Rindi melihat pesan masuk di ponsel miliknya. Ternyata pesan dari suaminya, Rindi yang masih merasa sedikit marah pada Fano hanya membalas sekedarnya pesan dari Stefano. Rindi kemudian meletakkan kembali ponselnya di atas meja, Rindi melirik Nana yang masih tidur. Rindi tersenyum kemudian merapatkan selimut sahabatnya itu. Beberapa detik kemudian ponsel Rindi berdering, Rindi menghela napas pelan kemudian mengangkat panggilan itu.
"Assalamualaikum," lirih Rindi menyapa Stefano.
Stefano menjawab salam Rindi di seberang sana kemudian diam tidak bersuara lagi. Rindi menautkan alisnya bingung, kenapa suaminya itu diam saja.
"Ada apa, Chan?" tanya Rindi ingin tahu.
"Kapan Kamu pulang?" akhirnya Stefano mengeluarkan suaranya dan terdengar sangat lemas.
Kening Rindi semakin menunjukkan kerutan yang cukup banyak, Rindi merasa aneh dengan suara Fano.
"Kamu sakit?" tanya Rindi spontan mengeluarkan isi kepalanya.
Rindi ingat betul, Stefano bilang jadwalnya untuk 1 minggu ke depan cukup padat. Tapi kenapa sekarang suara suaminya itu terdengar begitu lemas. Stefano tidak menjawab pertanyaan Rindi dan hanya helaan napas pendek yang terdengar dari Fano di seberang sana.
"Chan?" panggil Rindi lagi.
"Lanjutkan liburanmu, kalau akan pulang ke Seoul kabari Aku. Nanti kalian Aku jemput di terminal."
Setelah berkata seperti itu Stefano kemudian memutus sambungan teleponnya, Rindi semakin bingung ada apa sebenarnya pada suaminya itu. Rindi sudah pasti tidak akan menikmati sisa liburannya di Sokcho ini setelah mendengar suara suaminya seperti itu.
Sekarang ini Stefano sedang ada di studio milik agensi, dia merebahkan diri di sofa. Bertahun-tahun hidup sendiri dia biasa saja, tapi kenapa baru di tinggal 2 hari oleh Rindi sudah membuat Fano kalut. Terlebih lagi sikap Rindi yang tidak seperti biasanya, Rindi yang biasanya begitu perhatian sekarang sangat dingin pada Stefano.
"Kenapa ditinggal dia pergi membuatku seperti ini," gumam Fano kemudian memejamkan matanya.
Dia tidak sakit ataupun semacamnya, tapi badannya benar-benar tidak mau di ajak bekerja hari ini. Rasanya Fano benar-benar tidak memiliki tenaga, Dia hanya ingin tidur saja setelah semalam penuh Stefano hanya mondar-mandir tidak jelas di dalam apartemen.
30 menit berlalu pintu studio Stefano terbuka. Terlihat seseorang perempuan berpakaian mewah dan bagus masuk ke dalam. Perempuan itu melipat tangannya di dada, kemudian tersenyum tipis.
***
Hari sudah mulai larut saat Rindi dan Nana masuk ke dalam kamar hotel yang mereka sewa. Keduanya mengelilingi Sokcho mulai dari pergi ke Sinheungsa temple sampai terakhir mereka pergi ke pantai Sokcho tujuan utama mereka berlibur. Nana langsung merebahkan dirinya ke atas ranjang, badannya benar-benar letih. Sedangkan Rindi menuju kamar mandi karena sedari tadi dia sudah menahan untuk ke kamar mandi.
Tepat saat Rindi keluar pintu kamar mereka di ketuk dari luar. Nana dan Rindi saling memandang.
"Siapa?" Ujar Nana sedikit keras.
"Room service," sahut seseorang dari luar.
"Pesanan makanan kita pasti," ucap Nana antusias kemudian turun dari ranjang dan berjalan menuju pintu.
Rindi tersenyum tipis kemudian berjalan mengambil ponselnya di dalam tas. Dia bermaksud untuk menelephone Fano. Sedari tadi dia terus saja memikirkan Fano yang kemudian tidak mengiriminya pesan sama sekali.
