilmu yang sudah sangat tinggi, memangnya apa yang tidak dapat dia lakukan?

Tepat setelah bunyi kentongan ketiga terdengar, Raka Kamandaka baru selesai memindahkan semua harta warisannya ke ruangan bawah tanah tersebut.

Setelah berhasil, dia langsung menutup goa dengan bebatuan yang sangat besar. Dirinya juga memasang sebuah ilmu kanuragan kelas atas sehingga tiada seorangpun yang dapat menemukan goa tersebut.

Jika ada orang yang melewati tempat itu, niscaya dia tidak akan dapat melihat apapun. Goanya masih ada, tapi mereka tidak bisa menyaksikannya.

Itulah salah satu ajian sakti dari gurunya, Eyang Pancala Sukma.

Ilmu itu diberi nama Ajian Panyirep Manusa.

Chapitre suivant