Sejak pagi hujan terus saja mengguyur bumi seakan-akan ikut bersedih melihat sekumpulan orang yang sedang berada di sebuah pemakaman. Orang-orang yang semuanya memakai baju berwarna hitam itu nampak sedang mengelilingi sebuah makam dengan batu nisan yang bertuliskan Myesha Kalingga.
Pria yang merupakan suami dari pemilik nisan itu nampak sedang bersimpuh sambil mengelus batu nisan di hadapannya. "Selamat tinggal, Sayang. Tidurlah dengan tenang."
"Hiks."
Dari arah belakangnya, lelaki bernama lengkap Ezra Putra Kalingga itu dapat mendengar suara tangisan seorang perempuan. "Ibu," ucap lelaki itu kemudian berbalik menatap wanita yang wajahnya sangat mirip dengan mendiang istrinya. Wanita itu masih dengan setia memayungi kepala menantunya.
"Ibu yang tabah. Masih ada aku yang menjaga Ibu di sini," tambah Ezra panjang lebar sambil merengkuh ibu mertuanya itu kemudian mengambil payung dari tangan ibu Myesha. Kali ini Ezralah yang memayungi mereka berdua. "Sekarang Myesha sudah tenang bersama dengan ayah."
Ezra tiba-tiba teringat dengan wajah ayah mertuanya itu. Dulu, ayah mertuanya itu adalah atasannya. Tapi saat Beliau meninggal, wasiatnya meminta Myesha untuk menikah dengannya. Ezra tentu saja tidak menolak. Karena sejak awal memang itulah rencananya. Menikahi putri tunggal pemilik Prameswari Group hingga pada akhirnya menjadi pemiliknya langsung. Dan sekarang ia benar-benar menjadi pemilik tunggalnya.
Ibu Myesha balas memeluk Ezra dan menangis di dada menantunya itu. "Ke-kejam sekali orang yang mem-membunuh Myesha," ujar wanita tersebut saat ia mengingat kondisi mayat anaknya. Anaknya dianiaya sedemikian rupa sebelum akhirnya menghembuskan napas terakhirnya.
"Sstt... Ibu, tenanglah. Aku yakin polisi akan menemukan pelakunya. Lebih baik sekarang ibu pulang, hm?" saran Ezra kemudian menoleh ke arah pelayan ibu mertuanya. Wanita itu segera mengerti isyarat Ezra dan mendekati majikannya.
"Nyonya, ayo kita pulang," ucap wanita yang sudah menjadi pelayan Nyonya Prameswari selama hampir lima tahun itu.
Ibu Myesha menarik napas, melepas pelukannya, kemudian menengadahkan kepalanya menatap wajah Ezra. Tangannya yang sudah keriput itu menyentuh wajah Ezra dengan begitu lembut. "Bawah matamu hitam, Nak. Beristirahatlah dengan benar, jangan sampai kau sakit."
Ezra menganggukkan kepalanya sambil tersenyum hangat. "Ya, Bu."
"Kutitip perusahaan padamu," lanjut ibu Myesha.
Ezra menggenggam salah satu tangan ibu mertuanya. "Ibu tidak usah memikirkan soal perusahaan dulu. Yang terpenting sekarang ibu beristirahat, aku tidak ingin ibu pingsan lagi."
Wanita itu mengangguk. "Kalau begitu ibu pulang dulu, Nak."
"Hm, hati-hati di jalan," sahut Ezra tersenyum.
Ibu Myesha kemudian berjalan ke tempat di mana mobilnya diparkir. Sudah ada sopirnya yang menunggu di dekat sana. Pelayannya juga dengan setia memayunginya dari samping. Tiba-tiba ia berhenti sambil menoleh ke belakang. Matanya dapat melihat semua pelayat yang tadi mengelilingi pusara putrinya perlahan-lahan pergi dan menyisakan satu orang yang masih berdiri di sana.
Suami putrinya.
Laki-laki itu berdiri menghadap makam dengan payung di tangan kirinya. Dari sudut pandang ibu Myesha, ia dapat melihat bahu laki-laki itu sedikit bergetar. "Hhh!" Ibu Myesha menarik napasnya sambil menutup mulutnya. "Kasihan sekali. Ia pasti berusaha tegar di hadapan semua orang," ucapnya karena mengira Ezra yang sedang menangis.
"Benar, Nyonya. Saya harap Tuan Ezra dapat tabah," balas pelayannya.
"Semoga saja. Ayo kita pulang."
Semua orang yang menghadiri pemakaman juga memiliki pemikiran yang sama dengan ibu Myesha. Mereka semua merasa iba saat melihat lelaki itu berdiri sendiri di dekat makam istrinya.
Sedangkan Ezra sendiri pada kenyatannya sedang menyeringai sambil tertawa kecil. "Seharusnya kau senang, Myesha. Kau tidak sendirian tidur di makam itu. Kau tidur bersama anakmu, kan?"
Tawa Ezra mendadak terhenti saat mengingat kondisi mayat Myesha. "Tapi aku kesal. Orang itu berani-beraninya merusak milikku sampai seperti itu."
Rupa mayat Myesha masih terukir jelas di otaknya. Wanita itu diikat seperti huruf X pada tempat tidur yang seprainya sudah berwarna merah kecoklatan dalam keadaan telanjang. Ditambah lagi ada kepala anaknya yang tersangkut di selangkangannya. Daripada sedih, Ezra lebih merasa terhina saat melihatnya. Miliknya dirusak tanpa seizinnya. Padahal ia hanya meminta agar Myesha dibunuh bukan untuk disiksa apalagi dirusak seperti itu.
Ezra kesal. Miliknya hanya boleh dirusak oleh dirinya sendiri, bukan orang lain. Selama seminggu ini, ia berusaha menahan kekesalannya sembari berakting sedih dengan kematian istrinya. Dan sekarang rasa kesalnya sudah berada di puncak ubun-ubunnya hingga ingin meledak. Ia butuh melampiaskan semua kekesalannya.
Saat membalik badannya, tanpa sengaja ia melihat tubuh seksi sekretarisnya. Sekretarisnya yang dulu juga bekerja sebagai bawahan dari pembunuh bayaran yang ia sewa. Tapi semenjak Ezra menidurinya, sekretarisnya itu memutuskan untuk menjadi pemuas nafsunya, tentu saja ia meminta imbalan agar hidupnya dibiayai. Ezra tidak peduli dengan syarat tersebut asalkan nafsunya terpenuhi.
"Sepertinya dia bisa menjadi pelampiasanku," ucapnya datar. "Vania, bersiap-siaplah."