Rindi menempelkan ponselnya di telinga, beberapa detik Rindi menunggu tidak ada jawaban dari Stefano. Rindi sudah akan menutup teleponnya kalau saja Stefano tidak berteriak halo sedikit keras. Rindi tertawa kecil kemudian menempelkan ponselnya kembali ke telinga.
"Sedang apa?" Tanya Rindi.
"Masih di studio? Kamu sendiri sedang apa? Bagaimana liburanmu hari ini?"
Fano bertanya dengan satu tarikan napas membuat Rindi tertawa kecil.
"Kenapa tertawa?" Tanya Fano kemudian.
"Tidak apa-apa hanya saja ingin tertawa. Sudah makan?" Tanya Rindi kemudian.
"Rin, ayo makan sebelum nasi gorengmu dingin," panggil Nana yang sedang menikmati makanannya.
Rindi melihat ke arah Nana kemudian menganggukkan kepalanya pelan.
"Kamu sendiri belum makan kenapa tanya Aku sudah makan apa belum? Makanlah dulu Aku akan melanjutkan pekerjaanku," timpal Stefano yang mendengar perkataan Nana.
"Baiklah Aku akan segera makan, Kamu juga cepatlah makan kalau pekerjaanmu sudah selesai."
Rindi menanggapi perkataan Fano kemudian mengucap salam dan sudah akan menutup teleponenya. Tapi Stefano memanggil namanya lagi. Rindi mengurungkan niatnya untuk menyudahi telephone itu.
"Ada apa? Ada yang mau Kamu bicarakan lagi?" Tanya Rindi.
"Cepatlah pulang!"
Kalimat terakhir yang Stefano ucapkan itu sukses membuat Rindi benar-benar ingin pulang malam ini juga. Mendengar suaminya yang sangat irit bicara dan dingin menyuruhnya segera pulang, sudah seperti mendapat durian runtuh. Rindi senyum-senyum sendiri saat duduk di depan Nana yang masih menikmati makanannya. Rindi tidak menghiraukan pandangan aneh menyelidik dari Nana saat ini.
***
5 hari yang sangat berat untuk Fano. Bahkan stok lauk dari Rindi sudah habis di dalam kulkas. Stefano mengeluarkan sebutir telur kemudian menggorengnya. Stefano ingat dia menyuruh Rindi supaya cepat pulang, kenapa gadis itu justru menambah jatah libur. Setelah membuat telur mata sapi, Stefano kemudian menikmati telur itu bersama nasi putih. Dia ingat dengan apa yang di lakukan Rindi waktu itu, Rindi yang memang tidak terlalu bisa menikmati makanan Korea. Memilih makan dengan telur mata sapi dan kecap saat itu di rumah Jay. Teman-temannya pun memandang Rindi dengan pandangan aneh, tapi gadis itu makan dengan lahap walaupun hanya dengan satu menu lauk itu.
Fano menyuapkan nasi dan telur kemulutnya bersamaan, sama persis dengan apa yang Rindi lakukan. Stefano tersenyum girang karena ternyata memang seenak ini makanan yang di sukai istrinya itu. Tanpa banyak berpikir lagi, Stefano menghabiskan semangkuk nasi dan telur mata sapi itu dengan sekejap mata.
Selesai makan, Stefano berjalan menuju ruang tv dan menghidupkannya. Sekilas Stefano memandang jam dinding yang menunjukkan pukul 2 sore. Jam 4 nanti dia ada janji dengan CEO, Fano mengerang pelan.
"Aku bahkan sangat malas walaupun hanya untuk pergi kerja," gerutunya bermonolog kemudian beranjak lagi dari duduknya untuk siap-siap.
Meeting dengan CEO agensinya dan beberapa penyanyi pendatang baru ternyata tidak sebentar. Nyatanya Stefano memasuki studionya jam sudah menunjukkan pukul 10 malam. Stefano menjatuhkan dirinya di sofa, Fano memandang kosong ke langit-langit studionya. Tangannya kemudian mengambil ponsel di dalam saku celananya. Dia membuka kontak dan akan menghubungi Rindi. Tapi Fano terlihat ragu-ragu.
