webnovel

Alluring Pretty Eyes

Seorang pria berjalan agak sedikit terhuyung dengan sebelah tangan terus memegang kepalanya. Ia mendengus beberapa kali dan kemudian terjatuh di koridor kamar presidential suite hotel bintang lima, Poseidon.

"Rei, kamu baik-baik saja?" tanya seorang pria lain dan kemudian memapah pria yang dipanggil dengan nama Rei tersebut sehingga ia bisa berdiri tegak meski bersandar di dinding. Rei bernapas agak sedikit tersengal dan menengadahkan kepalanya ke atas.

"Mau ku antar ke kamar?" tawar pria yang merupakan salah satu partner bisnisnya itu lagi.

"Tidak, aku baik-baik saja! Terima kasih!" ujar Rei lagi lalu berjalan ke arah kamarnya.

"Hei, kamu takut kita akan tidur bersama ya?" Rei berhenti namun tak berpaling pada pria itu. Di belakang Rei, pria itu terlihat menyeringai sekaligus mengejek.

"Aku tidak takut apa pun!" ucap Rei separuh menggeram. Ia tahu apa yang sesungguhnya dimaksudkan oleh pria tersebut.

"Tidak ada salahnya menjadi gay!" Rei memejamkan mata dan menahan emosi di rahangnya.

"Aku bukan gay, aku pria normal!" balas Rei masih mencoba menahan diri. Pria itu malah tertawa dan mendekat.

"Bagaimana cara kamu membuktikannya?" ia malah berdiri di samping Rei seakan menantangnya. Rei pun berpaling dan menatap dengan pandangan sinis.

"Aku tidur dengan perempuan. Aku punya pacar seorang perempuan hanya aku tidak bisa bilang siapa dia, atau media gosip akan menghancurkan reputasi dia dan aku!" tukas Rei makin menaikkan nada suaranya dengan kesal. Pria itu kemudian terkekeh dan mengangguk. Tapi suara tawanya benar-benar mengejek.

"Tentu saja, siapa yang percaya dengan pria tampan sepertimu mengaku punya pacar tapi tak bisa menunjukkannya? Bukankah itu terdengar seperti alasan untuk sebuah ilusi? Hahaha!" Rei makin kesal dan membuang mukanya.

"Pergi jangan ganggu aku!" usir Rei lagi. Ia kemudian berbalik dan berjalan ke arah pintu kamar lalu meraba kartu untuk membuka pintunya. Karena mabuk dan sepertinya pengaruh obat, Rei tak bisa membuka pintu dengan baik. Pria itu pun membantunya dan pintu pun terbuka. Ia langsung masuk ke dalam tanpa peduli pada pria yang mengejeknya masih berdiri di depan pintu.

"Apa kamu butuh sesuatu biar aku minta seseorang datang?" tawar pria itu lagi sembari Rei berjalan ke dalam kamar. Rei malah menaikkan tangannya tanda ia tak butuh dan pria itu hanya menggelengkan kepala.

"Dasar arogan!" rutuk pria itu lagi dengan kesal. Ia memang tak menyukai sifat Rei yang dianggap banyak orang hanyalah pria sombong yang ambisius. Pria itu ingin menjatuhkan reputasi Rei tapi tak tahu harus berbuat apa sampai ketika ia berbalik ia melihat seorang gadis tengah memapah temannya yang sepertinya mabuk. Gadis yang memapah itu sibuk mencari-cari kamar tapi dia kebingungan.

"Apa kamu butuh bantuan?" tawar pria tersebut pada gadis yang memapah temannya.

"Uh, umm ... dia ..." pria itu terus memandang gadis itu dan mulai curiga.

"Dia seharusnya jadi teman kencan seorang pria, masalahnya aku tidak tahu dimana kamarnya. Aku hanya membantu mengantar!" ujar gadis itu lagi. Pria itu masih memandang lalu mengalihkan perhatiannya pada gadis yang tengah dipapah. Ia seperti mabuk dan terus meraba dirinya. Rambutnya pirang tampak lembut dan wajahnya juga cantik meski tertutup beberapa helai.

Sebuah pikiran jelek lantas menyelinap masuk ke dalam benak pria itu. Ia sedikit menyeringai dan melirik ke arah kamar Rei yang baru saja masuk.

