Pembelajaran di sekolah mungkin sudah selesai, tapi kegiatan yang diadakan pihak sekolah masih belum selesai. Razia secara mendadak tadi malam, menyita perhatian kepala sekolah, dan pemilik sekolah ini. Ah, simpel saja masalahnya. Panitia osis yang bekerja semalam, menemukan banyak benda yang berhubungan dengan seks bebas, dan kebanyakan itu dimiliki oleh siswa perempuan. Agak sedikit mengejutkan, ya?
Pihak sekolah tidak membeberkan secara jelas siapa saja pemilik benda itu, tapi jika dilihat dari gerak–geriknya, sudah jelas siapa saja yang terciduk. Di tengah pidato kepala sekolah yang panjang, Joyye, ketua osis di sekolah ini tiba–tiba datang dengan raut wajah ketakutan. Rambut gadis itu berantakan, keringat dingin pun tak henti–hentinya bercucuran dari pelipis Joyye. "Ada apa, Joyye?" tanya Kepala Sekolah. Nafas Joyye yang tersenggal–senggal membuat para guru semakin bertanya–tanya. Jari telunjuk Joyye terangkat, ia menunjuk lorong kelas 11 yang ada di lantai 2.
Semua mata kini tertuju pada lorong yang Joyye maksud, di sana, mereka bisa melihat manusia dengan tubuhnya yang tinggi dan besar, berdiri dengan pakaian serba hitam, dibalut dengan cairan merah yang semua orang yakini jika itu adalah darah. "Reyn? Itu bukan hantu kan?" tanya Nessa, dengan suaranya yang bergetar. Reyna menggelengkan kepalanya, gadis itu menerka–nerka postur tubuh pria itu. Namun, fokusnya kini beralih pada benda bulat yang orang itu pegang. Dalam hitungan detik, orang itu melemparkan benda bulat tersebut ke tengah lapangan, dan yang terjadi adalah ...
"AAAAAAAAAAAAA!!!!"
Semua orang yang berada di lapangan berteriak histeris, benda bulat yang mereka pikir bola, ternyata adalah sebuah kepala yang sudah terpisah dengan tubuhnya. Bau anyir yang menyengat keluar dari darah yang terus mengalir keluar. Sebagian besar dari para siswa di sana jatuh tersungkur tak sadarkan diri, karena kejutan yang mereka terima. "Reyn mau kemana?!" Nessa yang melihat Reyn berlari, langsung menarik Ghani untuk ikut dengannya mengejar Reyna. Beberapa anak Osis yang mentalnya masih kuat, mencari sesuatu untuk menutupi kepala Rendra. Rendra? Iya, Rendra teman sekelasnya Reyna, Nessa, dan Ghani.
Reyn yang perasaannya sudah kalut, tidak berpikir panjang untuk mencari, dan mengejar orang yang secara terang–terangan membunuh Rendra, dan membuang kepala anak itu di depan banyak orang. "Reyn! Jangan gegabah kayak gitu!" teriak Nessa, yang membuat Reyn berhenti secara mendadak. Ah tidak, Reyn berhenti bukan karena Nessa yang memperingatkan nya, akan tetapi karena ... "Re ... Rendra dimutilasi? ..." suara Nessa bergetar, tubuhnya melemas, dan air mata mulai keluar, mengalir membasahi pipi Nessa. Ini adalah kali kedua, Nessa melihat orang meninggal secara langsung. Trauma yang kemarin saja belum hilang, sekarang sudah ditambah trauma baru.
"Ghani, bantu Nessa, dan bawa Nessa pergi dari sini." Ghani yang mendapatkan perintah dari Reyn, hanya bisa mengangguk pasrah. Ghani tidak mau rencana yang sudah Reyn buat dengan matang semakin berantakan jika Nessa masih ikut bersama mereka. "Kau kembali, dan bereskan potongan tubuh Rendra. Panggil anak osis lain untuk membantu," jelas Reyn, yang kemudian pergi meninggalkan Ghani dan Nessa. Ghani membopong tubuh Nessa, membawanya ke tempat bagian kesehatan, dan menitipkan Nessa pada mereka.
