webnovel

3. Rumit Sejak Awal.

"Jangan sekarang," minta Tae Woo saat dia baru saja sampai di kantornya lebih cepat dari sebelumnya, bahkan pria dengan nama lengkap Jung Hoo Sik saja sudah lebih dulu berdiri dan menghampiri Kim Tae Woo untuk memberikan tanggung jawab dan juga pekerjaan patennya.

"Kau terlalu sibuk akhir-akhir ini. Ya, aku tahu aku tidak seharusnya ikut campur dengan ini. Tapi, bukankah ini salahmu juga jika perusahaan ini hancur?" tanya Hoo Sik pada Tae Woo sebab dia merasa butuh jawaban dan alasan dibalik Tae Woo melakukan hal yang dia inginkan akhir-akhir ini.

"Ada kau jangan lupakan itu, Kak Hoo Sik. Kau ada di sini karena diperlukan, jika kau tidak ada di sini. Aku tahu caraku memperlakukan dengan baik perusahaan yang sudah terlalu tua ini." Tae Woo menjawabnya dengan wajah sangat datar dan memilih berjalan menjauh menuju lift untuk kembali ke kantornya kali ini.

Jika tidak untuk tidur setidaknya Tae Woo harus menguris beberapa meeting pertemuan via virtual karena dia tidak bisa datang untuk meeting ke luar ruangan untuk siang ini. "Kau perlu mendengarkanku," ucap Hoo Sik yang berusaha memaksakan diri untuk ikut ke lift yang sama dengan Tae Woo saat itu, namun pria itu memilih mwndorong Hoo Sik berusaha menjauhkan Hoo Sik dari dirinya.

"Mengantrilah dengan baik, Kak." Tae Woo menegurnya dengan baik, pintu lift tertutup dengan rapat walaupun hanya ada Kim Tae Woo saja. Sebagian karyawan yang bekerja di teman itu melihat secara sembunyi-sembunyi bagaimana Tae Woo memperlakukan Hoo Sik terlalu nyata.

Jika benci setidaknya jangan melakukan banyak hal yang membuat semua orang harus tahu jika hubungan baik antara Kim Tae Woo dan Jung Hoo Sik itu tidak baik. Setidaknya tidak untuk konsumsi publik atau semua karyawan tahu. Akhir-akhir ini Kim Tae Woo terlihat terlalu jelas mengutarakan kebenciannya terhadap Jung Hoo Sik bahkan tidak hanya dengan ucapannya melainkan dengan tindakan tangan.

Dorongan, pukulan tangan, bahkan kaki juga diantara keduanya sudah sangat jelas saling tidak menyukai dengan jelas. Awalnya memang tidak, namun melihat sedrastis apa perubahan Kim Tae Woo pada Jung Hoo Sik sepertinya bukan dalam waktu baru-baru saja.

Semua karyawan bisa melihat bagaimana respon Jung Hoo Sik yang terlihat sangat sabar dan hanya diam begitu Tae Woo memperlakukannya dengan tidak baik. Mungkin memang Kim Tae Woo sangat kasar, hanya saja pria itu menutupi semua kebusukannya diam-diam dan pada akhirnya lelah berpura-pura.

Itu pendapat karyawan saja.

"Apa yang kalian lihat? Kerjakan pekerjaan kalian masing-masing," tegur Hoo Sik saat sebagian karyawannya mulai menatap dengan tatapan kasihan dan iba padanya.

"Maaf, tuan." Salah satu mereka menjawab, sebagian mulai mengerjakannya saja tanpa menjawab. Hoo Sik yang melihat tatapan karuawan mulai berbeda kembali menghela nafasnya berat, tangannya mengambil tombol lift dan mulai masuk untuk menyusul adik laki-laki sepupunya.

"Dan terjadi lagi, kenapa kau seperti ini Kim Tae Woo." Hoo Sik menghela nafasnya terasa begitu berat saat tahu jika adik laki-laki sepupunya mulai melakukan hal diluar kendalinya lagi.

Ini akan menkadi masalah serius untuknya dan untuk orang lain juga. Setidaknya jika tidak untuk di depan karyawan, Hoo Sik terima-terima saja di lain tempat.

Hoo Sik bukannya membenci Tae Woo, Hoo Sik hanya tidak ingin Tae Woo dioandang buruk saja sebenarnya.

Sampai di lantai ruangan resmi dimana hanya ada ruangan pribadi dan ruangan milik Tae Woo dan Hoo Sik pria itu memilih mengetuk pelan ruangan milik Tae Woo. "Aku akan masuk," ucapnya hanya memberitahu, Tae Woo menyetujui tanpa mengatakan apapun.