"Ikut aku, aku tahu siapa yang butuh kencan!" pria itu lantas berbalik dan gadis yang memapah temannya mengikutinya. Pria itu lalu mengetuk pintu beberapa kali sampai seorang pria tanpa atasan dan hanya memakai celana membuka pintu. Tapi ia tak begitu terlihat karena ternyata lampu kamar dibuat temaram.

"Aku punya hadiah untukmu!" ujar pria itu pada Rei yang bingung tak mengerti. Tanpa ijin, ia langsung menerobos masuk dan gadis itu mengikutinya. Rei makin mengernyitkan keningnya saat ada tiga orang tamu tak diundang masuk ke dalam.

"Letakkan saja dia di ranjang!" gadis itu mengangguk pada pria tersebut lalu meletakkan gadis yang dipapahnya ke atas ranjang.

"Ada apa ini?" tanya Rei masih bingung. Gadis yang memapah lantas berbalik dan menatap Rei. Dari temaramnya lampu dan jarak yang cukup jauh karena ia berdiri di ujung koridor kamar, ia bisa melihat tubuh atletis dan ketampanan pria yang tak ia kenal itu.

"Ada hadiah untukmu. Sekaligus untuk membuktikan apakah kamu bukan gay!" ucap pria itu pada Rei yang jauh lebih tinggi darinya. Rei sedikit memiringkan kepalanya melihat pada gadis yang kini tergeletak di tempat tidurnya.

"Jika dia tak bisa berjalan esok pagi, baru aku percaya bahwa kamu adalah pria normal. Dan akan kukatakan pada yang lainnya!" pria itu menyeringai jahat lalu mengajak gadis yang memapah untuk pergi meninggalkan Rei dan gadis yang tak dikenalnya di atas ranjang. Setelah semuanya pergi, Rei lantas mendekat dan mencoba melihat. Wajah gadis itu sepenuhnya tertutup helai rambut yang sepertinya berwarna pirang.

Rei sebenarnya tak ingin melakukan hubungan intim, ia masih sibuk menetralisir pengaruh alkohol dan sepertinya seseorang ikut menuangkan obat perangsang dalam minumnya. Ketika ia berbalik, gadis itu tiba-tiba duduk dan melenguh.

"Uh ... kenapa di sini panas sekali? Uuhh!" gadis itu mendesah dengan suaranya yang lembut. Rei pun berbalik lagi dan kini ia melihat pemandangan yang membuat bola matanya jadi liar. Gadis itu meraba dirinya sendiri, membuka satu persatu pakaiannya sampai hanya tersisa bra. Ia lalu berbaring lagi dan membuka rok mini setengah paha di depan Rei yang diam saja menonton.

Gairah Rei naik lagi dan kali ini tak tanggung-tanggung, ia jadi ingin melumat gadis tersebut. Telapak tangan Rei lalu mulai menempel dari leher sampai batas dada atas. Jemarinya menelusuri perlahan kulit lembut di atas bra berwarna hitam dengan lace di pinggirannya. Rei menelan ludahnya sekali dan perlahan mendekat. Gadis itu mulai melenguh sampai menekukkan punggungnya.

Ia tampak bergairah dan begitu panas. Dan Rei mengambil kesempatannya dengan baik. Untuk apa ia memikirkan pacar yang sudah mengkhianatinya tadi sore? Bayangan kekasihnya Cristina Megan hilang dari benaknya saat melihat tubuh indah gadis di ranjangnya.

"Berapa aku harus membayarmu?" desah Rei bertanya sambil tangannya terus meraba lekuk tubuh gadis itu. Gadis itu perlahan membuka matanya dan jantung Rei langsung berdetak lebih cepat. Matanya biru seperti lautan, bening dan polos. Seperti mata seorang malaikat, yang bertugas mencabut nyawa dari tubuh Rei sekarang.

"Sentuh aku, aku tidak tahu apa yang terjadi padaku ... aku ..." desah gadis itu menatap Rei dengan pandangan memohon.

"Aku seorang dominan, Sayang. Aku tidak bercinta!" bisik Rei dengan desah napas yang membelai hidung mancung gadis itu. Bukannya menolak gadis itu malah mengangguk dan Rei pun menyeringai lalu mengeluarkan lidahnya untuk mengecap rasanya.

Chapitre suivant