Setelah itu, Ghani mencari anggota Osis yang bisa membantunya mengurus tubuh Rendra yang sudah terpotong–potong. Ghani meninggalkan mereka, dengan alasan ia akan mengejar Reyn dan membantunya jika ada masalah. Walau Ghani tidak yakin ia bisa banyak membantu Reyna. Dengan kecepatan yang sedikit di atas rata–rata, Ghani bisa menyusul Reyna, walau dengan keadaan yang tidak Ghani inginkan. "Are you okay?" tanya Ghani, sembari membantu gadis itu untuk bangkit. Reyn menganggukkan kepalanya, walau tubuhnya bergetar hebat, gadis itu tetap berusaha untuk melangkah.
"Di—dia lari ke arah sana, Ghan. Sebelum ada korban yang baru, kita harus udah berhasil nangkap orang itu ..." lirihnya. Ghani melihat ke lorong yang Reyna maksud, lorong yang menghubungkan mereka ke laboratorium sekolah. Ghani menuntut Reyna, sebelum menyusul rekannya ini, Ghani sudah menyiapkan rencana, dan beberapa benda yang bisa ia gunakan untuk bertarung. "Apa kau sudah tahu siapa orang itu?" tanya Ghani, yang dibalas anggukan kepala oleh Reyn. "Dia seorang pria, Ghani. Ketika aku sudah berhasil membuka penutup wajahnya, pria itu menusukkan pisau ke paha ku, dan ia menyemprotkan cairan yang aku yakini adalah obat bius," jelas Reyn, dengan suaranya yang parau.
Tidak terasa, kedua orang itu kini sudah sampai di depan laboratorium. Belum sempat keduanya masuk, darah segar mengalir deras dari balik pintu laboratorium, yang keduanya yakini adalah korban kedua dari orang itu. Tangan Ghani tergerak untuk menyentuh knock pintunya, namun, selang beberapa detik, pintu laboratorium ini terbuka lebar, menunjukan seorang wanita, dengan tangan yang juga memegang kepala manusia. Ia tersenyum lebar, menatap keduanya seperti memberikan salam selamat datang. "Ah, akhirnya kalian datang juga, Cherinne, dan Tomy." Nafas Reyn dan Ghani terasa sesak, apa yang membuat wanita ini sampai datang, dan mengambil alih pekerjaan mereka?
"Hey, kenapa raut wajah kalian seperti tidak senang aku datang? Ah ayolah, niat ku baik .. aku hanya ingin membantu kalian tau," ucapnya lagi. "Ketua tim 1, kenapa kau datang kemari?" tanya Reyna, ah, Cherinne secara tegas. Bukannya menjawab, wanita itu malah tertawa kencang, seolah apa yang Cherinne tanyakan itu adalah sebuah lelucon murahan. Ghani yang mendengar hal itu, hanya bisa menggeram kesal, telapak tangannya mengepal, seolah ia sudah siap untuk memukul wajah wanita yang ada dihadapannya. "Cherinne. Kau terlalu banyak membuang waktu, jika kau terus menunda penangkapan orang–orang bejat itu, maka tugas tim 3, akan dialihkan pada tim 1," jelasnya, dengan nada suara yang mengejek.
Reyna memutar bola matanya, kemudian ia tersenyum tipis. "Oh ayolah Metta, kau pikir aku selama ini hanya diam saja? Dan tidak melakukan apapun?" balas Reyn, membuat kedua alis Metta terangkat. "Kau tahu? Tinggal satu langkah lagi, maka kasus di sekolah ini akan terbongkar semua. Kasihan jika pemilik sekolah ini meminta kalian yang mengusut masalah, sepertinya kalian hanya bisa menyelesaikan satu masalah saja." Kalimat panjang yang menusuk itu bukan yang pertama kali Metta dengar. Sebagai tim utama yang jarang mendapat misi, tentu saja Metta banyak merusak tugas tim lain, agar pekerjaan mereka jatuh ke tangan tim 1.
"Metta, daripada kau mencari masalah terus, lebih baik kau bantu kami dengan cara tidak menggangu pekerjaan kami," cerca Tomy. Ah, sepertinya Metta lupa, jika Cherinne yang dipilih sebagai ketua utama organisasi mereka sangat pintar memutar balikan keadaan, dan sekarang, itu membuat Metta terpojok.
"Jika kau tidak memiliki pekerjaan lain, suruh adik mu untuk diam, dan tidak ikut campur dalam pekerjaan kami. Kau harus ingat satu hal, Metta. Aku bukan anak sekolah berumur 17 tahun lagi, seperti tiga tahun yang lalu."
~~~~