"Apa Aku akan mengganggunya liburan kalau Aku telephone sekarang?" Gumam Fano.
Dari ekspresi wajah Stefano jelas sekali kalau laki-laki itu sedang bimbang. Stefano menghela napas dalam kemudian kembali meletakkan ponselnya di atas dada.
"Apa yang harus Aku lakukan sekarang ini," Gumamnya bermonolog kemudian memejamkan mata pelan.
Rindi baru saja sampai di gedung agensi Stefano. Rindi yang di buat bingung kenapa CEO Fano menghubunginya, tidak berpikir 2 kali untuk datang ke kantor suaminya ini. Rindi mengikuti langkah kaki sekretaris Bang Hyu Sik dengan hati, sesampai di depan sebuah ruangan sekretaris itu mengetuk pintu beberapa kali. Terdengar seseorang menyuruh mereka masuk dari dalam.
Rindi menundukkan kepalanya pelan pada atasan sang suami. Terlihat disitu ada perempuan cantik yang sangat elegan. Wajahnya begitu terlihat halus tidak ada noda sedikitpun. Perempuan itu juga sangat ramah, Dia tersenyum pada Rindi sekarang. Rindi juga membalas senyum perempuan itu tidak kalah ramah.
***
Stefano membulatkan matanya saat melihat Rindi sedang memasak di dapur. Stefano pikir bau masakan yang dia cium itu hanya mimpi ternyata memang benar sedang ada yang memasak di dapur. Stefano berdiri di samping Rindi dengan wajah tidak percaya, Rindi sendiri memandang Stefano kemudian tersenyum geli melihat ekspresi Fano.
"Kapan Kamu pulang? Kan Aku sudah janji mau menjemput kalian," ucap Stefano sedikit bernada merajuk.
Rindi membulatkan mata, dia tidak percaya suami dinginnya itu bisa memiliki suara seperti itu. Rindi tertawa kecil kemudian mengusap lengan Stefano pelan.
"Tidak apa-apa, yang penting sekarang Aku sudah di rumah. Cepat bersihkan dirimu dulu, sebentar lagi masakanku matang," ujar Rindi.
Stefano dengan patuh menganggukkan kepala dan berjalan pergi ke kamar mandi. Rindi memandang punggung Fano yang menjauh dengan masih tersenyum.
"Chan, kenapa tidak memasak? Kamu makan apa setelah lauk di dalam kulkas habis?"
Tanya Rindi yang penasaran melihat isi kulkas sudah bersih.
Wajar memang 5 hari dia pergi ke Sokcho, stok lauk untuk Fano hanya dia buat untuk 3 hari.
"Aku makan dengan telur goreng," sahut Fano kemudian memasukkan makanan ke mulutnya lagi.
"Telur goreng? Kamu mau makan dengan itu?" Tanya Rindi heran.
"Kenapa tidak? Makanan itu enak," Sahut Fano lagi.
Rindi memandang Stefano dengan wajah sendu, laki-laki di hadapannya bukan hanya bisa beradaptasi dengan Rindi. Tapi laki-laki ini juga tidak pernah main-main dengan pilihannya. Selama ini Stefano bukan hanya mengikuti budaya dan kebiasaan Rindi yang berbeda, tapi Fano selalu saja menganggap itu takdirnya sekarang. Fano juga tidak pernah mengeluh menjalani hak dan kewajibannya sebagai mualaf. Pernikahan yang mereka awali dengan kebohongan, kenapa bisa sampai sejauh ini.
Stefano mendongak memandang Rindi yang diam saja sambil menatap Fano.
"Wae? Jangan memandangku seperti itu, bisa-bisa wajahku berlubang nanti. Atau jangan-jangan Kamu merindukanku jadi menatapku lekat seperti itu?" -Kenapa?- Ujar Stefano membuyarkan semua pikiran Rindi.
Rindi tersenyum tipis kemudian menundukkan kepalanya. Tanpa Rindi sadari Fano tersenyum memandangnya sekarang.
"Aku yang merindukanmu, Rin," batin Stefano bermonolog masih dengan menatap Rindi.
***