"Jika kau hanya akan membahas soal tadi, kau terlalu manja, Kak." Belum mengatakan apapun, Hoo Sik bahkan sudah mendapat jawaban kurang menyenangkan dari Tae Woo.

"Kemana saja kau hari ini? Haruskah kau datang pukul sepuluh siang saat kau bisa datang ke kantor pukul delapan pagi?" tanya Hoo Sik menanyakan tempat sebelumnya Tae Woo datangi sebelum ke kantornya. "Aku ada urusan, kali ini sedikit." Tae Woo mengangkat bahunya tidak ingin memperpanjang pembahasannya dan memilih membuka laptop yang sejak tadi dia bawa.

"Aku ada meeting dengan tuan Min nanti, sepertinya kau tidak perlu mengajariku untuk kali ini," ucap Tae Woo meminta Hoo Sik untuk beristirahat sebentar sebab dia sudah menyelesaikan pekerjaannya sejak pukul tujuh pagi tadi.

"Aku hanya butuh tahu kau darimana, Kim Tae Woo." Hoo Sik terlihat sangat tenang menanyakannya, namun lebih tenang lagi Tae Woo yang hanya menaikan kedua alisnya tanpa bicara sedikitpun. Kedua tangannya menunjukkan laptop dimana dia ingin menjelaskan jika dia juga ada urusan tapi tidak meninggalkan pekerjaan dan kewajibannya.

"Kau melihat pekerjaanku tidak ku abaikan, apa lagi yang kau butuhkan, Kak?" tanya Tae Woo sedikit meninggikan suara tidak bermaksud untuk tidak sopan padanya.

"Kim Tae Woo, aku bertanya karena aku perduli." Hoo Sik bahkan terlihat sangat frustasi mendapat jawaban dari Tae Woo sebab dia merasa begitu besar dinding yang Tae Woo ciptakan diantara dirinya dengan Kim Tae Woo.

"Ya, terimakasih sudah mau perduli padaku, Kak." Tae Woo mengambil air mineral yang dia ambil beberapa menit sebelum kedatangan Hoo Sik ke ruangannya dan meneguknya sampai setengah. "Ada masalah apa sampai kau merasa kau tidak bisa menyelesaikan masalahnya, Kak?" tanya Tae Woo mencari satu point dimana Jung Hoo Sik tidak mendapatkan kenyamanan bekerja saat Kim Tae Woo tinggal beberapa jam saja.

"Kim Tae Woo, aku sedang berbicara denganmu sebagai kakak sepupumu kalau kau mau tahu saja," ucap Hoo Sik seakan-akan dia sedang kehilangan arah bicara dan perannya untuk kali ini.

"Kak, aku tahu, kau tahu jika aku baru saja pergi ke tempat mana. Kenapa kau menanyakan aku baru saja darimana hanya untuk memancing keributan, lupakan saja," minta Tae Woo pada Hoo sik sebab pertanyaannya terdengar sangat tidak masuk akal dan menyebalkan untuk dirinya sendiri bicarakan.

"Apa yang ku tahu?"

"Kau tahu kau pergi ke caffe, apa lagi?" tanya balik Tae Woo tidak kalah lebih sewot dan tidak bersahabat kali ini. Hoo Sik memutar bola matanya malas, dia bahkan menatap serius pada adik sepupunya kali ini. "Siapa yang kau cari di caffe itu? Bukankah caffe itu milik pacarnya Nam Gi, apa minuman di sana sangat enak sampai-sampai kau harus datang ke sana tiga tahun terakhir ini?"

"Kau tidak perlu tahu sebenarnya," jawab singkat Tae Woo memilih untuk mengabaikan pembicaraannya dengan Hoo Sik karena mendapat panggilam dari seseorang.

"Ya, kirimkan saja untuk hari ini."

"Tidak masalah, kirimkan saja seperti biasa. Aku yang akan membayarnya."

"Terimakasih kembali." Tae Woo menyimpan ponselnya setelah penggilan tadi berakhir menyisakan mata tajam meneliti Tae Woo dengan serius. "Kembalilah ke ruanganmu, Kak. Kau di sini mengganggu waktuku jujur saja," celetuk Tae Woo sebab dia sedikit tidak nyaman dengan apa yang Hoo Sik lakukan padanya.

