Satu bulan telah berlalu, sudah saatnya bagi Fadil untuk melihat hasil ujian. Dia meraih ponselnya di balik bantal, lalu melihat hasil ujian yang tertera dalam sebuah situs internet. Namun sayang hasilnya tak sesuai dengan harapan. Selama dua hari, ia mengurung diri di dalam kamar. Raut wajahnya yang pucat, tubuhnya yang sangat lemas. Hanya beberapa cemilan dan roti yang menemaninya selama mengurung diri. Sela waktu dia keluar untuk membuang hajat.
Melihat anaknya keluar dengan raut wajahnya yang pucat, ibunya pun hanya terdiam. Dia ingin memberi waktu agar anaknya, berbincang dengan dirinya sendiri. Sesekali dia memberi semangat, dan sebuah petuah bijak agar anaknya kembali bersemangat. Selama mengurung diri, dia selalu menatap layar ponselnya mencari informasi seputar kampus swasta. Sekian lama mencari, serta menimbang-nimbang akhirnya ia memutuskan untuk berkuliah di Universitas Macan Pasundan.
Universitas tersebut, berlokasi di kota Karawang tak jauh dari UNSIKA (Universitas Singa Perbangsa). Disana terdapat tujuh fakulkas yaitu Fakultas Hukum, Matematika, Mesin, Psikologi, Komunikasi, Bahasa Jepang dan Agama. Juga terdapat delapan gedung, yang memiliki delapan lantai serta halaman yang di penuhi oleh taman dan bunga. Di tengah lingkungan kampus, terdapat sebuah patung Ir. Soekarno membaca teks proklamasi kemerdekaan.
Juga terdapat tiga kelas yaitu, kelas pagi, malam dan kelas karyawan. Dan biayanya kuliahnya tidak terlalu mahal, kecuali kelas karyawan. Mengetahui informasi tersebut, Fadil pun sangat senang lalu ia pun langsung mendaftar. Selesai mendaftar ia berjalan, menemui kedua orang tuanya yang sedang berbincang di ruang keluarga. Lalu dia pun duduk bersila di hadapan kedua orang tuanya.
"Ibu, Ayah. Fadil ingin berkuliah di kampus Macan Pasundan. Boleh Fadil berkuliah disana?"
"Boleh saja Fad, tapi kamu mau ambil jurusan apa?" Tanya Sang Ayah.
"Jurusan Bahasa Jepang," jawabnya.
"Apa alasan kamu mengambil jurusan itu?" Tanya ibunya dengan rasa penasaran.
"Sebab banyak perusahaan Jepang, melakukan investasi di negara kita. Dengan menguasai bahasa mereka, siapa tau Fadil bisa jadi penerjemah. Minimal kalau tidak jadi penerjemah, bisa jadi guru."
"Bagus itu, kebetulan Uwa kamu punya koneksi dengan pengajar di JABODETABEK. Kamu bisa mengajar salah satu sekolah disana, tapi pesan Ibu jangan berharap. Sebaiknya kamu mencari pekerjaan, dan melakukan semua hal sendiri. Itu lebih baik," ujar Sang Ibu pada anaknya.
"Iya ibu."
Setelah mendapat izin dari kedua orang tuanya, ia langsung mengurusi surat-surat dan administrasi untuk mendaftar. Fadil mempersiapkan semuanya dengan sangat teliti. Kemudian dia pun membuka buku, bersiap untuk menghadapi tes. Siang dan malam ia selalu membuka buku, lembar demi lembar telah ia baca. Seluruh soal latihan telah dia kerjakan dengan sebaik mungkin. Walau banyak sekali kesalahan, ia terus mengerjakannya. Hingga tak terasa ujian telah tiba.
Dia pun bersiap-siap pergi ke kampus, untuk mengikuti ujian. Kaos putih bermotif macan, telah ia kenakan di balik kemeja biru muda bermotif kotak. Celana jins biru dongker, serta sepasang sepatu putih telah dia kenakan. Tak lupa dia menata rambutnya serta menyemprotkan tubuhnya dengan parfum.
Sinar mentari semakin menjulang tinggo, sudah saatnya bagi Fadil untuk berangkat. Dia mencium tangan kedua orang tuanya, lalu menaiki sepedah motor dan melaju menuju kampus.
Sinar mentari semakin terang, Fadil memacu kendaraannya dengan sangat cepat. Pemuda itu berkonsentrasi, menyalip setiap kendaraan yang ada di depan. Beruntung dia mengenakan jaket, sehingga kulitnya tidak belang seperti zebra. Sekian lama di perjalanan, akhirnya Fadil telah sampai di lokasi. Lalu dia memasuki kawasan kampus secara perlahan. Dia melirik kesana kemari, menikmati suasana kampus sembari mencari parkiran.
Sebuah tanda panah, bertuliskan parkiran terlihat jelas di depan mata. Fadil menuntun motornya, mengikuti tanda tersebut. Jalan lurus dan berlikuk telah ia lewati, dan akhirnya ia sampai di parkiran. Setelah memarkirkan motornya, dia pun berjalan seorang diri mencari ruangan.
Sisi kiri dan kanan ia melihat hamparan rumput serta beberapa tanaman hias. Pohon-pohon yang rindang, di kawasan kampus membuat udara terasa sejuk. Dia berjalan di sepanjang jalan terotoar, lalu ia melintasi sebuah lorong.
Waktu sudah menunjukkan pukul sembilan. Tinggal lima belas menit lagi, waktu yang tersisa sebelum ujian di mulai. Dia pun mencari ruangan kesana kemari dengan penuh tergesah-gesah. Tak sengaja dia menabrak seorang gadis. Sorot matanya yang indah bagaikan batu merah, rambut panjang berwarna putih, serta parasnya yang cantik. Dia memegang punggung gadis itu dengan satu tangan agar tidak terjatuh. Mereka saling berpandangan, kedua mata Fadil tak berkedip ketika memandang gadis itu.