Pria itu memilih keluar tanpa bicara waaupun dia juga kelelahan mennadi kakak yang baik untuk Kim Tae Woo hari ini. Tae Woo menyalakan laptopnya untuk mulai melakukan meeting, walaupun kali ini dengan seorang pengusaha sekaligus pengacara Kim Tae Woo sudah sangat berteman baik dengan pria itu.

Meeting berjalan cukup cepat dan dengan pembicaraan yang santai, Tae Woo merasa nyaman dan mulai menyelam pada pekerjaannya sampai pada jam makan malam.

Makan malam datang, Hoo Sik selalu memesankan makan siang dan makan malam untuk Tae Woo setiap harinya. Selain menjadi penanggan jawaban perusahaan ini Jung Hoo Sik juga sudah menjadi tangan kanan Tae Woo dan orang kepercayaan orang tua Tae Woo.

Apapun yang terjadi, dan apa saja masalahnya Hoo Sik tahu penyelesaiannya. "Terimakasih makan malamnya, paman." Tanpa membiarkan makanannya dingin Tae Woo baru akan memulai makannya namun ponselnya berdering.

Kali ini seseorang menelfonnya lagi.

Masih dengan suara yang seperti sebelumnya juga. "Maaf." Indra pendengaran Tae Woo benar-benar diuji dengan suara lirih itu. "Maafkan aku, Kak." Namun pria itu masih membeku di tempat tanpa jawaban.

Dia diam, tapi dia mendengarkan. "Apa aku kurang mengerti dirimu?" tanya Tae Woo saat suara dari yang menelfonnya mulai hilang.

"Aku hanya--" Tanpa memberi kesempatan untuk menjawab, biarkan untuk kali ini Tae Woo memberi peringatan sedikit tegas pada pria itu.

"Hubungan ini ada hanya karena aku dan kau saling mencintai, kenapa sekarang kau harus perduli pada orang lain?" tanya balik Tae Woo dengan mempertegas suaranya.

"Bukan maksudku seperti itu," balasnya. "Tapi kau melakukannya." Tae Woo sedikit menggertak pria itu sebab dia tidak ingin masalah terjadi lagi.

"Kak, kau sudah menyetujuinya sejak awal. Dan kau juga mau mengikuti apa yang sudah kita sepakati bersama, kenapa sekarang kau berubah pikiran?" tanya pria tadi kembali menanyakan hal yang dama pada Tae Woo.

"Apa kau pikir ada pria yang bisa bertahan sampai sejauh ini hanya dengan hubungan tidak sehat seperti ini, Kim Jung Ki?" tanya Tae Woo merasa butuh mengganti nama marga keluarga Jung Ki karena pria itu masih egois dengan caranya sendiri.

"Ku beri satu pertanyaan untuk hari ini," ucap Tae Woo lagi membuat pria kecil itu hanya bisa menghela nafasnya berat dan mulai kewalahan sebab pria yang sedang bersamanya terlihat sedang memanggil-manggil namanya.

"Kak, sepertinya aku harus kembali bekerja," jawab Jung Ki seakan-akan menjelaskan jika pria itu masih berat sebelah dengan pilihannya. Dia masih tidak bisa membagi dengan imbang antara hubungan percintaannya, egonya, dan pekerjaan yang membuatnya hidup layaknya orang normal pada umumnya.

"Jung Ki, apa kau akan terus menomor satukan 'pria itu' daripada aku yang sudah jelas-jelas siapa aku di dalam hidupmu?" Jung Ki terdengar menghela nafasnya berat, disatu waktu yang mendesaknya untuk kembali berbicara dan satu waktu memaksanya untuk mengakhiri pangggilan ini, Jung Ki memilih egois sedikit lagi.

"Aku tahu aku salah."

"Kita sudah membahasnya sebelumnya, aku tahu kau tidak akan pernah merasa cemburu dengan Kak Ji Min juga. Tapi hubungan kita tidak bisa ditunjukan pada siapapun, biarkan hanya kita saja yang tahu dan merasakannya saja." Jung Ki mengatakannya seperti itu, namun Tae Woo lagi-lagi harus tetap mengalah dan terus menerima kenyataan pahit itu.

"Aku mencintaimu," ucap Tae Woo mematikan sambungan telefonnya secara sepihak.

"Tapi kau tidak tahu menderita apa saat aku mencintaimu," sambung Tae Woo lagi setelahnya. Tangan berurat dan kokoh itu memilih mengambil sumpit untuk memakan makan malamnya dalam diam.

Terimakasih telah membaca.

sakasaf_storycreators' thoughts
Chapitre suivant