Jantungnya berdegup kencang, serta raut wajahnya mulai memerah ketika terlalu lama memandang gadis itu. Waktu seketika terhenti, suasana sekitar seketika berubah menjadi putih. Kedua bola matanya, hanya terukir seorang gadis di depannya. Kehangatan serta kelembutan, mulai ia rasakan ketika tanpa sadar bagian depan tubuh gadis itu menempel di dadanya. Kemudian dia melepas pelukkannya, lalu membantu menarik gadis berambut putih terjatuh di tanah.
Kemudian gadis berambut putih itu menepuk rok hitam, serta kemeja putih di balik jaket hitam yang ia kenakan. Lalu dia menatap Fadil dengan raut wajahnya yang datar. Sekilas dia melihat pipi gadis itu memerah, dan ia pun memalingkan wajahnya dan pergi begitu saja. Melihat hal itu dia menepuk jidatnya sendiri, dengan rasa menyesal tidak meminta maaf pada gadis itu. Apalagi bertemu dengannya, mungkin sekali seumur hidup.
Dari pada memikirkan hal itu, dia memutuskan untuk kembali fokus mencari ruangan. Sekian lama mencari akhirnya ia berhasil menemukan ruangan tempatnya ujian. Keringat pun menetes dengan derasnya, nafasnya ngos-ngosan dan jantungnya berdetak begitu kencang. Sebuah keajaiban pun telah terjadi, ia kembali bertemu dengan gadis itu. Rupanya gadis berambut putih, satu ruangan dengannya. Ketika memandang gadis itu, rasanya bercampur aduk antara senang, malu dan pesimis.
Kemudian dia menepuk wajahnya sendiri, lalu mereka berdua berjalan bersama memasuki ruangan. Fadil pun duduk di bangku sebelah kanan paling belakang. Tak disangka gadis itu duduk di meja sebelah, ia secara diam-diam memandang gadis itu. Merasa di perhatikan gadis itu menoleh ke arahnya, lalu Fadil menatap ke depan. Dan begitulah seterusnya hingga kedua pengawas memasuki ruangan. Kedua pengawas, mulai membagikan kertas jawaban.
Para peserta, diminta untuk mengisi identitas pada lembar jawaban. Ketika sedang mengisi lembar jawaban, tanpa sengaja gadis berambut putih menjatuhkan pensil hingga patah. Entah apa yang menuntunya, secara perlahan Fadil meraih pensil itu lalu memberikanya tanpa meliriknya. Tangan kirinya gemetar, raut wajahnya memerah serta jantungnya mulai berdegup kencang. Lalu gadis mengambilnya, dan ia pun mendekat.
"Terimakasih," ujarnya berbisik pada telinganya.
Fadil sangat senang mendengarnya, ia merasa sudah membuat kemajuan pesat dalam membentuk sebuah ikatan asmara. Kemudian menepuk wajahnya sendiri, lalu ia fokus mengerjakan ujian. Saat ujian sedang berlangsung, tiba-tiba saja pensilnya patah. Sialnya ia tidak membawa serutan pensil, seseorang tiba-tiba saja menaruh serutan pensil di atas meja. Dia menoleh pada orang yang memberikan serutan pensil tersebut. Rupanya gadis berambut putih itu yang memberikannya.
Wajah gadis itu sedikit memerah, namun raut wajahnya tetap datar ketika menatap Fadil. Sedangkan pemuda itu di buat salah tingkah, ketika menatap sorot matanya. Kehadirannya bagaikan bidadari yang turun dari langit. Kemudian mereka berdua kembali mengerjakan soal. Soal demi soal telah di kerjakan, namun entah mengapa kedua matanua seperti di tarik oleh sesuatu. Secara diam-diam ia menatap gadis itu, begitu juga dengan gadis berambut putih itu.
Hingga Fadil tertangkap basah oleh gadis yang di tatapnya. Sadar telah di perhatikan, mereka berdua saling membuang pandangan dengan wajah merah merona. Tak terasa ujian telah berakhir, satu persatu peserta keluar dari ruangan. Begitu juga dengan Fadil berjalan meninggalkan ruangan, dalam satu hembusan nafas. Dia berjalan santai melihat lingkungan kampus, sembari menghirup udara segar. Di depan ia melihat gadis berambut putih, berjalan sambil menatap layar ponsel di kedua tangannya.
Dia penarasan dengan apa yang ada di balik ponselnya. Namun dia tak bisa mendekat, selain menatapnya dari jauh. Gadis itu berjalan menyerong ke kiri, tanpa melihat apa yang ada di depannya. Hingga akhirnya gadis itu, menabrak sebuah tong sampah plastik berwarna biru.
Gadis itu kehilangan keseimbangan, dan ia pun akan segera jatuh masuk dalam saluran air. Entah apa yang terjadi, tiba-tiba saja Fadil berhasil meraih tangan gadis itu sebelum terjatuh. Padahal jarak antara dirinya, dengan gadis berambut putih berjarak dua meter.
"Hati-hati," kata Fadil mengingatkan gadis itu.
"Iya terimakasih," jawabnya.
"Lain kali, kalau jalan jangan main ponsel bahaya." Ujarnya memberi nasehat.
"Terimakasih atas nasehatnya," timbal gadis itu sembari menatap dengan raut wajahnya yang datar.
Gadis itu pergi begitu saja, meninggalkan Fadil seorang diri yang masih menatapnya tanpa berkedip. Dan pada akhirnya, kesempatan untuk berkenalan ia lewatkan begitu saja.